Mohon tunggu...
Irsyad Feisal Ahmad
Irsyad Feisal Ahmad Mohon Tunggu... -

Menjadi salah berpikir hingga menghancurkan semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amat Rhang Manyang (Cerita Rakyat Dari Aceh)

8 September 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah berbincang-bincang sekian lama, tampaknya tamu mereka sudah ingin mengundurkan diri. Tetapi sebelum itu tamu tersebut meminta dengan nada bersungguh-sungguh, bahwa jika tuan rumah benar-benar tidak memerlukan Amat diwarungnya, orang itu bersedia memberikan pekerjaan kepada Amat sebagai tukang kebun dirumahnya. Amat berusaha secepat mungkin dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya yang baru. Rumah besar dan megah, yang dihuni oleh satu keluarga terdiri dari bapa, ibu berserta tiga orang anak yang masih kecil. Dua orang perempuan setengah umur sebagi pembantu dalam rumah dan dapur. Di belakang terletak kamar buat Amat. Di luarnya tergantung beberapa sangkar burung yang besar dan sebuah kandang anjing peliharaan. Semuanya jauh berbeda dengan lingkungan hidup di kampungnya Sendiri. Bagi Amat yang cukup cerdas itu suatu petunjuk pelaksanaan pekerjaan tidak perlu diulangi dua kali. Sekali saja diberitahu sudah mampumemahami dan mengerjakannya dengan tepat dan cepat.

Karena sifat Amat yang peramah , jujur, sopan santun, rajin dan baik hati segera ia mendapatkan tempat yang baik pula di hati semua penghuni rumah. Anak-anak sangat suka kepadanya. Anjing peliharaan itupun segera mendekat sambil meliuk-liukan badannya dan mengibas-ngibaskan ekornya seraya menggonggong kecil, jika melihat Amat. Satu-satu waktu sambil istirahat pada siang hari Amat membaringkan tubuhnnya diatas rumput empuk di bawah pohon rindang di halaman depan. . Saat-saat demikian ia ingat kembali masanya yang lampau. Ibunya, kawan-kawannya, Pak Agam, nakhoda sampai kepada saat ia berbaring itu. Betapa sukarnya ia mendapatkan sepiring nasi diwakrung pada beberapa bulan yang lalu, yang akhirnya seakan-akan ia diperjual belikan kepada tuannya yang sekarang. Semua itu ia tahankan dengan kesabaran. Teringat ia akan pesan ibunya "yang manis jangan segera ditelan yang pahit jangan segera dimuntahkan." Selama sudah beberapa bulan itu hanya sekali-kali tuannya memberikan uang kepadanya. Dan hanya sekali-sekali pula Amat pergi ke pasar membeli keperluannya yang mungkin tidak terpikir oleh tuannya dengan uang sedikit yang diterimanya itu.

