Stade de France, Saint-Denis, 24 Mei 2000, 22 tahun lalu. Final Liga Champions. Real Madrid versus Valencia, merupakan pertemuan pertama antara dua klub senegara di ajang antarklub tertinggi di Eropa.
Dan, saya menjadi salah satu dari 80.000 penonton yang mengisi bangku-bangku Stade de France, menyaksikan bagaimana Madrid mengalahkan Valencia dengan skor telak, 3-0.
Hadir di Stade de France adalah liputan kedua saya di final Liga Champions. Yang pertama, tentu saja, di Barcelona pada Mei 1999, mempertemukan Manchester United dan Bayern Muenchen. Masih ingat ‘kan bagaimana hasilnya?
Setelah satu tahun sebelumnya final digelar di sebuah negara dengan mayoritas penduduknya berbahasa Spanyol, di Prancis, tentu saja hampir semua ngomong Prancis.
Pada 2000, dua bahasa itu asing sama sekali untuk saya. Sekarang sih, bahasa Prancis juga masih asing, karena sama sekali tak pernah ikut kursus. Kalau bahasa Spanyol, bisalah sedikit-sedikit. Sedikit-sedikiiiit sekali, basic doang, setelah ikut kursus beberapa bulan.
Saya ingat ketika itu saya tiba di Paris beberapa hari sebelum final. UEFA memakai pusat kota Paris sebagai markas, untuk mengurus ID pers dan sebagainya.
Sementara saya menginap di utara Paris, dekat-dekat Gare du Nord, stasiun kereta api di mana saya menumpang Paris Metro untuk pergi ke Saint-Denis. Jangan tanya line yang mana ya. Saya sudah lupa. Perjalanan dengan kereta hanya sekitar 15 menit. Sejenak.
Ketika itu, Valencia sangat diunggulkan untuk menjadi juara. Entahlah, mungkin karena kiper Madrid, Iker Casillas, baru saja mentas dari masa remaja. Sementara, kiper Valencia, Santiago Canizares, sedang matang-matangnya.
Padahal, kalau dilihat dari dereten pemain, Madrid punya banyak jagoan, walau sebagian besar sudah veteran, seperti Fernando Redondo (yang malam itu menjadi kapten), Raul Gonzalez si pangeran Madrid, Roberto Carlos, Fernando Morientes, dan Fernando Hierro yang menjadi pemain pengganti. Dan, pemain Prancis yang ada di starting XI, Nicolas Anelka. Oh iya, ada Steve McManaman juga, si orang Inggris.
Di sisi Valencia, selain Canizares, ada Gaizka Mendieta sang kapten, Mauricio Pellegrino, Miguel Angel Angulo, Claudio Lopez. Lalu ada bek Prancis, Jocelyn Angloma. Eh iya, Luis Milla juga ada di bangku cadangan, sayangnya dia tak bermain. Pada suatu hari, ia akan dikenal sebagai salah satu pelatih tim nasional Indonesia.
Madrid ketika itu ditangani oleh Vicente del Bosque, sementara Valencia dilatih oleh entrenador asal Argentina, Hector Cuper.
Jadi, saya datang kira-kira tiga jam sebelum kick-off pukul 20.45 waktu Eropa Tengah. Waktu itu, final Liga Champions masih digelar pada Rabu malam, tidak seperti sekarang yang sudah digeser menjadi Malam Minggu.
Lokasi duduk saya lumayan strategis. Hampir di tengah, nyaris lurus dengan garis tengah lapangan. Bukan di tribun pers, karena saya masuk kategori observer alias pengamat. Maklumlah wartawan Indonesia, apa pula urusannya meliput final Liga Champions Eropa. Ya, ‘kan? Jadi pengamat saja sudah bagus.
Ketika saya datang, stadion masih kosong, walau sudah ada beberapa kelompok suporter yang sudah datang dan mulai menghias balkon tempat duduk mereka dengan berbagai spanduk. Makin dekat sepak mula, semakin penuh pula stadion.
Saya berbekal sekantung besar wafer cokelat Ma*s, atau Snicke*s, ya? Salah satunya pokoknya. Buat camilan. Lalu, di tas saya juga ada satu botol berisi air putih. Bukan botol air mineral.
Saya ingat di Camp Nou, botol air mineral harus diserahkan di pintu masuk, antisipasi agar tidak menjadi misil yang dilemparkan ke lapangan. Bagus sih peraturannya, tapi buat apa juga melempar botol berisi air ke lapangan. Lha kalau haus bagaimana?
Lalu, saya juga mengeluarkan kamera Nikon saya. Bukan versi digital. Waktu itu mungkin sudah ada, tapi mana sanggup saya membelinya. Saya bawa yang konvensional, dengan film bergulung-gulung. Mungkin saya bawa lebih dari 15 gulung film yang isi 36.
Saya juga melengkapi kamera dengan lensa 80-200 mm. Memang tidak seperti milik fotografer profesional, yang lensanya mirip teropong bintang itu. Tapi, lumayanlah. Saya bisa melihat wajah orang-orang di lapangan dengan lensa yang saya pakai, meski tidak jelas-jelas amat.
Saya juga membawa kamera poket. Kalau yang ini versi digital, tapi masih sangat awal. Tidak secanggih sekarang. Jadi lensanya pun tidak maksimal, walau sudah di-zoom mati-matian.
