Ya, saya paham betul tidak ada seorang pun yang ingin sakit. Saat sakit, kita tidak bisa beraktivitas dengan normal. Makan tak enak, tidur pun tak tenang. Jadi kalau kebetulan kita terserang suatu penyakit, ada dua kemungkinan yang akan kita lakukan.
Pertama, kalau penyakitnya tergolong ringan (misal demam/meriang, batuk, pilek, pegal linu, sakit kepala, sakit gigi, dan lainnya), kita bisa berswamedikasi dengan membeli obat yang dapat diperoleh secara bebas ke apotek atau toko obat.
Kedua, memeriksakan diri ke dokter lalu mendapatkan resep obat untuk ditebus di apotek. Perkara perlu rawat jalan atau rawat inap, itu lain cerita.
Tapi yang pasti kalau kita mengkonsumsi obat untuk mengobati penyakit, maunya sih cepat sembuh ya kan? Siapa juga yang suka kalau aktivitas rutinnya jadi terhambat gara-gara sakit. Kalau perlu begitu minum obat, hari itu juga langsung sembuh. 'Cespleng' lah pokoknya kayak magic!
Tapi masalahnya, obat bukanlah sulap apalagi sihir! Nyatanya obat juga butuh waktu untuk dapat bekerja secara maksimal dalam tubuh kita hingga akhirnya menyembuhkan penyakit yang kita derita.Â
Itulah mengapa ada yang namanya regimen pengobatan. Berapa dosisnya, bagaimana cara pemakaiannya, berapa lama konsumsinya, kapan harus digunakan atau dihentikan, dan sebagainya.
Obat yang digunakan secara per-oral (ditelan dan melalui saluran pencernaan), umumnya membutuhkan waktu diatas 10-15 menit untuk dapat memberikan efek.Â
Meski demikian, ada juga beberapa jenis obat yang efek/onset of action-nya cepat. Misalnya obat-obat dengan bentuk sediaan injeksi; inhalasi (dihirup); sublingual (di bawah lidah); atau suppositoria (melalui dubur).
Nah, sumber bahan obat ini bisa berasal dari hasil sintesis senyawa kimia seperti yang kita temukan pada obat-obat modern saat ini, atau dari bahan-bahan alami yang diolah untuk memperoleh zat berkhasiat/zat aktif yang memberikan efek pengobatan.
Seiring dengan berkembangnya gaya hidup back to nature, masyarakat mulai banyak menggunakan produk-produk berbahan alami, termasuk obat atau suplemen untuk menjaga kesehatan.Â
Namun sayangnya juga, sering disertai mispersepsi bahwa obat bahan alam (OBA) memiliki efek samping lebih sedikit dibandingkan obat kimia modern. Dan ternyata tidak sedikit juga masyarakat yang tetap mengharapkan efikasi/khasiat OBA yang sama cepatnya dengan obat kimia modern.
Jika tidak ada demand/permintaan, maka tidak akan ada penawaran. Dan masalah berikutnya adalah, ternyata masih banyak pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang memproduksi OBA ini dan mencampurnya dengan BKO (Bahan Kimia Obat). Ibaratnya alaminya dapat, khasiatnya cepat, penjualan pun meningkat.
Obat Bahan Alam tapi efeknya kok 'cespleng'?
Sebelumnya saya sudah pernah beberapa kali menulis artikel tentang obat tradisional. Menurut Undang-Undang Kesehatan nomor 17 tahun 2023, obat bahan alam adalah bahan, ramuan bahan, atau produk yang berasal dari sumber daya alam berupa tumbuhan, hewan, jasad renik, mineral, atau bahan lain dari sumber daya alam, atau campuran dari bahan tersebut yang telah digunakan secara turun-temurun atau sudah dibuktikan berkhasiat, aman, dan bermutu, digunakan untuk pemeliharaan kesehatan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit, pengobatan, dan/atau pemulihan kesehatan berdasarkan pembuktian secara empiris dan/atau ilmiah.
Obat bahan alam sendiri dibagi menjadi tiga kategori yakni Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka. Bedanya apa, bisa baca di sini ya.
Nah, dari definisi di atas sudah jelas bahwa komposisi obat bahan alam tidak boleh mengandung Bahan Kimia Obat (BKO). BKO yang dimaksud di sini adalah senyawa aktif yang diperoleh dari hasil sintesis senyawa kimia.
Selain BKO, obat bahan alam juga tidak boleh mengandung narkotika, psikotropika, dan prekursor (NPP), serta bahan tumbuhan atau hewan yang dilindungi.
Beberapa contoh BKO yang sering kedapatan terkandung dalam produk obat bahan alam misalnya:
1. Parasetamol, Fenilbutason, Antalgin, dan Deksametason pada produk OBA untuk pegal linu;
2. Sildenafil Sitrat pada produk OBA untuk penambah stamina pria;
3. Efedrin dan Pseudoefedrin HCl pada produk OBA dengan klaim untuk menyembuhkan dan mencegah Covid-19;
4. Sibutramin HCl pada produk OBA dengan klaim pelangsing, dan lain sebagainya.
Obat bahan alam biasanya bekerja lebih lambat dibandingkan obat modern yang sumbernya berasal dari senyawa kimia sintetis. Oleh sebab itu jika kita menemukan obat bahan alam yang diklaim memiliki khasiat yang 'cespleng' alias cepat dan instan, sudah sepatutnya kita curiga.
