Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

[Resensi] Melihat Sisi Lain Dunia Melalui "Jalan Panjang untuk Pulang"

20 Desember 2021   07:00 Diperbarui: 20 Desember 2021   07:04 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

"Seperti belum cukup kengerian cerita hantu di malam hari, Saraa masih menambah cerita tentang dukun hebat dari Darkhat yang dipenjara pemerintah komunis. Ya, dalam komunisme yang mengagungkan logika, tidak ada tempat hidup bagi shaman. Shaman memang tangguh menaklukkan arwah-arwah dunia supranatrual, tetapi tetap harus tunduk di hadapan pejabat dunia birokrasi. Ketika akhirnya shaman tua dari Darkhat itu meninggal dalam penjara, ada cahaya aneh yang terpancar dari jasadnya. Seminggu kemudian anak-anak para pejabat Partai Komunis itu mati. Kemudian istrinya. Kemudian dirinya sendiri. Kemudian sanak-saudaranya." - Jalan Panjang untuk Pulang.

Saya pernah cerita ada 6 hal yang menjadi alasan saya ketika akan memutuskan untuk membeli buku. Dan entah kenapa begitu melihat iklan promosi buku ini, saya langsung tertarik ingin membacanya. Mungkin karena gambar sampul bukunya yang menarik hati saya. Seakan sangat menggambarkan judul buku itu sendiri. Kalau bahasa Bataknya, 'lungun-lungun' (sunyi, sedih, rindu) gimana gitu.

Selain judul dan desain sampulnya, saya makin penasaran ketika baca sinopsis di belakang sampulnya. Kumpulan cerita dari tempat-tempat yang dikunjungi oleh si penulis, yang belakangan baru saya tahu bahwa beliau adalah penulis kawakan dari kalangan jurnalis. Pastilah mantap cerita-ceritanya.

Dan benar saja, kisah Jalan Panjang untuk Pulang dibagi menjadi 4 bab yakni Lokasi, Lokasi, Lokasi; Melintas Batas; Rumah di Sini dan di Sana; dan Pulang. Masing-masing bab berisi beberapa cerita yang menurut saya sangat informatif dan pastinya membuat pembacanya membayangkan setiap detail yang digambarkan oleh penulis.

  

Blurb

Sebenarnya ada banyak kisah yang sangat berkesan di benak saya. Tapi tentu saya tidak mungkin bisa mengulas itu semua dalam satu artikel ini. Jadi saya akan pilih tiga cerita yang paling berkesan bagi saya:

1. Menapak Jejak Shaman Mongolia

Cerita ini mengisahkan perjalanan penulis saat mengunjungi Mongolia, negara asal Genghis Kahn yang terkenal dengan predikatnya Land of Eternal Blue Sky karena langit birunya yang selalu terlihat hampir sepanjang tahun meskipun memiliki iklim yang cukup ekstrem.

Bersama kawan Mongolia-nya yang bernama Saraa, penulis rela melalui perjalanan sulit di tengah cuaca sedingin es menuju hutan Taiga di dekat perbatasan Rusia demi menemui seorang shaman yang konon terkenal dengan kekuatannya di seluruh negeri.

Dalam bahasa Mongolia, shaman disebut sebagai boo. Karena kurang tepat juga jika disebut sebagai dukun, shaman dalam masyarakat Mongolia memiliki arti yang lebih luas, yakni orang yang punya kemampuan magis dan berhubungan dengan dunia roh.

Untuk merasakan pengalaman ritual bersama shaman selama beberapa menit, penulis harus membayar biaya yang sudah disepakati sebelumnya. Sebenarnya agak aneh juga sih, si shaman mengatakan harus memberi uang seikhlasnya karena ritual tersebut bukanlah pertunjukan dan uang tersebut untuk ongon (roh) yang dipanggil. Tapi 'ikhlas' yang dimaksud justru didahului tawar menawar. Ya pokoknya begitulah.

Setelah mencapai kata sepakat, maka sang shaman akan memulai ritualnya dengan melakukan gerakan diiringi tabuhan genderang dan rapalan mantra bernada monoton nan menyihir. Dalam ritual ini, si pemohon dapat mengajukan pertanyaan kepada ongon.