Saya mencoba memotret dengan lensa panjang. Dapatlah beberapa. Plus ketika para pemain kedua kubu melakukan pemanasan. Tapi, lantas ada kejadian tak mengenakkan.
Kira-kira setengah jam sebelum kick-off, tiba-tiba datang seorang panitia. Orangnya sudah sepuh. Bapak-bapak gitu. Dia meminta saya untuk menunjukkan ID yang saya kenakan. Setelah tahu kalau saya masuk kategori written press, dia meminta saya untuk mengikutinya.
Saya tidak tahu mau dibawa ke mana, namun sepanjang perjalanan, dia menjelaskan bahwa saya tidak diperbolehkan mengambil foto-foto, karena saya bukan fotografer. Saya langsung protes. Entah dia mengerti atau tidak, pokoknya saya bilang tribun yang saya duduki tidak terlalu dekat dengan lapangan, tidak mungkinlah saya bisa mengambil foto layaknya fotografer yang ada di lapangan.
Tapi, dia tidak mau tahu. Saya diajaknya ke sebuah ruangan yang berisi loker-loker. Dibukanya salah satu loker, lalu kamera dan lensa saya harus disimpan di dalamnya. Saya pun auto cemberut.
Ada seorang panitia lain di sana, perempuan. Dia bertanya ada apa. Lalu si bapak menjelaskan. Saya mendengar si mbak mengatakan kalau itu tidak masalah, artinya saya boleh saja mengambil foto-foto selama pertandingan. Tapi, si bapak bersikukuh.
Benar-benar menghancurkan mood saja si bapak itu. Saya kembali ke kursi dengan wajah marah. Hilang semua keinginan saya untuk menikmati pertandingan. Orang yang duduk di sebelah saya, entah wartawan dari mana, bertanya ada apa. Saya ceritakan saja kisahnya. Dia hanya geleng-geleng.
Ya sudah, sepanjang pertandingan saya berusaha untuk konsentrasi. Menikmati dan mengamati. Kamera poket saya sungguh tak berguna. Saya paksakan, tapi buruk sekali hasilnya. Sekarang entah ada di mana file-filenya.
Ternyata, saya bisa juga menikmati pertandingan. Apalagi ketika Canizares kebobolan tiga gol dari Morientes, McManaman, dan Raul. Wah, ternyata prediksi kalau Valencia bakal unggul ternyata menguap begitu saja.
Banyak catatan yang menyertai laga final itu kelar. Casillas menjadi kiper termuda yang tampil dan menang di final Liga Champions. Usianya ketika itu adalah 19 tahun 4 hari. Masih kinyis-kinyis! Sekarang juga masih kinyis-kinyis. Eh...
Lalu McManaman. Pemain yang direkrut Madrid dari Liverpool pada Juli 1999 itu menjadi pemain Inggris pertama yang bisa meraih trofi Liga Champions bersama klub non-Inggris.
Si pelatih, Del Bosque, juga punya catatan. Eks pemain Madrid itu ditunjuk oleh Lorenzo Sanz, presiden Madrid ketika itu, menjadi pelatih sejak November 1999. Juara Liga Champions 2000 adalah trofi yang pertama dalam karier kepelatihan Del Bosque. Sebelum dipercaya melatih tim senior, Del Bosque adalah pelatih caretaker. Ia akan membawa Madrid menjadi juara lagi pada 2001-02.
Lalu di kubu Valencia. Yang paling menonjol adalah pelatih Hector Cuper. Satu tahun kemudian, Cuper berhasil membawa Valencia ke final Liga Champions lagi. Main di San Siro, Milan, Valencia menghadapi klub Jerman, Bayern Muenchen.
Setelah gagal pada edisi 2000, Valencia berharap bisa juara pada edisi 2001. Ternyata harapan tinggal harapan. Lagi-lagi Valencia harus gigit jari. Setelah main dengan skor 1-1 hingga perpanjangan waktu, Valencia harus kalah 4-5 lewat adu penalti. Sejak itu, Cuper dikenal sebagai pelatih spesialis runner-up.
Nah, tahun ini, Stade de France akan kembali menjadi tempat untuk final Liga Champions, 22 tahun kemudian, atau tepatnya pada 28 Mei 2022. Stade de France dipilih menggantikan Stadion Krestovsky di Saint Petersburg, Rusia, yang harus diganti, gara-gara invasi Rusia ke Ukraina, yang belum kelar juga.
Real Madrid menjadi salah satu kontestan. Lawannya adalah Liverpool. Sudah pasti, Madrid tahun ini adalah beberapa generasi setelah generasi Madrid 2000. Kira-kira, dapatkah Madrid generasi ini menyamai Madrid generasi Raul?
Eh, masih ada satu lagi urusan saya di Stade de France. Kamera dan lensa saya belum kembali ke dalam tas. Masih di loker stadion. Ketika berjalan ke ruang loker, saya kembali memasang wajah cemberut. Tidak ada lagi bapak sepuh di sana, yang ada si mbak yang tadi.
Saya memberikan kartu nomor loker dan dia mengambilkan kamera dan lensa dari dalam loker. Mbaknya tersenyum, maksudnya mungkin untuk menghibur. Tapi, saya tidak bisa senyum. Lagipula, saya masih memikirkan bagaimana cara kembali ke hotel pada pukul 3 pagi. Paris Metro tak lagi beroperasi pada dini hari. Jadi, saya hanya bilang “thanks” dan ngeloyor pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H