Mohon tunggu...
Irsyad Feisal Ahmad
Irsyad Feisal Ahmad Mohon Tunggu... -

Menjadi salah berpikir hingga menghancurkan semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Amat Rhang Manyang (Cerita Rakyat Dari Aceh)

8 September 2012   10:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:45 1488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

ia akan mendapat makanan di kapal. Tersebar pula kembali kabar di kampung Pasie, bahwa Amat akan segera berangkat. Kawan-kawannya datang ke rumahnya atau dudukduduk berkelompok di bawah pohon kelapa di luar kampung berbincang- bincang tentang keberangkatan Amat dan kemungkinan nasib serta keberuntungannya di perantauan. Diantara mereka sambil bergurau berkata: "Mat, jika engkau beruntung menjadi orang kaya kelak, jangan lupa kepada kami ya!". "Ah, mana mungkin Amat ingat kita lagi. Biasanya orang kaya lupa kepada orang miskain seperti kita i n i . " kata yang lain pula. "Ha Ha ha !", mereka semua tertawa. " Betulkah begitu, Mat?" tanya yang lain pula. "Insya Allah tidak akan kulupakan kalian, jawab Amat.. "Justru aku pergi untuk kebahagian ibuku. Agar ia lebih berbahagia. Kalian kan tahu kehidupanku berserta ibuku sekarang lebih melarat dari kalian semua", kata Amat menambahkan.

Kabar itu sampai pula ke kampung Paya Senara dan kampungkampung lain sekitarnya. Banyak orang memuji keberanian Amat dan kebaikan hati Pak Agam yang sudah membantunya. Didapatlah berita dari Pak Agam bahwa besok pagi kapal yang ditumpangi Amat akan bertolak menuju Sabang. Pak Agam menyuruh Amat mempersiapkan apa yang perlu. Hati Amat dag-dig-dug menerima berita itu.

Malam Harinya ibu Amat berusaha menenangkan perasaannya. Dinasehatinya Amat sebanyak-banyaknya. "Anakku, hanya nasehat itulah yang dapat ibu berikan sebagai bekalmu. Ingatlah bahwa nasehat itu jika diindahkan dan dilaksanakan mana yang perlu adalah sama dengan mukjizat. Jika tidak diindahkan dan tidak dilaksanakan akan menjadi sebilah pedang yang akan memotong leher sendiri. Camkanlah semua nasehat ibu itu", kata ibu Amat.

Setelah berhenti sejenak ibu Amat bangun dari duduknya pergi kesebuah peti kayu tempat penyimpanan pakaian. Seketika ia duduk kembali mendekati anaknya sambil menggenggam sesuatu ditangannya.
"Anakku", ujarnya kemudian sambil mengulurkan isi genggamannya. Bawalah rencong ini besertamu. Satu-satunya benda berharga milik bapakmu, warisan dari kakekmu. Rencong ini bukan untuk menyerang orang dalam perbuatan jahat, tetapi untuk membela dirimu terhadap siapapun yang dengku khianat kepadamu. Terimalah anakku!" Amat mengulurkan kedua tangannya dengan gemetar menerima benda itu. "Nasehat ibu akan kuingat dan kupatuhi selamanya" "jawab Amat singkat dan haru. Kiranya keduanya tak mampu lagi menahan air mata mereka, maka bercucuranlah keluar. Terompet kapal sudah berbunyi sekali, ketika Amat yang menyandang bungkusan beserta ibunya tiba di pelabuhan. Pak Agam dengan ramah menyongsong mereka. Ia memberi petunjuk kepada Amat bagaimana naik ke kapal dan memberi tahukan agar segera naik. TerjadÃœah perpisahan yang tak tertuliskan betapa harunya antara Amat dengan ibunya. Terakhir kelihatan Amat memeluk kaki ibunya.
Terompet kedua , terompet ketiga berbunyi. Kapal perlahanlahan bergerak maju. Amat melambaikan tangannya dengan lesu dari geladak. Ibunya beserta Pak Agam membalasnya demikian juga dari dermaga. Dalam hati ibunya berdoa semoga anaknya lekas kembali. Sebenarnya nakhoda kapal itu tidak bermaksud memberikan pekerjaan yang berat kepada Amat. Ia tertarik kepada dita-cita Amat yang demikian luhur, lalu ingin membantunya. Di kapal pekerjaannya ringan saja dan bebas kesana kemari.

