Sedangkan untuk perubahan kategori obat contohnya Vitamin E (dari Obat Bebas Terbatas menjadi Suplemen Kesehatan), Chlorhexidine (sebagai antiseptik untuk mengatasi radang gusi, biasanya digunakan untuk berkumur) berubah kategori dari Obat Bebas menjadi Alkes/PKRT (Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).
Tentunya perubahan golongan obat ini didasarkan pada pertimbangan manfaat dan risiko, termasuk bagaimana data klinisnya serta status keamanannya di negara-negara lain.Â
Sebagai contoh, perubahan golongan obat dari Obat Keras yang memerlukan resep menjadi OTC dapat dikatakan sebagai bentuk deregulasi untuk mendukung Swamedikasi.
Peran Apoteker dalam Pelaksanaan Swamedikasi
Istilah Swamedikasi (Self Medication) ini kurang lebih dapat diartikan sebagai suatu usaha pengobatan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dengan gangguan ringan.Â
Swamedikasi ini sebenarnya sudah cukup umum dilaksanakan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Meski demikian, Swamedikasi bukan berarti membebaskan masyarakat untuk membeli obat sembarangan.
Peningkatan swamedikasi biasanya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi, meningkatnya pengetahuan masyarakat dan akses terhadap obat.Â
Jenis obat yang diperbolehkan dalam swamedikasi terbatas hanya pada obat dengan dot hijau dan biru, obat tradisional, dan suplemen kesehatan.Â
Namun demikian justru disinilah peran penting apoteker dibutuhkan, mengingat ada beberapa risiko yang muncul akibat swamedikasi seperti, misdiagnosis, habituasi, reaksi alergi, dosage problem, dan interaksi obat.
Jadi apa saja sih peran seorang Apoteker dalam swamedikasi sebagai salah satu tujuan dari Permenkes yang baru ini?
Menyediakan Informasi Obat yang Objektif