Mohon tunggu...
Dian S. Hendroyono
Dian S. Hendroyono Mohon Tunggu... Freelancer - Life is a turning wheel

Freelance Editor dan Penerjemah Kepustakaan Populer Gramedia | Eks Redaktur Tabloid BOLA | Eks Redaktur Pelaksana Tabloid Gaya Hidup Sehat | Eks Redaktur Pelaksana Majalah BOLAVAGANZA | Bekerja di Tabloid BOLA Juli 1995 hingga Tabloid BOLA berhenti terbit November 2018

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Nonton Real Madrid di Stade de France, 22 Tahun Lalu

24 Mei 2022   07:32 Diperbarui: 28 Mei 2022   07:26 1693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Real Madrid dan Pangeran Felipe, sekarang Raja Spanyol, menerima trofi Liga Champions 2000. (Sumber: Pascal George/Getty Images)

Lalu di kubu Valencia. Yang paling menonjol adalah pelatih Hector Cuper. Satu tahun kemudian, Cuper berhasil membawa Valencia ke final Liga Champions lagi. Main di San Siro, Milan, Valencia menghadapi klub Jerman, Bayern Muenchen.

Setelah gagal pada edisi 2000, Valencia berharap bisa juara pada edisi 2001. Ternyata harapan tinggal harapan. Lagi-lagi Valencia harus gigit jari. Setelah main dengan skor 1-1 hingga perpanjangan waktu, Valencia harus kalah 4-5 lewat adu penalti. Sejak itu, Cuper dikenal sebagai pelatih spesialis runner-up.

Nah, tahun ini, Stade de France akan kembali menjadi tempat untuk final Liga Champions, 22 tahun kemudian, atau tepatnya pada 28 Mei 2022. Stade de France dipilih menggantikan Stadion Krestovsky di Saint Petersburg, Rusia, yang harus diganti, gara-gara invasi Rusia ke Ukraina, yang belum kelar juga.

Real Madrid menjadi salah satu kontestan. Lawannya adalah Liverpool. Sudah pasti, Madrid tahun ini adalah beberapa generasi setelah generasi Madrid 2000. Kira-kira, dapatkah Madrid generasi ini menyamai Madrid generasi Raul?

Eh, masih ada satu lagi urusan saya di Stade de France. Kamera dan lensa saya belum kembali ke dalam tas. Masih di loker stadion. Ketika berjalan ke ruang loker, saya kembali memasang wajah cemberut. Tidak ada lagi bapak sepuh di sana, yang ada si mbak yang tadi.

Saya memberikan kartu nomor loker dan dia mengambilkan kamera dan lensa dari dalam loker. Mbaknya tersenyum, maksudnya mungkin untuk menghibur. Tapi, saya tidak bisa senyum. Lagipula, saya masih memikirkan bagaimana cara kembali ke hotel pada pukul 3 pagi. Paris Metro tak lagi beroperasi pada dini hari. Jadi, saya hanya bilang “thanks” dan ngeloyor pergi.


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun