Bicara soal ziarah perjalanan spiritual, mungkin pembaca sekalian pernah dengar Camino de Santiago, atau Ziarah Arbain (Arbaeen Walk), atau Amarnath Yatra? Ketiganya boleh dikatakan sebagai ritual perjalanan spiritual yang ditempuh dengan berjalan kaki dengan jarak puluhan hingga ratusan kilometer.
Camino de Santiago atau dikenal juga dengan Way of St. james adalah jaringan luas rute ziarah kuno yang membentang dari seluruh Eropa dan berakhir di makam St. James di Santiago de Compostela, ibukota Galicia di sebelah barat laut Spanyol. Ada beberapa rute populer yang bisa dilalui oleh para peziarah seperti Camino Frances, Camino Portugues, Camino del Norte, Camino Primitivo, Camino Ingles, dan lainnya.
Sementara itu di Irak ada juga Arbaeen Walk, yakni long march sejauh kurang lebih 80 km dari kota Najaf ke Karbala (Irak) yang dilakukan oleh Muslim Syiah untuk memperingati Husain bin Ali saat peristiwa Asyura (tragedi Karbala).
Lalu di India, ada juga Amarnath Yatra yaitu ziarah tahunan umat Hindu India yang melalui gunung-gunung dan padang-padang rumput menuju ke sebuah gua es di Himalaya, Kashmir. Ziarah ini berlangsung sekitar bulan Juli hingga Agustus yang dipercaya oleh para peziarah sebagai momen untuk memperoleh kedamaian, pencerahan, dan berkat dari Dewa Syiwa.
Baru-baru ini, media sosial juga ramai memberitakan Ritual Thudong yang dilakukan oleh sejumlah biksu Thailand menjelang hari raya Waisak. Sudah tahu apa itu ritual Thudong?
Sekilas tentang Ritual Thudong
Jujur, saya baru belakangan ini mendengar Ritual Thudong. Dari beberapa sumber yang saya baca, Ritual Thudong sejatinya merupakan perjalanan spiritual yang dilakukan oleh Bhante (Biksu). Para biksu yang melaksanakan ritual Thudong ini umumnya mereka yang telah disumpah untuk menjalani hidup sebagai biksu pengembara (biksu Aranyaka).
Para bhante ini menempuh jarak ribuan kilometer dengan berjalan kaki, dengan tujuan membangun rasa persaudaraan dan perdamaian antar-umat di dunia. Di negara-negara Buddhis, ritual Thudong ini biasanya dipraktikkan oleh biksu Khamatama (biksu Dhutanga) yang tinggal di hutan. Mereka berjalan jauh dan tinggal di gua atau hutan.
Tahun ini 32 bhante melakukan ritual Thudong dengan berjalan kaki dari Nakhon Si Thammarat, Bangkok menuju ke Candi Borobudur, Magelang untuk menghadiri rangkaian perayaan Trisuci Waisak 2567 BE yang jatuh pada tanggal 4 Juni 2023 nanti.
Ritual Thudong pertama ke Indonesia ini diprakarsai oleh Bhante Wawan asal Indonesia yang mengajak biksu lainnya untuk berjalan kaki ke Candi Borobudur, situs candi Buddha terbesar di dunia. Perjalanan mereka dimulai sejak 23 Maret 2023. Adapun rute yang mereka tempuh adalah melewati Malaysia, Singapura, lalu masuk ke Indonesia melalui Batam.
Dari Batam, para biksu ini naik pesawat dan tiba di Bandara Soekarno-Hatta untuk kemudian melanjutkan perjalanan jalan kaki melewati Jakarta -- Bekasi -- Cikarang -- Karawang -- Pamanukan -- Kandanghaur -- Jatibarang -- Cirebon -- Losari -- Tegal -- Pemalang -- Pekalongan -- Banyuputih -- Kendal -- Semarang -- Ambarawa dan akhirnya tiba di Candi Borobudur pada tanggal 1 Juni 2023.
Tentunya kedatangan mereka disambut meriah oleh warga dari setiap kota yang mereka lewati. Total jarak yang ditempuh para bhante hingga sampai ke Candi Borobudur diperkirakan sekitar 2,600 km. Luar biasa bukan?
Selama perjalanan, biksu-biksu ini tidak membawa uang dan hanya makan dua kali sehari dengan mengandalkan sedekah dari orang-orang yang mereka temui di perjalanan. Selain itu selama perjalanan mereka juga tidak menginap di hotel, melainkan di klenteng-klenteng atau rumah warga setempat.
