"Ya Tuhanku, aku yakin dia adalah anakku. Aku bermohon kepadaMu, berilah kesadaran yang sebenarnya kepadanya!" Tuhan adil. Selesai berdoa, tiba-tiba saja turunlah badai, hujan sangat lebat disertai angin kencang. Semuanya jadi panik mencari tempat berlindung. Kapal-kapal seperti sabut, terombang-ambing kesana kemari dihempaskan ombak sebesar gunung. Tak dapat mata jauh memandang. Alam sekitar keputih-putihan diliputi kabut dan hujan. Badai mengamuk sejadi-jadinya tujuh hari tujuh malam terus menerus. Ditengah-tengah desauan angin dan deraian lebatnya hujan, dari arah Laut sayup-sayup kedengaran teriakan pilu: "Ibu , Ibu ! Aku anakmu, ibu! "Maafkan aku ibu Ibu !".. sekali didengarnya. Lalu berderailah air matanya selebat-lebatnya seperti lebatnya hujan yang turun waktu itu. Ibu itu menyesali sikap anaknya yang demikian angkuh. Sia-sialah segala jerih payahnya mengasuh, memelihara dan membesarkannya. Sia-sia pulah segala pengajiannya dahulu. Ia ingkar kepada pengajaran Tuhan dalam Agama Maka Tuhan menurunkan laknat kepadanya. Teriakan itu didengar perempuan tua itu berkali-kali. Kemudian hilang ditelan deru hujan angin dan ombak. Hujan reda. Laut tenang kembali air Krueng Raya' bertambah besar. Dimana-mana kelihatan air tergenang dan melimpah ruah. Angin berhenti di Udara cerah sejauh mata memandang. Tidak jauh dari dermagga diantara pecahan ombak tersebut sebuah batu sebesar kapal. Itulah kapal Amat Rhang Manyang, Kapal Amat Yang Durhaka berserta awak kapal dan isinya. Tuhan' sudah menurunkan mala petaka kepada Amat, bukan sekedar menjadikannya batu, bahkan selama air laut tidak kering Amat Rhang Manyang tetap terendam dan dihempas-hempiskan' oleh ombak, yang merupakan siksaan sepanjang masa.
Di ambil dari buku yang telah lama di hempas Tsunami. Kini saya menulis kembali atau menyalin ke dalam sebuah catatan saya agar saya selalu mengingat Hikayat Aceh yang sepertinya sudah lama tenggelam dan tak didenga lagi. Salam hangat, Penulis.