Aku kerja di restoran Pizza Mesir. Pizza yang sangat terkenal di Lakemba, nggak jauh dari apartemen ku. 15 menit naik sepeda. Di sanalah aku mendapatkan tambahan untuk biaya hidupku selama di Sydney sebagai pencuci piring. Aku kerja seminggu tiga kali seusai kuliah. Kerjaku di dapur. Terkadang juga membantu membuat adonan Pizza dan merapikan meja. Awalnya aku kerja karena ikut pak Budi yang kebetulan bantu beliau mengecat Restoran Pizza itu. Karena kedekatan Pak Budi dengan yang punya Restoran aku akhirnya bisa kerja di sana. 2 jutaan sehari kalau di rupiahkan aku bisa digaji. Besar memang. Tapi jika dibandingkan biaya hidup di sana. Nggak ada apa-apanya uang itu.
Kesal di tempat kerja, kesal di Apartemen, kesal di Kuliah. Kalau Om Pepeng “Jari-Jari” pernah bilang kepadaku saat aku berkunjung ke rumah beberapa tahun yang lalu : Kita itu sering di serang penyakit pagi. Apa itu penyakit pagi? Pagi-pagi kita sudah diserang penyakit mengeluh. Kerja ini, kerja itu, tugas ini, tugas itu, di marahin bos, diledekin kawan, di acuhkan pacar, di tekan dosen. Wah, setumpuk penyakit pagi sudah menyerang kita. Pagi-pagi kita sudah kalah “ kata Om Pepeng dengan semangat nya menjelaskan kepadaku. Saat itu Aku melihat dia terbaring di kasur, Cuma semangatnya sangat luar biasa. Di kasur itu lah dia berkarya. Nah sedangkan Kita gimana???
“HEEEI” , melamun aja. Wajah mungil itu hadir lagi di depanku. Kaget aku. Si gadis Cokelat duduk di sebelahku. Entah kenapa aku lihat dia jadi ingat cokelat. “Kenapa melamun?” Pulang kerja atau pulang kuliah?” Pertanyaannya diarahkan kepadaku.
“Pulang kuliah, aku capek jadi aku tinggalkan kuliahku” jawabku lemas. “oh” dia ngengangguk-angguk. “ya udah istirahat dulu” tambahnya. Dia lepaskan baju jubah kerjanya dan diletakkannya dikursi sebelah. “boleh aku duduk di sini kan?” dia bertanya seperti aku yang punya tempat duduk. “ ya tentu bolehlah, kan kamu yang punya” jawabku agak menyindirnya. Dia pun tersenyum.
“Aku juga kerja di sini koq.” Aku sudah kerja di sini enam tahun. Sejak aku berumur 18 tahun. “ jelasnya. Oh berarti kamu sudah lama di Sydney?” selidikku. “aku lahir di sini, dan aku warga negera sini, tapi aku dibesarkan di Indo sampai aku berumur 15 tahun. Umur 16 aku kembali ke sini.” Tambahan penjelasan yang ku dapatkan.”Koq bisa begitu” tanyaku lebih dalam.
“Ayah Ibuku cerai” dan sekarang aku berhak untuk memilih dengan siapa aku hidup. Sorry, aku dah banyak tanya...kataku. “ Oh ndak apa-apa. Aku suka bicara dengan siapapun, jadi banyak kawan. Utamanya orang Indo. Kan kita saudara.” Penjelasannya membuat hatiku sejuk. Sudah lama aku nggak dengar kata-kata menyejukkan seperti itu. Tiga kali seminggu yang aku dengar makian dari si Mesir keparat itu. Yang aku sendiri tidak mengerti apa yang dia katakan. Ini semua membuat ku stress.
Sepuluh puluh menit tanpa terasa, aku bicara dengan nya di awal-awal. Tanpa sedikitpun dia memotog pembicaraanku. Dia paling mengangguk, tersenyum tipis. Pakainnya bersih, rapih. Rambutnya tergerai sampai ke bahu. Matanya ku lihat tidak terlalu sipit. Manis dan cantik oriental-lah. Tidak gemuk dan tidak kurus. Gunakan jeans dan sepatu cats putih.
Sesekali dia bertanya jika dia tidak memahami apa yang aku bicarakan. Dia mengulangi pernyataanku dan dia bertanya ”apa ini yang kamu maksud” trus dia mendengarkan lagi. Dia nampak seperti seorang psikolog yang sedang menghadapi pasiennya.
”Sudah?”oke, sekarang aku berpendapat ya. Aku mengangguk dan membiarkan dia sekarang yang berbicara. ” Di awal aku kerja, aku memang selalu terpangaruh oleh kondisi yang ada di sekitarku. Oleh cerewetnya pelanggan, oleh makian Ayah tiriku, itu yang punya restoran adalah ayah tiriku. Belum di rumah ataupun tempat lain aku dapat cacian dan makian.
”Terkadang kita salah menyikapi kondisi. Kita hadir bukan sebagai diri kita sendiri. Tapi kita hadir karena di setting keadaan. Keadaan yang selalu memaksa kita untuk begini dan untuk begitu. Karena apa? Karena kita sendirilah yang menentukan bahawa kita rela di atur oleh permasalahan kita sendiri. Kita rela di atur oleh teman-teman se-apartemen kita, kita rela di atur oleh orang dimana tempat kita bekerja.
”Kita rela di atur oleh perasaan sedih kita sendiri, oleh sangkaan-sangkaan kita sendiri. Kita tidak punya inisiatif.”
”Kenapa kamu tidak jadi dirimu sendiri?? Dia terdiam beberapa saat. Aku pun tercekat. Tapi yang ku tangkap tatapan matanya masih redup tanda dia masih mau meneruskan ceramahnya.