Bulan berganti terus sampai sudah hampir setahun Amat di rumah itu. Tuannya baru saja membeli sebuah perkebunan karet yang besar. Buruh kebun itu cukup banyak. Sejak itu karena tuannya kadangkadang sibuk mengatur pekerjaan buruh-buruh dikebun, Amat sering disuruh membantu pelayan lainnya di toko kain milik tuannya itu sendiri. Dengan demikian kenaïan dan pengalaman Amat cepat bertambah, Penilik warung yang dulu tetap diingat oleh Amat dan tetap baik terhadapnya, dan begitu pula sebaliknya. Sebagai pelayan toko kain yang besar tentu saja pakaian Amat cukup baik, rapi dan bersih. Tampang Amat yang sekarang jauh berbeda dengan tampangnya yang dahulu. Cukup tampan dan gagah serasi dengan pakainnya sebagai orang kota. Namun demikian perilakunya tetap perilaku yang dulu juga, sopan, rajin dan jujur. Karena itu terus menerus mendapat kepercayaan dari tuannya. Sudah lama kiranya belum ada suatu pekerjaan tetap yang diberikan tuannya kepadanya, sampai pada suatu hari Amat disuruh pula memimpin pekerjaan buruh diperkebunan tuannya. Tugas memimpin pekerjaan buruh itu memerlukan kesungguhan dan ketekunan. Tuannya mengetahui hal ini. Karena itu sejak saat itu Amat hanya bertugas di perkebunan itu saja lagi. Hanya pada hari-hari libur Amat datang ke rumah tuannya, sedangkan pada hari-hari kerja ia tetap berada di perkebunan yang letaknya agak jauh di luar kota. Kedatangannya ke rumah itu sudah lebih banyak dianggap sebagai keluarga dari pada dulu sebagai pekerja meawat halaman dan tanaman. Anak-anak tuannya tetap ingat kepadanya dan selalu menyambut Amat dengan kemanjaan. Demikian juga anjing peliharaan tuannya berlari menyonsong Amat, jika melihat Amat datang. Semuanya seakan-akan meiepaskan rindu selama beberapa hari tak berjumpa. Sebagai pemimpin pekerjaan buruh Amat mempunyai hak dan kewajiban sama dengan buruh yang lain. Haknya mendapat upah dan kewajibannya bekerja. Setiap bulan Amat mendapat gaji tetap yang tertentu banyaknya. Amat berhemat dan menabung sebagjan besar dari gajinya. Ia selalu ingat janjinya kepada ibunya, bahwa sekembalinya dari perantauan ia akan menguntaikan kalung berharga di leher ibunya, menyelipkan cincin di jari ibunya, mengenakan pakaian yang indah di tubuh ibunya, dan sebagainya.

Hari berjalan terus, keuntungan tuannya berlipat ganda, dari toko dan dari perkebunan karetnya. Amat juga menghitung-hitung simpannannya, rupanya sudah agak banyak juga. Agar jumlah uang Amat cepat bertambah, ia mendapat akal dan terus banting tulang. Ia mencoba meniru perbuatan tuannya. Tentu saja caranya berbeda. Amat membeli sebuah kios dipinggiran kota agak ke dalam. Sore sehabis kerja di perkebunan sampai malam ia berjualan di kios tersebut. Kiosnya itu diisinya dengan barang-barang keperluan seharihari. Mulai dari garam, minyak, gula dan bumbu-bumbu masak sampai kepada barang-barang kelontong. Tetapi jumlahnya masing-masing terbatas menurut modalnya yang tersedia.

Persedian barangnya cepat ha bis, karena Amat sangat peramah dan pandai menarik hati pembeli. Kemudian cepat pula disinya kembali dengan berbelanja ke pasar besar. Sungguhpun begitu pekerjaannya sebagai buruh diperkebunan karet tidak pernah dilalaikannya. Dengan demikian keuntungannya cepat bertambah berlipat ganda pula. Keuntungan demi keuntungan ditabungnya, seperti lebah menghimpun madu, seperti semut menimbun busut. Hal ini diketahui oleh tuannya. Diam-diam tuannya merasa kagum, dan menjadi bahan cerita kembali di kalangan keluarga dan kenalankenalan tuannya. Sepuluh tahun sudah Amat merantau. Ibunya selalu diliputi pertanyaan, bagaimanakah dan dimanakah kiranya anak kesayangannya itu. Kepada orang-orang sekempungnya ibu itu menanyakan, kalau-kalau ada yang mendengar kabarnya, tetapi tidak seorangpun yang dapat memberikan jawaban yang pasti. Jawaban orang-orang di pelabuhan juga tidak memuaskan hatinya. Jawaban yang diterimanya simpangsiur. Semua itu membuat hati ibunya resah dan gelisah, tetapi akhirnya ia berserah kepada Tuhan dan tetap mendoakan agar kepada anaknya Amat diberikan Tuhan perlindungan. Kehidupan ibu Amat tidak banyak berubah. Ia hanya berusaha sekedar dapat memenuhi kebu tuhan hidupnya sehari-hari, sesuap dua suap nasi. Tidak berusaha lebih dari pada itu.