Mengapa Obat Bahan Alam tidak boleh mengandung BKO?
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah, kenapa sih obat bahan alam tidak boleh mengandung BKO?
Ada banyak risiko berbahaya jika kita mengkonsumsi obat bahan alam yang mengandung BKO, misalnya:
1. Risiko Efek Samping dan Toksisitas
Perlu diingat bahwa peraturan peredaran produk obat bahan alam tidak seketat obat kimia modern. OBA bisa dibeli secara bebas (Over the Counter) dan aturan pakainya juga tidak sangat spesifik alias bisa digunakan setiap saat atau bahkan jangka panjang.
Jika seseorang mengkonsumsi OBA yang mengandung BKO, ada risiko efek samping bahkan keracunan yang mengintai. Apalagi jika dikonsumsi terus menerus untuk waktu yang lama.
Beberapa contoh efek samping yang mungkin timbul misalnya, penurunan penglihatan atau pendengaran; pusing; mual; sakit kepala; pembengkakan pada bibir dan wajah; kerusakan hati; gagal ginjal; serangan jantung; hingga kematian.
Ih kok serem banget sih, beneran nggak ini? Oh ya, efek samping semacam ini sangat mungkin terjadi karena penggunanya tidak mengetahui berapa dosis BKO yang masuk ke dalam tubuhnya.
2. Risiko Interaksi Obat
Perlu diingat juga bahwa penggunaan obat bahan alam sebaiknya tidak dikonsumsi secara berdekatan atau bersamaan karena dikhawatirkan menyebabkan interaksi obat yang merugikan kesehatan.Â
Oleh sebab itu konsumsi OBA yang mengandung BKO juga sangat berisiko menimbulkan interaksi obat. Apalagi jika pasien sedang menderita penyakit lainnya atau mengkonsumsi obat lain atau dikontraindikasikan dengan obat tertentu.
Tips mengenali kemungkinan adanya BKO pada OBA
Ya namanya juga dilarang, pasti kecil kemungkinan kita bisa menemukan informasi kandungan BKO tercantum pada kemasan. Lalu bagaimana kita bisa mendeteksi apakah suatu produk OBA megandung BKO atau tidak?
Nah berikut beberapa tips yang bisa kita terapkan untuk mengantisipasinya:
1. Manfaat atau kerja OBA terasa instan ('cespleng') setelah penggunaan
Ini ciri utama bahwa kemungkinan produk OBA mengandung BKO. Misal setelah kita minum produk OBA untuk mengatasi pegal linu, lalu seketika kita merasa badan langsung segar dan tidak sakit.
2. Tidak ada Nomor Izin Edar pada kemasan
Nomor Izin Edar pada produk obat adalah identitas penting terkait legalitas peredaran produk tersebut. Oleh sebab itu jika kita menemui atau mendapatkan OBA yang tidak memiliki NIE atau NIE yang tercantum tidak bisa dicek di database BPOM, lebih baik tidak usah dibeli.
Bila pembaca sekalian juga ingin tahu produk-produk OBA yang telah diumumkan mengandung BKO, bisa berkunjung ke laman berisi Public Warning dari BPOM.
3. Mencantumkan klaim berlebihan pada kemasan
Seperti yang sudah disinggung di atas bahwa efikasi OBA seharusnya tidak instan seperti obat kimia modern. Jadi kalau kita sampai menemukan produk OBA dengan klaim khasiat yang berlebihan, kita patut curiga bahwa produk tersebut mengandung BKO.
Contoh klaim berlebihan misalnya, "Ampuh menyembuhkan Covid19 dalam waktu 1 minggu", "Mampu menurunkan berat badan hingga 10kg dalam waktu 2 bulan", dan lainnya.
4. Menampilkan gambar/desain vulgar pada kemasan
Ciri ini biasanya akan kita temui pada produk yang berkhasiat untuk meningkatkan stamina pria. Tujuannya tak lain untuk menimbulkan kesan khasiat produk yang 'tokcer' sehingga menarik perhatian konsumen.
Di Indonesia, ada regulasi tersendiri yang mengatur desain kemasan produk obat supaya tidak menimbulkan mispersepsi di masyarakat.
Oleh sebab itu jika menemukan produk dengan desain kemasan semacam ini, kita juga patut curiga.
5. Merasakan efek yang tidak diinginkan yang mengganggu/serius setelah penggunaan
Jika setelah minum produk OBA kita merasakan beberapa efek samping seperti yang sudah disebutkan di atas, sebaiknya hentikan konsumsi produk. Dan bila gejala terus berlanjut, sebaiknya hubungi dokter dengan menunjukkan kemasan produk tersebut.
Bijak dan Cerdas Menggunakan Obat Bahan Alam
Perlu peran dan kerja sama yang sinergis dari berbagai pihak yakni regulator, produsen, distributor, hingga masyarakat sendiri untuk memberantas peredaran produk OBA yang mengandung BKO.
Melalui tulisan ini saya juga ingin mengedukasi dan mengajak pembaca sekalian untuk lebih bijak dan cerdas dalam memilih dan menggunakan produk OBA.
Stay healthy, stay happy!
Catatan: artikel ini diperbaharui tanggal 9 Juni 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H