Fenomena shamanisme kini telah menjadi atraksi bagi para turis - Biznetz shaman (shaman bisnis). Namun di sisi lain, sebagian orang di sana justru berpendapat bahwa Biznetz shaman telah melanggar kode etik para shaman yang membuat mereka seenaknya memanggil ongon untuk atraksi.

 

2. Bendera Merah Putih di Garis Batas

Mungkin cerita ini terkesan sepele, tapi bagi saya cukup menyentuh. Adalah seorang pria Papua bernama Wilem Bab. Ia tinggal di kampung Digo yang letaknya di hutan rimba pada perbatasan wilayah Indonesia dan Papua Nugini.

Suatu waktu ia menerima Bendera Merah Putih dari sepasukan tentara Indonesia yang sedang patroli. Tentara Indonesia itu menyuruh Wilem untuk mengibarkan bendera itu di kampung Digo karena berada di wilayah Indonesia. Namun Wilem justru merasa kampungnya berada di wilayah Papua Nugini. Ketika warga kampungnya tahu, Wilem disuruh mengembalikan bendera tersebut. Namun tentara Indonesia tetap memaksa Wilem untuk menyimpan bendera tersebut demi keamanan mereka.

Singkat cerita, Wilem dan warga kampungya tidak tahu bahwa para pendahulu mereka memang berasal dari Papua (Indonesia) dan terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang menuntut kemerdekaan Papua dari Indonesia.

Ketika para aktivis OPM dipukul mundur oleh aparat Indonesia, mereka kabur ke Papua Nugini sekaligus menggerakkan pengungsian besar-besaran warga di sepanjang perbatasan. Awalnya mereka diterima oleh rakyat Papua Nugini, namun tak lama terjadi perselisihan dalam merebutkan tanah dan makanan. Warga Digo tidak punya pilihan kecuali mundur ke barat. Dan tanpa disadari, mereka kembali masuk ke wilayah Indonesia, karena memang tidak ada tanda-tanda perbatasan kedua negara.

Generasi penerus kampung Digo cuma bisa keheranan mengapa tempat tinggal mereka begitu miskin, kumuh, tidak ada sekolah, tidak ada rumah sakit. Mereka tidak pernah makan ikan karena sungai yang tercemar limbah tambang. Banyak anak dan ibu yang meninggal karena digigit ular atau diseruduk babi dan tidak mendapat pengobatan.

Wilem merasa dilema jika meminta pertolongan ke Indonesia dia akan dianggap pengkhianat, namun tidak bisa berharap banyak juga ke Papua Nugini. Wilem hanya ingin bisa hidup selayaknya manusia.

3. Darah dan Nasionalisme

Dalam buku ini, beberapa kali penulis menginformasikan mengenai asal-usulnya, bahwa ia keturunan Tionghoa yang lahir dan besar di Indonesia, kemudian menempuh perguruan tinggi di China, dan akhirnya menjadi jurnalis yang berkeliling ke berbagai negara-negara yang memiliki sejarah konflik.

Ada kalanya ia merasa mengalami krisis identitas. Ketika di Indonesia ia dianggap bukan keturunan asli orang Indonesia. Namun ketika dia ke China justru juga tidak dianggap sebagai saudara oleh masyarakat Tionghoa di sana.

Pada bab ini penulis sangat kritis dalam menyampaikan pandangannya mengenai hubungan antara darah dengan kebangsaan dan nasionalisme. Menurutnya identitas kebangsaan sesungguhnya bukanlah masalah garis keturunan yang mengalir dalam darah kita, melainkan tentang rasa diterima dan rasa memiliki.

Perlakuan berbeda pada orang yang berbeda dengan kita secara terus menerus hanya akan menimbulkan konflik etnis, pemberontakan, dan separatisme. Ketika kita merasa diterima, dengan sendirinya kita akan memiliki sense of belonging. Kedua hal tersebut pada akhirnya akan membuat seseorang yakin dan menjadikan sebuah bangsa sebagai identitas dirinya dan rela berkorban untuk kepentingan bangsanya.

