Mengurangi Limbah Farmasi di Rumah Tangga
Masih menurut PP No101 tahun 2014, disebutkan bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3, wajib melakukan pengurangan limbah B3. Pengurangan yang dimaksud bisa dengan cara substitusi bahan, modifikasi proses, dan/atau penggunaan teknologi ramah lingkungan.
Kalau di sarana produksi/distribusi/pelayanan farmasi umumnya disediakan peralatan yang memadai untuk mengolah limbah terlebih dahulu sebelum dibuang ke lingkungan. Misal menggunakan insinerator. Tapi kalau konteks rumah tangga tentu lain lagi ceritanya karena keterbatasan peralatan dan perlengkapan.
Sejalan dengan beberapa cara yang dianjurkan oleh WHO dalam menangani limbah farmasi (obat rusak dan/atau kedaluwarsa), berikut cara yang bisa kita terapkan di tingkat rumah tangga:
1. Dikembalikan ke sarana pelayanan farmasi komunitas
Misalnya rumah sakit/puskemas/apotek/klinik. Bisa jadi di sekitar lingkungan rumah kita, ada apotek yang menyediakan dropbox untuk menampung obat rusak dan/atau kedaluwarsa. Tapi mungkin terkesan agak repot karena tidak semua apotek memiliki take-back-program seperti ini.
2. Pastikan kemasan obat sudah dirusak
Saat akan membuang obat, pastikan isi obat dikeluarkan dari wadah dan kemasan obat sudah dirusak dengan cara dirobek/digunting/dilepaskan labelnya. Seperti yang sudah saya singgung tadi, cara ini untuk mencegah penyalahgunaan obat kedaluwarsa diedarkan kembali oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
3. Inertisasi limbah
Inert artinya kurang lebih 'tidak aktif'. Jadi sebelum dibuang ke lingkungan, limbah lebih dulu dicampur dengan zat inert. Untuk obat sediaan padat seperti serbuk/tablet/kapsul, dapat dimasukkan ke dalam wadah plastik tertutup. Kemudian dicampur dengan sepetanah, kotoran, bubuk kopi bekas atau lainnya, lalu dibuang ke tempat sampah dalam keadaan tertutup.
Untuk sediaan obat cair, dapat dicampur dengan air lebih dulu kemudian dibuang ke saluran pembuangan. Sedangkan untuk sediaan semisolid (seperti salep atau krim), keluarkan isinya lebih dulu.