Memaknai Ritual Thudong untuk Hidup Keseharian
Sejak perjalanan para bhante ini dimulai pada Maret lalu, sesekali saya mengikuti updatenya dari media sosial. Ritual Thudong ini mengingatkan saya pada Biksu Tong, Sun Go Kong dan kawan-kawan dalam kisah Journey to the West yang tersohor.
Walaupun kedengarannya sederhana dan terkesan tidak memerlukan banyak modal, pastinya berjalan kaki sejauh ribuan kilometer bukan perkara mudah. Jangankan ribuan kilometer, timbang beli gula ke warung saja, orang-orang kita maunya naik motor. Ampun deh.. hihihi
Well, ritual Thudong dan perjalanan spiritual lainnya seperti Camino de Santiago dan lainnya sudah pasti memberikan banyak pesan bermakna yang bisa kita petik, antara lain :
1. Sarana Refleksi Diri
Sebagai orang awam, perjalanan spiritual semacam ini melatih kita untuk fokus pada tujuan, sabar, rendah hati, sederhana, gigih namun tetap berserah kepada Tuhan.
Ritual perjalanan seperti ini juga mengajak kita belajar untuk menenangkan hati dan pikiran, mengelola emosi dan amarah, mengamati hal-hal kecil yang sering luput dari perhatian kita, merefleksikan hidup yang telah kita jalani, bertoleransi dan berempati pada orang lain, dan pastinya belajar bersyukur untuk hal sekecil apapun.
Diperlukan stamina, mental, komitmen, dan kedisiplinan yang benar-benar kuat dan bukan kaleng-kaleng untuk bisa menyelesaikan misi ini. Tentunya ada banyak godaan yang bisa membuat peserta Thudong ini menyerah. Lelah, lapar, dan haus sudah pasti dirasakan. Belum lagi perubahan cuaca seperti panas-terik, hujan, berangin, dan lainnya. Tapi nyatanya para biksu ini berhasil menyelesaikan ritual Thudong dengan selamat dan sehat.
2. Toleransi Umat Beragama
Dalam perjalanan mereka para biksu membawa 3 bendera yaitu Bendera Indonesia, Bendera Buddhis, dan Bendera Dammacakka. Ketiga bendera ini tentunya punya makna tersendiri. Bendera Indonesia sebagai penghormatan kepada Indonesia sebagai tempat tujuan mereka yakni Candi Borobudur, sekaligus penghormatan kepada masyarakat Indonesia yang telah memberikan dukungan dan apresiasi tanpa memandang agama. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Sementara itu Bendera Buddhis yang terdiri dari lima warna memiliki makna simbolis yaitu, biru (melambangkan kebenaran, kesempurnaan, dan kedamaian), kuning (penghargaan, keluhuran, dan kemuliaan), merah (keberanian, kekuatan, dan keberhasilan), putih (kemurnian, kebersihan dan kebijaksanaan), serta jingga (melambangkan kebijaksanaan Buddha).
Terakhir, Bendera Dammacakka dengan lambang Roda Dharma yang berarti ajaran atau aturan untuk berkelakuan baik.
3. Berbagi itu Indah
Dari yang saya amati di media-media sosial, dimanapun para biksu ini tiba, selalu ada umat maupun warga setempat yang bahkan bukan umat Buddha, yang hadir memberikan dukungan baik moral maupun materil untuk mereka. Bahkan saat mereka tiba di Indonesia dan kota-kota yang mereka singgahi, para bhante ini disambut meriah dan diundang untuk menginap di rumah warga yang telah ditentukan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa misi persaudaraan dan perdamaian yang mereka usung selama perjalanan tercapai dengan baik. Warga Indonesia memang terkenal ramah-ramah bukan?
Tema Waisak tahun 2023 ini adalah "Aktualisasikan Ajaran Buddha Dharma di dalam Kehidupan Sehari-hari" dengan subtema "Momentum Waisak Memperkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa serta Perdamaian Dunia." Kini Candi Borobudur pastinya sudah disiapkan untuk perayaan Trisuci Waisak hari Minggu nanti. Pembaca sekalian ada yang ikut perayaan Waisak atau Festival Lampion di Candi Borobudur? Ditunggu ceritanya ya!
Selamat datang di Indonesia untuk para bhante dan selamat menyambut Hari Raya Trisuci Waisak 2567 BE untuk pembaca sekalian yang merayakan, semoga semua makhluk berbahagia.
***
Referensi :
Tempo | KemenagJabar | Caminoways | KemenagMakassar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H