Moral Cerita

Karena masing-masing cerita memiliki latar belakang dan kisah tersendiri, maka sebetulnya ada banyak pesan dan moral yang bisa kita petik dari buku ini. Beberapa diantaranya:

1. Menghormati dan Menghargai Keberagaman

Perlu diketahui bahwa bukan hanya Indonesia yang memiliki keragaman suku dan budaya. Banyak negara lain di luar sana yang juga memiliki keberagaman. Dan dari cerita-cerita penulis, saya menangkap satu hal yang pasti. Mereka yang tidak menghormati dan menghargai keberagaman bangsanya sendiri pada akhirnya akan mudah dihasut untuk merasa benci dan merasa paling benar. Pada akhirnya sikap tersebut hanya akan mengantar kita pada konflik berlarut-larut dan perpecahan bangsa.

2. Tidak Hanya Memandang Suatu Hal dari Satu Sisi

Seringkali ketika kita menemui orang yang berpandangan sempit, kita akan berkata "Ya ampun hari gini masih berpikiran kayak gitu? Kurang jauh ih lo mainnya."

Kalau dipikir-pikir ada benarnya juga sih. Tapi yang saya maksud di sini kita tidak harus bepergian untuk bisa berpikiran luas, namun memiliki kerendahan hati untuk memandang segala sesuatu (terutama jika terjadi suatu konflik) dari segala sisi. Kerendahan hati untuk tidak egois memaksakan pemikiran kita sendiri. Kerendahan hati untuk mencoba memposisikan diri sebagai orang lain.

Jujur saya salut dengan penulis karena ia bisa bertahan berbaur dengan masyarakat lokal di negara-negara lain, yang bisa jadi prinsip dan gaya hidupnya tidak sejalan dengan dirinya sendiri. Apalagi tempat-tempat yang dikunjungi penulis banyak yang  anti-mainstream dan bisa jadi tidak ramah turis.

Saya percaya ketika kita memiliki kerendahan hati untuk membuka diri (sekaligus bersikap kritis), berani untuk memposisikan diri sebagai orang lain, melihat sesuatu dari sudut pandang yang berbeda dan disertai pengetahuan yang cukup, maka niscaya tidak akan berpikiran sempit.

3. Berinteraksi dengan Orang Luar Tidak Semudah Kelihatannya

Well, pesan yang ketiga ini sebenarnya menjadi reminder khusus bagi saya. Sebagai seorang introvert, saya cenderung tertutup ketika berada di lingkungan atau di tengah orang-orang baru. Meski begitu saya justru punya minat besar terhadap kultur budaya masyarakat tertentu. Sementara untuk bisa mengenal budaya lokal langsung dari masyarakatnya, tentu kita harus berani membuka interaksi dengan mereka dan tentunya dengan cara yang pantas.

Penulis yang berhasil menggali begitu dalam tentang kehidupan sosial, budaya, bahkan pandangan politik dari orang-orang yang baru ditemuinya, membuat saya merasa kagum.

Bagi sebagian orang, membuka percakapan santai saja mungkin sangat sulit. Apalagi kalau bisa sampai berdiskusi panjang kali lebar. Berinteraksi dengan orang-orang baru memang tidak semudah kelihatannya, tapi kalau tidak dicoba ya tidak bakalan tahu hasilnya seperti apa kan?

Rekomendasi

Saya tidak akan banyak komentar lagi, yang jelas buku ini sangat inspiratif untuk dibaca. Buku ini akan mengajak kita untuk berpikir lebih kritis terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai identitas diri, mengajak kita untuk memandang sesuatu dari sisi yang lain, serta mengingatkan kita untuk lebih bertoleransi terhadap keberagaman.

Penulis menyampaikan kisah-kisah persinggahannya dengan begitu apik, termasuk detail mengenai setting, kondisi tempat yang dikunjungi. Bahkan diselingi dengan informasi sejarah yang mengikuti tempat atau masyarakat yang ia temui. Meskipun tebal, pembaca tidak mudah merasa bosan karena kita dapat berimajinasi sekaligus memperkaya isi otak kita dengan informasi-informasi baru.

Tertarik baca?

Judul buku: Jalan Panjang untuk Pulang

Penulis: Agustinus Wibowo

Penerbit & tahun terbit: Gramedia Pustaka Utama (2020)

Jumlah halaman: 461 halaman

Rating pribadi: 5/5

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun