Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki mayoritas penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Dilansir dari laman kemenag.go.id, sekitar 87.2% penduduk Indonesia beragama Islam. Menurut data sensus tahun 2020 seperti yang tercantum dalam laman BPS, jumlah penduduk Indonesia tercatat 270.203.917 jiwa. Ini berarti ada sekitar 235 juta penduduk Indonesia beragama Islam. Dilansir laman worldpopulationreview.com, Indonesia berada dalam urutan kedua dari 10 negara dengan populasi muslim terbanyak di dunia. Jika dikaitkan dengan sektor ekonomi, ini menjadikan Indonesia sebagai pasar produk halal global terbesar di dunia.
Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah nomor 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, menjadi payung hukum utama terkait kebijakan jaminan produk halal di Indonesia. Dalam PP tersebut disebutkan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal, kecuali produk yang berasal dari bahan yang diharamkan.
Kewajiban sertifikasi produk halal ini dilakukan melalui beberapa tahap, dimulai tahap pertama yaitu 1) Produk makanan dan minuman; 2) Bahan baku, bahan tambahan pangan, dan bahan penolong produk makanan dan minuman; 3) Hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Tenggat waktu sertifikasi halal pada tahap pertama ini adalah 17 Oktober 2024. Sedangkan penahapan selanjutnya meliputi kategori produk seperti pada bagan terlampir.
Sebagai seorang farmasis, tentu perhatian saya tertuju pada penahapan kewajiban sertifikasi halal produk farmasi yakni 1) Obat Tradisional (Obat Bahan Alam), Suplemen Kesehatan, dan Kuasi di tanggal 17 Oktober 2026, serta 2) Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, dan Obat Keras (kecuali Psikotropika) di tanggal 17 Oktober 2034.
Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan pelaku usaha sektor farmasi di Indonesia dalam memenuhi regulasi ini? Apa saja tantangan yang mungkin dihadapi para pelaku usaha dan regulator dalam mengimplementasikan ketentuan ini?
Sekilas tentang Sistem Jaminan Produk Halal
Setelah UU nomor 33 tahun 2014 terbit, salah satu perubahan yang paling mendasar adalah proses sertifikasi halal yang dilakukan melalui sinergi dari tiga pihak yaitu :
1. Badan Penyelenggara Jaminan produk Halal (BPJPH)
Bertanggung jawab untuk menetapkan regulasi, menerima dan memverifikasi pengajuan produk yang akan disertifikasi halal, serta menerbitkan sertifikat dan label halal.