Pertama-tama, saya ingin menegaskan bahwa saya tidak punya kemampuan untuk 'melihat' makhluk halus. Saya hanya bisa merasakan. Well, kecuali ketika berada di Bali, di mana saya bisa melihat tuyul. Tapi, itu cerita untuk lain kali.
Yang ingin saya ceritakan saat ini adalah ketika saya ditugaskan untuk meliput undian Piala Dunia 2006 di Leipzig. Acara undian itu digelar pada 9 Desember 2005, di Leipziger Messe, atau Leipzig Trade Fair. Dan, saya mengalami kisah horor ketika menginap di hotel di kota itu.
Saya berangkat pada awal Desember 2005. Ngerinya, satu pekan sebelum saya berangkat, Jerman dilanda blizzard alias badai salju. Halah, seram sekali. Saya pasrah sajalah, apa yang akan terjadi seandainya badai salju masih berlangsung saat saya tiba di Jerman, ya terjadilah.
Untungnya, badai salju itu berhenti beberapa hari sebelum saya berangkat. Alhamdulillah. Meski demikian, saya sudah berbekal banyak baju kaus tebal berlengan panjang plus jaket overcoat. Saya memang suka udara dingin, tapi saya tidak mati beku gara-gara musim dingin.
Saya tiba di Leipzig dua hari sebelum undian digelar. Saya check-in di hotel sekitar pukul 11 siang. UEFA (The Union of European Football Associations) memberi beberapa pilihan hotel, ketika saya mendaftar untuk mengikuti undian Piala Dunia tersebut.
Hotel pilihan saya, Hotel im Sachsenpark, terletak lumayan jauh dari pusat kota. Sengaja saya pilih, karena dengan demikian saya akan punya kesempatan untuk melihat-lihat bagian lain Leipzig, selain pusat kota.
Saya masuk kamar dan mandi. Koper dibuka hanya untuk mengambil baju. Siang itu saya berniat untuk pergi ke Messe untuk mengambil akreditasi, sekaligus menyesuaikan diri dengan kota.
Sekira pukul 2 siang saya keluar hotel. Â Saya sudah menanyakan arah ke Messe kepada resepsionis hotel dan perempuan setengah baya itu dengan senang hati memberi tahu.
Saya pun berangkat dengan naik bus. Haltenya tidak jauh dari hotel. Saya mampir dulu di downtown, karena saya kelaparan. Saya mencari restoran fried chicken sejuta umat.
Terus terang, ketika saya berada di luar negeri, saya merasa lebih aman untuk menyantap fried chicken itu, pagi, siang, dan malam. Ketimbang saya masuk restoran di mana saya tidak bisa memastikan halal atau tidaknya makanan yang mereka masak.
Saya makan di sana. Nggak ingat juga di mana lokasinya. Pokoknya ada restoran berwarna khas merah dan putih itu, langsung saya masuki. Saya sudah berniat untuk mampir lagi nanti sekembalinya dari Messe untuk bekal makan malam dan sarapan. Saya terhitung jarang sarapan yang disediakan gratis di hotel. Lebih baik saya tidur lebih lama. Haha.
Lalu, saya meneruskan perjalanan dengan kereta menuju Messe. Hari itu matahari bersinar, tapi cuacanya sangat dingin. Nyaman sekali.
Setiba di Messe, sudah banyak jurnalis dari berbagai negara yang hadir di sana. Sekitar setengah jam prosesnya, saya sudah mendapatkan semua dokumen yang diperlukan, termasuk ID Card untuk undian dan juga untuk ruang pers di gedung itu.
Saya jelajahi gedung itu, terutama ruang persnya. Lumayan besar gedungnya. Untung saja ada vending machine yang menjual berbagai snack. Saya belum sempat belanja apa pun, termasuk camilan. Saya beli saja dari mesin itu.
Ketika saya rasa sudah cukup, saya memutuskan kembali ke pusat kota. Saya perlu membeli beberapa barang plus beli santapan makan malam dan sarapan, seperti rencana tadi.
Saya berjalan lumayan lama, ketika tiba-tiba hari sudah gelap. Wah, saya tidak mau berjalan dalam gelap. Saya pun segera menuju halte bus, mencari nomor bus yang dimaksud.