Wajahnya sudah mulai keriput dimakan umur. Ditambah dengan rasa rindu yang belum tentu datang obatnya. Kalau diketahuinya ada kapal baru berlabuh, dipasangnya telinganya baik-baik, kalaukalau ia dapat mendengar berita tentang anaknya atau barangkali anaknya kembali dengan kapal itu. Kiranya Amat juga demikian. Saat-saat istirahat jauh dari kesibukan pekerjaan, ia terkenang kepada ibu tercinta yang ditinggalkan Rasa rindu menyelusuri seluruh tubuhnya. Sebenarnya untuk sekedar pulang ia sudah mampu mengongkosi dirinya, tetapi cita-citanya membisikkan belum waktunya ia kembali. Apalah artinya kalau hanya sekedar pulang tanpa membawa sesuatu yang berharga untuk kemudian hari. Dalam pada itu Amat bersyukur, bahwa selama ini rezekinya berlimpah. Amat sadar pula bahwa itu semua berkat doa ibunya sendiri. Kadangkadang dengan tidak disadarinya Amat berbisik sendiri: Sabarlah ibu tunggulah aku kembali." Kiranya hubungan batin antara ibu itu dengan anaknya tetap terpaut. Kini Amat benar-benar dewasa. Dewasa umur dan dewasa pengetahuan yang dimatangkan oleh pengalaman penderitaannya. Pada suatu hari pemilik perkebunan karet tempat Amat bekerja dikejutkan oleh berita yang didengarnya di kota, bahwa Amat sudah membeli sebuah toko di kota itu. Orang itu ingin segera mengetahui kebenarannya dan memang benarlah demikian setalah didengar pengakuan Amat sendiri. Semula orang itu merasa rugi kehilangan Amat, satu-satunya tenaga yang sangat terampil di perkebunan karetnya. Amat tentu tidak akan dapat lagi membantunya, karena sibuk dengan tokonya yang baru. Karena kecerdasan Amat yang dianggap orang itu luar biasa, terpikir olehnya akan bekerja sama dengan Amat dalam hal dagang. Orang itu menyerankan kepada Amat supaya berdagang kain saja. Dan kebetulan sarannya itu sesuai dengan keinginan Amat yang sudah lama direncananakan. Kabar tentang Amat menggemparkan kawan-kawannya buruh diperkebunan karet milik tuannya, juga menggemparkan kenalankenalannya. Tak ketinggalan penilik warung. Semua mereka tidak menduga sama sekali bahwa Amat akan dapat menjadi orang kayadan secepat itu pula. Penilik warung tersenyum lucu sendiri, ketika di-ingat-ingatnya bagaimana Amat pada belasan tahun yang lalu makan di warungnyai tanpa uang sepeserpun. Kiranya Amat sedang dinaiki rezeki, dagangnya sangat laris. Pengalamannya menjadi pelayan di toko tuannya dulu sangat berharga bagainya dalam usaha memajukan tokonya. Disamping itu mendapat bimbingan yang perlu dari bekas tuannya. Amat mengambil kesimpulan dari semua pengalamannya yang sudah berlalu, bahwa modal pertama dan utama adalah kemauan yang keras "Dimana ada kemauan disitu ada jalan". Sesudah ada kemauan yang keras perlu diiringi oleh kejujuran, sopan santun, baik hati, peramah dan sebagai kunci terakhir berdoa dan tagwa kepada Tuhan. Amat ingat semua nasehat ibunya, pengajaran gum mengajinya, nasehat orang tua-orang tua dikampungnya dan nakhoda kapal dahulu. Sebenarnya semua itulah yang mendorong Amat memberanikan diri dahulu mengambil keputusan pergi merantau. Amat yakin akan modal yang sudah didapat itu dengan mengamalkannya secara tulus ikhlas, bersungguh hati. Konon pula modal itu tidak berat membawanya; tidak perlu dijinjing atau dipikul. Semua itu sudah menjadi satu dengan dirinya sendiri dan sudah akan terbawa kemana saja ia pergi. Keyakinan Amat dahulu itu sudah menjadi kenyataan. Dengan itu ia sudah mendapatkan modal usaha berupa uang dan benda-benda berharga berlimpah. Hanya tinggal mengaturnya menurut kemauan. Sebagai lanjutan dari usahanya Amat membeli sebuah kapal dagang yang besar. Amat berusaha mempelajari seluk beluk kapal itu, bahkan ia sudah mampu menjadi nakhoda. Dengan demikian apa yang dicitacitakannya di kampung Pasie, tempat asalnya dahulu sudah terwujut, bukan lagi berupa impian belaka. Diam-diam dengan khidmad Amat bersyukur kepada Tuhan dan berterima kasih kepada semua orang yang pernah memberi nasehat dan membantunya sejak dahulu. Langkah, rezeki, pertemuan dan maut adalah di tangan Tuhan, kata orang orang zaman dahulu, empat serangkai ini pasti dilalui dan dialami oleh setiap manusia pada umumnya. Langkah Amat meninggalkan kampung halaman pergi merantau, dalam hal ini dapat dinilai sangat baik. Kemudian diikuti oleh rezeki yang berlimpah. Dua hal yang sudah pernah dilaluinya, maka tibalah hal ketiga, pertemuan.