Pakaiannya digani seperti awak kapal lainnya. Kelihatan agak kebesaran sedikit karena memang Amat masih terlalu muda, umurnya padawaktu itu kira-kira lima belas tahun. Karena ramahnya cepat Amat dapat menyesuaikan diri dengan awak kapal lainnya. Semua mereka memanggil adik kepadanya, kecuali hanya nakhoda sendiri yang memanggilnya Amat. Sejak di kapal ia banyak ingin tahu tentang kapal itu. Sering ia
bertanya kepada awak-awak kapal lainnya, dimana tempat barang dan sebagainya, sampai-sampai ia menyanyakan nama nakhoda kapal tersebut. Tentang laut ia tidak begitu takjub, karena Amat sendiri
memang anak pantai. Sementara awak kapal dalam kesibukan, kadang-kadang Amat menyendiri. Terbayang kembali perpisahannya dengan ibunya, apa kiranya yang dikerjakan ibunya sekembalinya dari pelabuhan dan kapan ia akan kembali. Melihat semua tingkah laku Amat nakhoda menganggukanggukkan kepalanya, tandanya ia suka kepada Amat dengan kerajinan, dan keramahannya.
Tibalah kapal yang ditumpangi Amat ke Sabang sebuah pelabuhan dipulau Weh yang terletak diujung utara pulau Sumatera. Kapal berlabu Barang untuk Sabang diturunkan, kemudian ada pula yang dinaikan ke kapal. Waktu istirahat awak kapal boleh turun ke darat daerah pelabuhan. Amat sudah lebih leluasa dapat memperhatikan keadaan kesibukan- kesibukan di kapal dan di darat daerah pelabuhan itu sendiri. Amat menilai tidak banyak berbeda dengan pelabuhan di Krueng Raya dekat kampungnya. Pasie. Terompet pertama berbunyi tanda kapal akan segera bertolak. Tanda yang sudah dikenal Amat sejak ia kanak-kanak. Mnyusul terompet kedua dan ketiga. Kapal bergerak mengubah haluan ke arah selatan, ke pulau Pinang, yang kemudian disebut Penang saja. Betapa indahnya kala senja di tangan laut tanpa tepi, seakan-akan dunia ini hanya lautan belaka. Betapa indahnya haluan membelah ombak. Buih-buih kekuning emasan ditimpa rena senja. Ikan hiyu berbondong-bondong mengikuti kapal, kadang-kadang di haluan kadang-kadang diburitan. Ikan terbang sekali-sekali melayang di atas permukaan air. Demikian berhari-hari. Bagi Amat cukup mengasyikkan, karena perjalanan jauhnya yang pertama sekali. Lain halnya dengan awak kapal lainnya, baru sehari dalam perjalanan sudah rindu kepada pelabuhan yang dituju.

Kapal terus melaju, melaju tiada henti siang dan malam. Yang ditakuti adalah angin topan yang dengan mudah dapat mengombang-ambingkan kapal laksana sabut. Bila hal itu terjadi kecekatan dan ketrampilan awak kapal menurunkan layar sangat diperlukan. Juru mudi dengan penuh waspada mengendalikan kemudi. Hiruk pikuk dan teriakan komando berkumandang kemana-mana. Syukurlah hal seperti itu tidak terjadi kali ini, hanya cerita awak kapal yang sudah pernah mengalaminya kepada Amat. Kapal terus melaju, lagi-lagi melaju sampai suatu ketika kelihatan daratan sayup-sayup di kejauhan.

Pulau Pinang dengan Penangnya, salah satu kota pelabuhan besar diselat Malaka, ramai sekali. Perahu-perahu mundar-mandir diselesela kapal-kapal yang sedang berlabuh. Dermaganya kokoh kuat, gudang-gudang berderet teratur. Beberapa kapal sedang merapat membongkar dan memuat barang. Yang lainnya membuang jangkar agak jauh, menunggu giliran merapat, termasuk kapal yang ditumpangi Amat. Pada suatu kesempatan menjelang kapal merapat ke dermaga Aamat agak terkejut mendapat tepukan di kedua bahunya dari belakang. "Ah: kiranya nakhoda," pikir Amat dalam hati. "Apakah kau senang dalam pelayaran tadi, Mat?" tegur nahkoda. "Senang sekali tuan dan pengalaman saya yang pertama, jawab Amat. "Di pelabuhan ini kita agak lama berhenti, karena keluarga tinggal di kota ini. Engkau sewaktu-waktu boleh turun melihat keadaan di pelabuhan dan kota." "Terima kasih Tuan."

"Tidak berapa lama sesudah itu kelihatan nahkoda turun dari kapal, diiringi oleh dua orang kelasi mejingjing kopernya. Dalam hati Amat merasa cemburu mengapa bukan dia yang disuruh Nahkoda mengiringkannya supaya ia tahu rumah nakhoda itu. Tetapi kemudian Amat menyadari bahwa tidak seluruhnya harus bergantung kepada pertolongan orang lain.  Amat berusaha membantu pekerjaan awak-awak kapal, kendatipun kepadanya tidak terlalu dituntut suatu keharusan. Sekali-sekali dipergunakannya waktunya melihat-lihat kota. Menurut ukurannya kota itu cukup besar. Bendi dan gerobak lembu merupakan alat angkut yang utama. Ada juga gerobak kecil yang ditarik orang. Umumnya merupakan alat angkut jarak dekat dan untuk barang-barang yang tidak terlalu berat. Bermacam-macam orang memenuhi jalan-jalan dan pasar dalam kota, Laki, perempuan dan anak-anak hilir mudik mrasing-masing dengan urusannya sendiri. Kebanyakan orang-orang itu perawakannya seperti Amat sendiri. Kemudian Amat tahu bahwa merekalah yang disebut orang Melayu. Ada yang disebut orang Barat, orang India, orang Keling, Cina dan sebagainya.