Saya tiba di hotel sekitar pukul 8 malam. Ternyata, hotel ini tidak seterpencil yang saya kira. Sebab, ada beberapa kelompok kru televisi dari berbagai negara yang menginap di sana, juga jurnalis tulis. Saya bertemu beberapa orang.
Saya masuk kamar, bungkusan makan malam saya atur di meja kerja. Belum saya buka kemasannya. Kamar memang hangat, tapi saya tidak mau santapan saya dingin dengan cepat.
Saya bersiap untuk mandi, ketika tiba-tiba tubuh saya menggigil kedinginan. Gigi saya sampai saling beradu, saling kerasnya gigilan. Saya heran juga, sebab kamar saya sangat hangat. Dari mana pula datangnya udara dingin?
Saya segera menyusup ke bawah selimut. Bukannya menghangat, justru semakin dingin. Tangan saya bergetar hebat. Saya ingat saya membawa balsam, barangkali saja bisa menghangatkan. Saya cari botol balsam itu, yang rupanya masih berada di dalam koper.
Setelah ketemu, langsung saya gosokkan balsam ke kedua telapak tangan, badan saya juga. Herannya, justru semakin dingin rasanya. Saya semakin mengetatkan selimut. Bahkan bed cover pun saya pakai untuk membungkus badan.
Saat itulah tiba-tiba saya sadar, dingin ini  bukan karena cuaca, melainkan 'dingin' yang lain. Akhirnya, saya membaca doa Ayat Kursi, doa yang selalu saya ucapkan setiap kali saya keluar rumah atau ketika saya merasa ada hal aneh di sebuah lokasi.
Siapa nyana, saya harus membaca Ayat Kursi di sebuah hotel di Leipzig, di Jerman, sebuah negara modern ampun-ampunan. Kalau hotel di Indonesia, itu bukan hal yang aneh.
Saya baca beberapa kali surat itu. Saya melafalkannya dengan perlahan, siapa tahu si 'penunggu' tidak paham bahasa Arab. Eh, siapa tahu. Dia 'kan di Jerman.
Perlahan-lahan, rasa dingin pun menghilang. Setelah membaca tiga kali surat itu, saya merasa hangat lagi. Badan saya lemas. Beberapa saat, saya hanya bisa berbaring, belum keluar dari gundukan selimut.
Masya Allah. Ada-ada saja.
Setelah lumayan kuat, saya keluar, berdiri, melirik jam di ponsel. Saya sempat melihat jam ponsel ketika masuk ke kamar tadi. Dan, ternyata kejadian kedinginan tadi tidak lebih dari 5 menit. Rasanya seperti berjam-jam.
Saya memutuskan untuk makan malam terlebih dulu, sebelum mandi. Kelar mandi, saya salat. Setiap kali dinas keluar negeri, saya akan membawa kompas khusus untuk mencari arah Kiblat. Sebab, saya yakin hotel di Eropa tidak punya gambar panah penunjuk arah Kiblat di langit-langit kamar.
Ketika mengecek kompas itu, saya tidak akan heran jika jarum kompas berputar tak tentu arah, seperti kompas milik Kapten Jack Sparrow di film "Pirates of the Caribbean". Tapi, ternyata jarum kompas bekerja dengan normal.
Setelah salat, saya mulai menulis artikel untuk dikirim ke Jakarta. Tentu saja, saya tidak menceritakan bagaimana saya 'berkenalan' dengan si penunggu hotel.
Setelah kejadian itu, saya selalu mengucapkan salam setiap kali keluar dan kembali ke kamar. Saya tidak yakin penunggu macam apa yang ada di kamar saya, jadi saya ucapkan saja salam dalam bahasa Jerman dicampur dengan bahasa Indonesia.
Ketika keluar kamar, saya akan mengucapkan: "Saya keluar dulu, ya. Baik-baik. Guten Tag!"
Lalu, ketika saya kembali ke kamar, saya akan berkata: "Gute Nacht! Saya kembali.".
Tidak ada lagi peristiwa aneh-aneh sejak itu. Semua lancar. Semua aman. Malah, saya merasa berat untuk meninggalkan kamar itu setelah menginap selama 7 hari 6 malam. Sebab, rasanya menjadi nyaman sekali tidur di dalamnya. Agaknya, kami sudah saling mengerti. Jiyah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H