Lalu di kubu Valencia. Yang paling menonjol adalah pelatih Hector Cuper. Satu tahun kemudian, Cuper berhasil membawa Valencia ke final Liga Champions lagi. Main di San Siro, Milan, Valencia menghadapi klub Jerman, Bayern Muenchen.
Setelah gagal pada edisi 2000, Valencia berharap bisa juara pada edisi 2001. Ternyata harapan tinggal harapan. Lagi-lagi Valencia harus gigit jari. Setelah main dengan skor 1-1 hingga perpanjangan waktu, Valencia harus kalah 4-5 lewat adu penalti. Sejak itu, Cuper dikenal sebagai pelatih spesialis runner-up.
Nah, tahun ini, Stade de France akan kembali menjadi tempat untuk final Liga Champions, 22 tahun kemudian, atau tepatnya pada 28 Mei 2022. Stade de France dipilih menggantikan Stadion Krestovsky di Saint Petersburg, Rusia, yang harus diganti, gara-gara invasi Rusia ke Ukraina, yang belum kelar juga.
Real Madrid menjadi salah satu kontestan. Lawannya adalah Liverpool. Sudah pasti, Madrid tahun ini adalah beberapa generasi setelah generasi Madrid 2000. Kira-kira, dapatkah Madrid generasi ini menyamai Madrid generasi Raul?
Eh, masih ada satu lagi urusan saya di Stade de France. Kamera dan lensa saya belum kembali ke dalam tas. Masih di loker stadion. Ketika berjalan ke ruang loker, saya kembali memasang wajah cemberut. Tidak ada lagi bapak sepuh di sana, yang ada si mbak yang tadi.
Saya memberikan kartu nomor loker dan dia mengambilkan kamera dan lensa dari dalam loker. Mbaknya tersenyum, maksudnya mungkin untuk menghibur. Tapi, saya tidak bisa senyum. Lagipula, saya masih memikirkan bagaimana cara kembali ke hotel pada pukul 3 pagi. Paris Metro tak lagi beroperasi pada dini hari. Jadi, saya hanya bilang “thanks” dan ngeloyor pergi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H