Kiranya pertemuan Amat sudah ditetapkan dan ditakdirkan oleh Tuhan bukan dengan orangnya sekampung sebagaimana lazimnya, tetapi dengan seorang gadis anak bangsawan di Pulau Pinang itu sendiri - Asam digunung garam dilaut bertemu dalam belanga. Pemuda Aceh dari kampung Pasie, gadis bangsawan di pulau Pinang bertemu dalam perjodohan. Gadis bangsawan ini selain sangat cantik berbudi baik pula. Benar-benar pasangan yang serasi lahir dan bathin.. Betapa meriahnya upacara persemian perkawinan sepasang insan ini, kiranya seorangpun tak akan mampu mengisahkannya dengan sempurna. Tujuh hari tujuh malam pesta pora. Selama itu Linto Baro (Pengantin lelaki) dan Dara Bare (Pengantin Perempuan), tidak sepi-sepinya mendapat kunjungan dan jabatan tangan ucapan selamat dan berbahagia dari semua handai tolan, kenalan serta sanak famili di Pulau Pinang. Saat-saat bersejarah demikian ini tidak dilewatkan begitu saja oleh sepasang Linto Baro dan Dara Baro ini. Mereka berbulan madu ke semua tempat-tempat hiburan dan tempat yang menyenangkan di pulau Pinang. Bahkan melawat kedaratan semenanjung Malaka. Dalam bermesra-mesraan keduanya sudah mulai berbincang-bincang dengan sikap saling manja terhadap kehidupannya dimasa yang akan datang. Mulai dari bakal rumah yang akan mereka tempati terlepas dari orang tua sampai kepada buah hati mereka berdua.
Amat sebagai Linto Baro sudah menempati rumah baru bersama isternyaSudah mulai kembali membuka usahanya. Dengan kapalnya sendiri kadang-kadang disertai isterinya. Usaha dagangnya mendapat sambutan baik dimana-mana, sekali gus mendatangkan keuntungan yang besar. Satu hal yang masih sangat merisaukan hati Amat sudah dua puluh tahun Amat merantau, meninggalkan ibunya di kampung Pasie Aceh. Berkali-kali Amat merencanakan kembali menjenguk ibunya, bahkan sejak Amat belum berumah tangga, tetapi tetap ada-ada saja hal yang menggagalkan.. Kiranya Tuhan belum mengizinkannya. Kini dirasakan takkan ada lagi yang menjadi penghambat. Semuanya sudah ada padanya. Kapalnya lebih dari mampu berlayar ke pelabuhan Krueng Raya di Aceh dekat kampungnya Pasie. Isterinya sudah berkali-kali menayakan soal orang tua Amat, tetapi Amat sendiri belum pernah memberikan keterangan yang lengkap. Hanya Amat berkata supaya isterinya bersabar, satu waktu kelak pasti berjumpa dengan'mertuanya.

