"Pokoknya ingat, layani suamimu dan keluarganya baik- baik. Jadilah istri dan menantu penurut dan berbakti. Karena memang untuk itulah hidup perempuan" -- Pengantin Pesanan (2018).
Judul buku yang unik, ditambah lagi sinopsis yang sangat menarik karena mengangkat 'tradisi' yang sebetulnya adalah isu sosial ini, sukses membuat saya sungguh penasaran.
Blurb
Sinta atau A Cin adalah seorang wanita keturunan Tionghoa asal Singkawang yang tinggal bersama ibu dan adik laki-lakinya. Berada dalam kultur sosial yang menjunjung tinggi patrilineal, dimana kaum laki-laki lebih diprioritaskan dibanding kaum perempuan, membuat Sinta merasa hidupnya cukup berat.
Berbeda dengan kehidupan sahabatnya yang menikah karena dijodohkan dengan pria asal Taiwan demi memperbaiki taraf hidup, Sinta memilih hanya ingin menikah dengan pria yang dicintainya, Gi Siang. Tak disangka, kehidupan Sinta setelah menikah justru tidak sesuai harapannya. Gi Siang dan keluarganya termasuk golongan yang sangat konservatif dan menjunjung tinggi patriarki. Jadi ketika Sinta melahirkan seorang anak perempuan, Gi Siang maupun keluarganya berbalik menyalahkan Sinta. Gi Siang menjadi pemarah dan suka memukul Sinta. Pada akhirnya Gi Siang dan Sinta pun bercerai. Sinta ke rumah ibunya dan membawa putrinya, Ling Ling.
Suatu hari, ibu Sinta meminta putrinya untuk bersedia menikah dengan pria Taiwan yang sedang mencari istri. Mencari 'Pengantin Pesanan'. Alasannya tak lain tak bukan adalah demi memperbaiki kehidupan mereka supaya lebih layak.
Sinta yang awalnya tak setuju, akhirnya berubah pikiran. Jika menikah dengan pria Taiwan yang sama sekali belum dikenalnya dapat membantu perekonomian keluarganya menjadi lebih baik, Sinta akan melakukannya. Apalagi karena ia juga sudah memiliki anak yang membutuhkan biaya pendidikan.
Setelah akhirnya Sinta menikah dan mengikuti suaminya Lu Kai Wei ke Taiwan, kehidupannya ternyata berbeda dengan harapannya. Ibu mertuanya bersikap sangat keras padanya. Meski ia adalah menantu keluarga, Sinta sering dimarahi dan diperlakukan seperti pekerja. Sinta harus bangun pagi-pagi sekali melayani mertua dan suaminya, lalu pergi bekerja di kedai ban tiao milik mertuanya. Sepulang bekerja, ia harus menyetor penghasilan hari itu kepada mertuanya, lalu kembali melayani mertua dan suaminya di rumah.
Meski Sinta menerima perlakuan yang tidak nyaman, ia bersyukur masih diberi sedikit penghasilan kedai ban tiao dari mertuanya untuk disimpan. Dengan demikian, ia bisa mengirimkan sejumlah uang untuk keluarganya di Singkawang. Suaminya juga cukup baik meski tidak terlalu perhatian pada Sinta dan tipikal anak mama yang takut pada orangtuanya. Setidaknya ia tidak ringan tangan seperti Gi Siang dulu dan mau menghibur Sinta bila ia merasa sedih karena tekanan ibunya.
Kehidupan Sinta mulai terasa lebih berat lagi ketika akhirnya ia mengandung. Selain kembali memperoleh tekanan untuk bisa melahirkan anak laki-laki, ibu mertuanya bahkan tetap menyuruh Sinta bekerja mengelola kedai. Meski letih, Sinta juga tidak boleh mengeluh karena ibunya sendiri terus-terusan memintanya mengirimkan uang untuk membayar hutang-hutang adik laki-lakinya yang manja. Sinta juga dihantui pengalaman traumatis dari keluarga Gi Siang dulu saat akhirnya melahirkan anak perempuan. Dan benar saja, Sinta kembali mengandung anak perempuan.