Selain kompensasi, salah satu hal yang membuat seseorang memutuskan untuk bertahan di pekerjaannya adalah lingkungan kerja dan karakter atasan.Â
Jadi ketika seseorang terjebak dalam lingkungan kerja atau atasan yang toksik, sangat mungkin ia melakukan Quiet Quitting. Apalagi ketika tidak ada hal yang bisa ia lakukan untuk dapat mengubah hal itu.
Apapun faktor yang mempengaruhinya, Quiet Quitting merupakan suatu tindakan yang kebanyakan diambil seseorang secara sadar. Baik ketika ia sedang berusaha mencari pekerjaan pengganti yang sesuai atau justru merasa too tired to continue, but too poor to quit.
Quiet Quitting, Yay or Nay?
Jujur saya pribadi berpendapat bahwa tindakan Quiet Quitting lebih banyak minusnya dibanding plusnya.Â
Saya agak mengkhawatirkan pengaruh media sosial yang luar biasa ini, akan mendorong timbulnya gerakan massal terutama bagi orang-orang yang gemar latah, mengikuti tren tanpa memahami esensinya.Â
Jika tren Quiet Quitting merebak lebih luas lagi, tentu hanya akan menimbulkan kerugian di kedua belah pihak (pelaku usaha & karyawan). Dan bukan tidak mungkin kondisi ekonomi yang saat ini sudah turun akibat pandemi, malah jadi sulit bangkit.
Quiet Quitting mungkin tidak masalah untuk dilakukan, jika kita memang sudah memperoleh pekerjaan pengganti yang lebih sesuai.Â
Tapi percayalah, Quiet Quitting hanya akan menurunkan performa kita di mata atasan dan perusahaan. Bukan tidak mungkin bahwa Quiet Quitters justru akan masuk dalam daftar teratas karyawan yang akan di PHK karena (sorry to say) mereka dianggap membebani perusahaan.Â
Belum lagi jika ada atasan yang tidak segan untuk menuliskan rekomendasi yang buruk tentang kinerja para Quiet Quitters dan menyulitkan mereka untuk memperoleh pekerjaan selanjutnya.
Mungkin memang masuk akal dan manusiawi ketika para Quiet Quitters bersembunyi di balik alasan work-life balance atau ketidaksesuaian kompensasi. Bagaimanapun kita bekerja bukan untuk menjadi sukarelawan, melainkan untuk memperoleh penghasilan dan penghidupan yang layak.Â