Suatu ketika tibalah saat yang baik. Amat memutuskan untuk menjenguk sekali gus menjemput ibunya. Pada mulanya Amat bermaksud pergi sendiri, tetapi isterinya berkeinginan keras pula ikut bersama. Ingin segera berjumpa dengan mertuanya dan ingin melihat dari dekat kampung halaman tempat tumpah darah suaminya yang tercinta. Mereka pergi bersama. Beberapa hari dan malam di laut antara pelabuhan yang ditinggalkan dan yang dituju. Kian dekat, hati Amat kian berdebar-kebar. Bagaimanakah nasib ibunya setelah dua puluh tahun ditinggalkan. Adakah perubahan-perubahan di pelabuhan dan kampungnya? Masih adakah orang yang mengenalnya, dalam pakaian dan tugasnya di kapal itu sebagi nakhoda?. Semua yang dirisaukan Amat tidak akan terjawab sebelum sampai di tempat yang dituju. Hanya hatinya yang semakin berdebar-debar, seirama dengan semakin dekat dan jelasnya daratan. Jangkar dibuang, kapal berlabuh agak jauh dari dermaga. Mata Amat nyalang ke tempat sekitar. Perahu-perahu masih seperti dahulu, mundar mandir mengitari kapal. Di sana-sini di daratan tidak banyak perubahan. Bangunan lama bertambah tua. Ada beberapa bangunan baru. Tetapi belum dapat menandai seorangpun diantara mereka di pelabuhan. Pak Agam yang dulu belum terlihat oleh Amat. Apakah masih bekerja di pelabuhan ataukah sudah berhenti karena tuanya. Amat masih dapat menandai tempat terakhir bersama ibunya dan Pak Agam di pelabuhan itu dulu. Semuanya terbayang kembali dengan jelas di benak Amat. Seakan-akan kejadian dua puluh tahun yang lalu, saat-saat ia meninggalkan pelabuhan pergi merantau, baru kemarin terjadi. "Hei, abang Amat! " tiba-tiba teriak seseorang dari perahu disamping kapal sambil melambaikan tangan. Amat terkejut mendengar namanya dipanggil. Ia menoleh dengan sikap menyelidiki siapa orang itu. "Abang pulang, ya. Aku Agam Puteh," teriaknya lagi dalam bahasa Aceh. Amat cepat ingat nama itu, lalu ia pun membalas dengan lambaian tanggan sambil tertawa riang. "Naiklah ke kapal Agam!" "Nanti saja bang. Kapalmu merapat dulu, Aku sedang sibuk!" Dengan melambaikan tangan kembali Agam Puteh meninggalkan tempat itu kecelah-celah kapal yang lain.

Amat mengagumi ingatan Agam Puteh yang demikian kuat. Amatpun ingat kembali masa kanak-kanaknya dulu. Agam Puteh anak pamannya. Dulu lebih kecil dan lebih muda sedikit dari padanya. Dipanggil demikian karena kulitnya memang sedikit lebih putih dari kawan-kawannya yang sebaya.

