Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Nonton Real Madrid di Stade de France, 22 Tahun Lalu

24 Mei 2022   07:32 Diperbarui: 28 Mei 2022   07:26 1693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Real Madrid dan Pangeran Felipe, sekarang Raja Spanyol, menerima trofi Liga Champions 2000. (Sumber: Pascal George/Getty Images)

Madrid ketika itu ditangani oleh Vicente del Bosque, sementara Valencia dilatih oleh entrenador asal Argentina, Hector Cuper.

Jadi, saya datang kira-kira tiga jam sebelum kick-off pukul 20.45 waktu Eropa Tengah. Waktu itu, final Liga Champions masih digelar pada Rabu malam, tidak seperti sekarang yang sudah digeser menjadi Malam Minggu.

Lokasi duduk saya lumayan strategis. Hampir di tengah, nyaris lurus dengan garis tengah lapangan. Bukan di tribun pers, karena saya masuk kategori observer alias pengamat. Maklumlah wartawan Indonesia, apa pula urusannya meliput final Liga Champions Eropa. Ya, ‘kan? Jadi pengamat saja sudah bagus.

Ketika saya datang, stadion masih kosong, walau sudah ada beberapa kelompok suporter yang sudah datang dan mulai menghias balkon tempat duduk mereka dengan berbagai spanduk. Makin dekat sepak mula, semakin penuh pula stadion.

Saya berbekal sekantung besar wafer cokelat Ma*s, atau Snicke*s, ya? Salah satunya pokoknya. Buat camilan. Lalu, di tas saya juga ada satu botol berisi air putih. Bukan botol air mineral. 

Saya ingat di Camp Nou, botol air mineral harus diserahkan di pintu masuk, antisipasi agar tidak menjadi misil yang dilemparkan ke lapangan. Bagus sih peraturannya, tapi buat apa juga melempar botol berisi air ke lapangan. Lha kalau haus bagaimana?

Lalu, saya juga mengeluarkan kamera Nikon saya. Bukan versi digital. Waktu itu mungkin sudah ada, tapi mana sanggup saya membelinya. Saya bawa yang konvensional, dengan film bergulung-gulung. Mungkin saya bawa lebih dari 15 gulung film yang isi 36.

Saya juga melengkapi kamera dengan lensa 80-200 mm. Memang tidak seperti milik fotografer profesional, yang lensanya mirip teropong bintang itu. Tapi, lumayanlah. Saya bisa melihat wajah orang-orang di lapangan dengan lensa yang saya pakai, meski tidak jelas-jelas amat.

Saya juga membawa kamera poket. Kalau yang ini versi digital, tapi masih sangat awal. Tidak secanggih sekarang. Jadi lensanya pun tidak maksimal, walau sudah di-zoom mati-matian.

Saya mencoba memotret dengan lensa panjang. Dapatlah beberapa. Plus ketika para pemain kedua kubu melakukan pemanasan. Tapi, lantas ada kejadian tak mengenakkan.

Kira-kira setengah jam sebelum kick-off, tiba-tiba datang seorang panitia. Orangnya sudah sepuh. Bapak-bapak gitu. Dia meminta saya untuk menunjukkan ID yang saya kenakan. Setelah tahu kalau saya masuk kategori written press, dia meminta saya untuk mengikutinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun