Suatu pagi menjelang siang di sebuah tempat tidur di sebuah rumah sakit, 15 tahun yang lalu.
“Wow, kau tampak tampan pagi ini. Inikah wajahmu yang asli?"
“Ya, ini aku. Bukan juga wajah yang asli. Hanya orang-orang tertentu yang dapat melihat versi wajah yang ini.”
“Ah, aku merasa sangat beruntung kalau begitu. Lalu, bagaimana dengan makhluk besar hitam yang melayang di sudut kamar ini dalam tiga hari belakangan?”
“Maafkan, dia temanku. Namanya Arham, seorang malaikat juga seperti aku. Mengapa? Dia membuatmu takut?”
“Bagaimana menurutmu? Aku gemetar hebat setiap kali melihatnya. Dia sangat mengerikan.”
Sang Maut, Izrail, terkekeh.
“Sekali lagi maafkan dia. Arham suka iseng memang. Jangan khawatir, hari ini kau akan berurusan dengan aku. Arham sudah melanjutkan tugas di tempat lain.”
“Apa tugasnya?”
“Dia memberi info kepadaku soal di mana kau akan meninggal hari ini dan memastikannya. Sebenarnya, dia sudah beberapa hari berada di sekitarmu.”
Si pria setengah baya itu bergidik.
“Baiklah. Lalu, apakah setiap orang akan bertemu versi dirimu yang seperti ini ketika mereka akan meninggal?”
“Tidak selalu. Tergantung.”
“Tergantung pada apa?”
“Tergantung pada bagaimana mereka menjalani hidup mereka selama berada di dunia.”
***
“Karena kau sudah mendatangiku, apakah saat ini aku sedang dalam proses kematian?”
“Benar sekali. Teman-temanku sedang mencabut nyawamu. Mereka bekerja secara estafet. Pertama, dari kaki sampai lutut. Lalu, diteruskan oleh kelompok berikut sampai ke perut. Terakhir dari perut ke kerongkongan.”
“Mengapa aku tidak merasakan apa-apa? Katanya, orang yang dalam proses kematian, badannya akan terasa sangat dingin.”
“Kau sedang tidur saat ini.”
“Jadi, inilah yang disebut sebagai meninggal dalam tidur?”
“Benar. Kau sangat beruntung. Ada yang sangat tersiksa ketika pencabutan nyawa tengah berlangsung.”
“Mengapa para malaikat itu harus bekerja bergantian? Apakah sulit untuk mencabut nyawa?”
“Eh, tubuhmu saat ini ibarat sebuah kantor yang sedang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan semua pegawainya.”
“Aku tidak paham…”
“Begini, tubuh manusia terdiri dari jutaan sel. Iya, ‘kan?”
Pria setengah baya itu mengangguk.
“Nah, setiap sel itu harus diberi tahu bahwa sejak saat ini mereka tidak lagi bekerja. Masa kerja mereka sudah berhenti. Bayangkan memberi tahu hal itu kepada seluruh sel yang ada di kaki hingga lutut.”
Pria setengah baya itu sekali lagi mengangguk.
“Sangat masuk akal. Saya paham sekarang.”
“Ketahuilah, tidak ada satu pun hal yang tidak masuk akal jika itu berasal dari Allah SWT. Kau pikir dari mana istilah pemutusan hubungan kerja itu berasal?”
Si pria setengah baya tertawa. Mata Sang Maut bersinar senang.
***
“Apakah istriku akan segera menyusulku?”
“Aku tidak tahu.”
“Kau tidak tahu?”
“Benar. Aku baru akan tahu 40 hari sebelum istrimu meninggal. Ketika daun di tahta surgawi miliknya jatuh. Sama sepertimu. Aku baru tahu soal kamu 40 hari yang lalu. Ketika daun milikmu jatuh dan aku menangkapnya.”
“Oh.”
“Kau ingat apa yang terjadi 40 hari yang lalu?”
“Aku ingat. Aku merasakannya. Ketika itu, aku sedang mengantar putriku ke bandara untuk pergi dinas. Tiba-tiba, aku merasa yakin bahwa itulah terakhir kali aku mengantarnya.”
“Dan, sejak itu aku selalu mengikutimu.”
“Tapi, aku tak pernah melihatmu.”
“Tentu tidak. Aku pandai menyamar.” Sang Maut tersenyum.
“Saat ini pun tidak ada yang bisa melihatku, atau melihatmu. Tidak ada yang sadar bahwa kita sedang bercakap-cakap, sementara tubuhmu mendingin.”
Si pria setengah baya itu tiba-tiba teringat sesuatu.
“Apakah aku seorang ayah yang baik untuk anak-anakku dan seorang suami yang baik untuk istriku?”
“Bagaimana menurutmu? Jika kau orang yang tidak baik, tak mungkin aku muncul dengan wujud seperti ini. Istri dan anak-anakmu sedang duduk mengelilingimu saat ini.”
“Oh ya? Mengapa aku tak bisa melihat mereka saat ini?”
“Sebab, urusanmu dengan dunia sejenak lagi akan berakhir. Dan, itu juga berarti hubungan dengan keluargamu. Hanya saja, mereka yang masih bisa mengirimkan doa untukmu.”
“Aku lega. Maksudnya, dalam hal mereka mengirim doa untukku. Apa yang terjadi padaku setelah ini?”
“Aku tak tahu. Itu urusanmu dengan Sang Khalik.”
“Begitu. Tidak ada bocoran sedikit?”
“Tidak ada. Tugasku hanyalah membawamu menghadapNya. Itu saja.”
***
“Ngomong-ngomong, sudah sampai mana proses berlangsung?”
“Hampir sampai kerongkongan. Sebentar lagi, maka aku akan menjalankan tugasku.”
“Rasanya cepat sekali, tiba-tiba sudah mencapai kerongkongan.”
“Bersyukurlah kau menjalani proses yang cepat dan tidak menyakitkan. Itu impian manusia mana pun.”
“Berarti juga aku akan segera meninggalkan dunia.”
“Ya. Urusanmu di dunia sudah selesai. Apa pun yang terjadi setelah kau tiada, bukan lagi perkaramu.”
“Semoga apa yang kutinggalkan untuk keluargaku akan mencukupi.”
“Sudah kubilang, kau tak perlu lagi berpikir seperti itu. Keluargamu akan punya cara untuk hidup tanpamu.”
“Okay.’
***
“Hey, aku akan duduk di samping kepalamu. Ini sudah saatnya.”
“Baiklah. Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan mengatakan beberapa kata, ini seperti standard operating procedure. Jangan tertawa.”
Si pria setengah baya tidak bisa menahan tawa.
“Baiklah. Inilah yang akan kau dengar: ‘Wahai jiwa yang baik, wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan ridho dari Allah'.”
Sang Maut lantas menjulurkan tangannya. Si pria setengah baya itu tersenyum dan menyambut tangan itu.
fin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H