Melalui Agam Puteh, kemudian dari seorang ke seorang tersebar kabar sampai ke kampung Pasie, bahwa Amat sudah kembali. Kabar itu segera pula sampai ke telinga ibunya. Tak dapat dilukiskan betapa gembiranya ibu tersebut. Seakan-akan sudah kembali semua semangatnya, terobat pulih kembali semua penderitaan selama ditinggalkan Amat buah hatinya. Tak sabar ibu itu menunggu, ingin segera memeluk anaknya. Tak - banyak ia berharap, kecuali agar Amat segeTa kembali kepangkuannya. Amat, anaknya yang dahulu pergi merantau ke negeri orang, kini telah kembali. Dengan kelesuan tubuhnya karena tua, tertatih-tatih ibu itu berusaha berjalan ke pelabuhan. Di tengah perjalanan ia banyak bertemu dengan orang-orang dari pelabuhan. Hampir semua mereka meneriakan sambil jalan: "Bu ! Amat sudah pulang." Hanya dibalas oleh ibu itu dengan senyum bahagia dengan mulutnya yang sudah keriput.
Kapal merapat. Amat mendahului turun ke dermaga menandakan ia tidak asing di daerah itu. Tujuannya yang utama ke kantor Mungkin akan menanyakan hal ibunya. Hiruk pikuk di sekitarnya tidak dihiraukannya. Tiba-tiba: "Abang Amat!" teriakan kedua kalinya menyebut namanya. Amat menatap ke depan, Beberapa langkah di hadapan Amat, kelihatan Agam Puteh bersama seorang perempuan tua. Ditelitinya perempuan tua itu dari kepala sampai ke kaki. Rambutnya ubanan, wajahnya keriput, matanya keputih-putihan, kelihatannya sudah agak rabun, sudut-sudut mulutnya merah lelehan sirih yang dikunyah, pakaiannya compang-camping, badannya bungkuk, bertekenan pada sebuah tongkat.

"Abang Amat, inilah ibumu," kata Agam Putih dengan suara lembut seakan-akan memperkenalkan. " Anakku!!" sambung ibu itu sambil mengulurkan tangan kanannya memeluk Amat. Dalam hati Amat menyadari benar-benar ia sedang berhadapan dengan ibunya sendiri. Amat menoleh sejenak ke kapal dan sekitarnya. Dilihatnya isterinya sedang datang mendekat. Awak-awak kapal dan sebahagjan besar orang-orang dipelabuhan mengarahkan pandangan ke tempat ketiga itu. Tiba-tiba seperti halilintar disiang bolong Amat berteriak keras-keras 'Tidak, tidak! Ini bukan ibuku!" "Akulah ibumu, nak!. Ibu merasa gembira dan bahagia sekali, engkau kembaü. Peluklah aku nak!" 'Tidak! Engkau bukan ibuku, engkau adalah pengemis tengik dan busuk Ibuku tidak begini rupanya! Kiranya Amat enggan dan mungkir mengakui perempuan tua itu ibunya, karena takut dicemoohkan oleh isterinya dan anak buahnya di kapal. Pada pikiran Amat, kalau mereka tahu ini ibunya, tentu mereka akan mengatakan bahwa Tuan Amat yang kaya raya itu adalah sebenarnya keturunan rakyat jelata yang melarat, tidak pantas memperisterikan seorang nerempuan turunan bangsawan. Karena itu Amat mengingkari kenyataan yang sebenarnya. "Anakku, akulah ibumu nak, Akulah yang melahirkanmu. Air susu ibu inilah yang membesarkanmu. Marilah kita pulang ke rumah, nak!" "Barangkali benar pengakuan orang tua ini, bang!" kata isterinya. "Memang benar, inilah ibumu, bang Amat! Keadaannya memang sudah banyak berubah, sudah sangat tua setelah berpuluh tahun kau tinggalkan. Aku tahu sekali, bang!" kata Agam Puteh menambahkan. "Ah, tidak! Ini bukan ibuku. Ini pengemis tua yang tidak tahu malu Pergi, pergi dari sini " Amat menuding. "Anakku," ibunya mendekat maju ingin meraih Amat. 'Tidak! Jangan dekati aku. Aku nakhoda baru datang ke mari."  "Anakku, aku ibumu nak. Suaramu masih dapat kutandai. Suara Amat, anakku!" Ibu itu maju mendekat terus mengulurkan tangan seakanakan meraba-raba hendak menjamah wajah anaknya. "Hai bedebah!" Amat menendang perempuan tua ini sampai jatuh terjungkir. Tongkatnya terpelanting. Amat sendiri menarik tangan isterinya lari dan naik ke kapal. Serta Amat memanggil semua awak kapalnya. Berteriak memberi perintah supaya kapalnya segera berlayar meninggalkan pelabuhan itu. Ibu itu dengan susah payah berusaha bangun dan duduk bersimpuh. Lalu menadahkan tangan, dan mengadahkan muka ke langit, berdoa:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun