Fakta politik dengan jelas menunjukan bahwa pasca diberlakukannya Asas Tunggal, suara PPP menurun drastis dan Golkar kembali mendominasi Jakarta.
Setelah Reformasi, kebebasan berpolitik dalam partai Islam yang sebelumnya dikekang, mulai diberi kebebasan. PPP diizinkan kembali memakai logo Ka’bah. Partai-partai Islam mulai mengalami peningkatan suara pada Pemilu 1999. Namun, dalam pemilu setelahnya, partai-partai Islam beberapa kali kehilangan momentum dan suara pemilihnya makin menurun dari waktu ke waktu.
Beberapa tema utama yang jadi agenda dan aspirasi umat Islam kini bahkan diambil oleh partai-partai nasionalis, terutama parpol nasionalis yang berdiri pasca Reformasi. Parpol yang lahir pasca reformasi punya kecendrungan menjadi big tent party, yang berusaha merangkul semua golongan di bawah atap partai mereka. Beberapa partai nasionalis tersebut—yang di kemudian hari mengklaim dirinya sebagai nasionalis-religius—turut merekrut banyak ulama maupun aktivis Islam ke partai mereka.Â
Banyak elite partai nasionalis mulai menggunakan atribut dan simbol Islam. Bahkan tidak sedikit Perda Syariah malahan digolkan oleh kepala daerah dari partai nasionalis. Selain itu, tidak sedikit undang-undang yang menjadi aspirasi umat Islam digolkan oleh bukan partai Islam di DPR. Lokalisasi Dolly di Surabaya, misalnya, ditutup pada tahun 2014, oleh Bu Risma yang saat itu menjadi Walikota dan ia sendiri berasal dari PDIP, parpol yang seringkali diidentikkan sebagai parpol nasionalis sekuler.
Berbagai hal ini bisa dipahami di era multipartai dimana banyak parpol berusaha mencari suara. Akhirnya, suara di luar konstituen utama mereka pun berusaha mereka jangkau. Walhasil partai Islam seolah kehabisan tema. Mereka terpojok dalam dilema.Â
Apabila mereka bersuara nyaring memperjuangkan tema-tema partai nasionalis, konstituen utama mereka bisa berpindah suara ke partai Islam lain sementara konstituen partai nasionalis dari kalangan Muslim belum tentu akan memilih mereka yang mengusung citra sebagai partai Islam. Makin tidak mungkin Partai Islam—meski mengusung tema sekuler atau nasionalis—mampu menjangkau pemilih non-Muslim.
Hal ini sangat berbeda dengan partai sekuler atau nasionalis yang menyuarakan tema-tema keislaman. Selain jarang membuat konstituen nasionalis mereka pindah partai pilihan, tidak jarang upaya ini berhasil menggaet suara kalangan pemilih simpatisan partai Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H