Di setiap negara-negara yang memiliki Mufti Agung, biasanya Sang Mufti memiliki hak mengeluarkan fatwa dan seringkali fatwanya menjadi rujukan sebagian besar penganut Islam di negara tersebut. Mufti Agung lah yang menjadi satu-satunya ulama tertinggi dengan tugas menjaga tafsir Islam agar sesuai dengan mazhab fiqih ataupun mazhab kalam (teologi) yang dianut dalam suatu negara. Biasanya mereka adalah orang-orang yang ditunjuk oleh kepala negara.
Dengan demikian, pengendalian aspirasi spiritual umat Islam menjadi suatu perkara mudah bagi negara yang memiliki sistem Mufti Agung.
Hal demikian tidak terjadi di Indonesia, meski beberapa orang berargumen adanya Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menjadi pengganti sistem Mufti sehingga Ketua MUI disertarakan dengan Mufti Agung.
Faktanya tidaklah demikian. MUI adalah organisasi gabungan kepemimpinan ulama secara kolektif dari berbagai aliran Islam di Indonesia, terutama Islam Modernis (Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad), DDII, dan Islam Tradisionalis (NU, Nahdlatul Wathan, Al-Washliyah).
Kelompok Islam minor seperti Ahmadiyah dan Syi’ah tidaklah benar-benar terepresentasi di MUI. Tidak jarang antara Islam Modernis dan Islam Tradisionalis justru berebut pengaruh di dalam internal MUI.
Dikotomi Islam tradisionalis dan Islam modernis di Indonesia, sesungguhnya sudah menjadi terminologi yang usang. Bagaimanapun, kelompok Islam tradisionalis hari ini bukan saja mengakui modernisme, mereka bahkan sudah bergerak menuju posmodernisme.
Demikian juga dengan kelompok modernis sudah mulai mengakui khazanah tradisi Islam Indonesia yang pada masa lalu banyak mereka tolak. Sedikit banyak, mereka sudah mulai bersikap lebih rileks.
Lantas apakah dikotomi Islam tradisionalis dan modernis masih berlaku? Bagi kepentingan analisis politik, pembedaan ini dapat dikatakan masih berlaku, sebab hingga kini kelompok Islam modernis dan Islam tradisionalis seringkali berbeda kepentingan politik.Â
Selain itu, mereka juga memiliki sejarah keretakan politik yang bermula dengan tidak diberinya NU untuk jabatan Menteri Agama oleh Masyumi, padahal NU merupakan bagian dari Partai Masyumi.
Inilah salah satu penyebab NU pada 1952 menyatakan keluar dari Masyumi dan bahkan pada Pemilu 1955 berhasil menempati suara nomor 3, di bawah Masyumi yang merupakan pemenang nomor 2 di Pemilu 1955. Paling tidak NU memberi pesan bahwa mereka sendirian, mampu menduduki posisi nomor 3, sedangkan Masyumi hanya menduduki posisi no.2 padahal mereka adalah gabungan berbagai ormas Islam.
Baik NU maupun Masyumi memiliki misi yang sama, yakni mencegah Indonesia menjadi negara komunis. Keduanya juga memperjuangkan aspirasi politik umat Islam. Saat terjadi Pemberontakan PRRI/Permesta 1958-1961, Masyumi mendukung dan terlibat dalam pemberontakan tersebut sementara NU menolak untuk mendukung.