Amat tidak di kapal lagi. Permintaan Amat agar ia diizinkan tinggal di Penang dikabulkan oleh nakhoda. Nakhoda menepati janjinya dahulu bahwa Amat boleh turun dimana saja di tempat yang diinginkannya. Bahkan nakhoda yang baik itu menambah nasehat-nasehat dan Amat sangat berterima kasih atas semua kebaikannya. Sepeninggal kapal, Amat berusaha mencari pekerjaan untuk menyambung hidup nya dari hari ke hari. Lama-lama Amat menyadari bahwa di kota Penang yang dalam tanggapan Amat demikian aman dan tenang, dihuni oleh berbagai bangsa, kiranya tidak mudah mendapatkan pekerjaan, berbeda dengan dugaan Amat semula. Sudah berhari-hari Amat mencari pekerjaan apa saja yang mungkin dilakukannya, tetapi belum kunjung dapat. Pengalaman pahit pertama Amat dirantau orang.

Sebenarnya Amat adalah anak yang cerdas dan dapat dipercayai. Hal ini dapat dibaca pada porosnya dan sudah kelihatan pada waktu mengaji di kampungnya dahulu. Kiranya orang-orang sangsi memberikan pekerjaan kepada Amat, karena banyak pengalaman mereka memerima anak yang seperti itu, akhirnya menipu mereka dengan mencuri uang dan barang-barang berharga lalu lari dengan kapal keluar negeri. Apalagj Amat sering mamaki pakaian kelasinya Suatu hari Amat jadi nekad, tetapi dengan pikiran yang jujur. Ia memberanikan diri memasuki sebuah warung dan meminta sepiring nasi campur. Karena laparnya segera nasi itu dilahapnya. Dalam hati timbul rasa ngerinya. Bagaimanakah jadinya nanti, uang di kantong tidak ada sepeserpun. Apakah ia akan dipukuli karena tidak dapat membayar nasi yang dimakannya atau dibawa ke kantor polisi, kemudian dijebloskan ke dalam penjara dengan tuduhan menipu? Ia berdoa kepada Tuhan semoga memberikan jalan baginya. Perbuatan itu dilakukannya karena terpaksa, karena laparnya tidak tertahankan lagi. Selesai makan dengan maksud baik, Amat segera menghadap orang pemilik warung, dan mengemukakan dengan sikap hormat, bahwa ia tidak dapat membayar yang dimakannya dengan uang, tetapi bersedia mengerjakan apa saja yang disuruhkan kepadanya. Mendengar pernyataan Amat penilik warung mengerutkan dahinya kemudian meledaklah marahnya, dengan melontarkan kata-kata penginaan dan pedas Amat menundukkan kepalanya, insyaf akan'perbuatan nekadnya. "Kuseret kau ke kantor polisi, penipu! bentak peninik warung lagi. Amat tidak dapat berbuat apa-apa. Dalam hati ia merasakan apa yang tadi dibayangkannya akan terjadi, ia menyerah kepada keadaan Kiranya penilik warung berpikir pula. Apalah artinya harga sepiring nasi baginya dibandingkan dengan kebutuhan yang amat sangat bagi seseorang. Penilik warung ingin menguji kebenaran pengakuan Amat. Lalu katanya dengan nada suara yang jnenurun: "Kalu kau memang mau membayarnya dengan bekerja, baiklah. Mari ikut aku." Pelayan yang lain terheran-heran, mengapa anak muda yang tadi disugukannya sepiring nasi, tiba-tiba saja sudah bekerja bersama mereka, mencuci piring. Amat mengetahui hal itu, tetapi ia tidak peduli, yang penting bagi Amat ia dapat membayar walaupun dengan tenaga. Amat berusaha bekerja dengan tekun dan sebaik-baiknya. Sudah berapa hari Amat bekerja diwarung itu dengan upah hanya sekedar dapat makan saja. Demikianpun bagi Amat sudah merasa syukur.

Suatu hari dirumah pemilik warung yang terletak dekat pinggiran kota, didepan keluarganya dan tamu tercetuslah cerita tentang Amat diwarung itu sebagai bahan kelakar. Keluarga pemilik warung beserta anak-anaknya tertawa terbahak-bahak dan tamunya tersenym-senyum begitu tuan rumah selesai dengan ceritahya. Mereka menganggap cerita itu lucu. "Sebenarnya aku tidak memerlukan tenaganya, pelayanku sudah cukup," kata tuan rumah. "Tetapi aku kasihan, dari pada ia akan berbuat begitu juga di tempat lain, "tambahnya lagi. Kemudian tuan rumah menceritakan akan sejarah hidup Amat, sebagaimana pernah diceritakan Amat kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun