Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama FEATURED

Mengenal Penggolongan Obat Itu Penting Lho!

3 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 15 April 2022   21:22 14902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: myriam zilles via unsplash.com

Suatu hari salah seorang kenalan bertanya melalui pesan Whatsapp, "Kak, tau tempat di mana kita bisa beli obat ini?" Dia menyertakan foto kemasan obat generik yang isinya sudah hampir abis. 

Saya bisa melihat tulisan 'Isosorbide Dinitrate 5 mg' tertera di kemasan tersebut. Sebagai informasi, Isosorbide Dinitrate (ISDN) adalah obat jantung. Jadi sebelum menjawab, saya bertanya beberapa hal dan kemudian saya mengetahui bahwa obat tersebut untuk orangtuanya.

Sebelumnya, orangtuanya pernah diresepkan obat tersebut oleh dokter. Namun karena obatnya sudah hampir habis dan ia merasa mungkin orangtuanya masih memerlukan obat tersebut, ia berinisiatif untuk membelinya sendiri. 

Tapi tak disangka, beberapa apotek yang ia datangi tidak ada yang mau memberikan obat tersebut tanpa disertai resep dokter. Masalahnya, orangtuanya tidak mau diajak ke dokter karena takut dengan situasi pandemi sekarang ini.

Akhirnya saya jelaskan bahwa obat tersebut merupakan obat keras yang perolehannya memang harus disertai resep dari dokter. Ada risiko yang mungkin timbul jika penggunaan obat keras tidak sesuai diagnosis dari dokter. 

Tentunya suatu obat digolongkan sebagai obat keras tentu ada alasannya. Misal berkaitan indeks terapi yang sempit sehingga dosis yang digunakan harus sangat diperhatikan supaya tidak menimbulkan Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD), atau memiliki efek samping serius, atau menimbulkan adiksi jika disalahgunakan. Dan akhirnya ia setuju untuk membujuk orangtuanya supaya mau menemui dokter.

Tapi faktanya ada kok apotek yang masih mau menjual obat keras lainnya tanpa resep dokter, bagaimana itu? Nanti saya singgung di bawah ya.

Pengetahuan mengenai penggolongan obat ini penting karena nyatanya masih banyak masyarakat awam yang tidak memahami mana obat yang harus disertai resep dokter dan mana yang tidak. 

Jadi supaya masyarakat umum juga paham bagaimana cara memperoleh dan mengonsumsi obat yang aman dan benar, serta memahami haknya untuk memperoleh pengobatan yang rasional dan sesuai dengan kemampuan ekonominya.

Sekilas Tentang Penggolongan Obat

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan nomor 917/Menkes/Per/X/1993 penggolongan obat berdasarkan tingkat keamanannya dalam pendustribusian dan penggunaannya, obat digolongkan menjadi Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas, Obat Keras, Psikotropika dan Narkotika.

Obat-obat ini bisa kita bedakan dengan melihat penandaaan pada kemasannya dan bagaimana cara perolehannya. Berikut sedikit penjelasannya:

Obat Bebas

Merupakan obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Di negara lain obat ini sering dikenal juga sebagai obat OTC (Over the Counter). 

Tanda khusus untuk obat bebas adalah berupa lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam, yang bisa kita lihat pada kemasan obat. Beberapa contoh obat yang masuk ke dalam golongan Obat Bebas misalnya, Paracetamol, Antasida, dan lainnya.

Obat Bebas Terbatas

Merupakan obat yang dijual bebas dan dapat dibeli tanpa dengan resep dokter, tapi disertai dengan tanda peringatan terkait aturan pakai obat. Dahulu dikenal juga dengan istilah Obat Daftar W (Warschuwing) yang artinya obat-obat dengan daftar peringatan. 

Tanda khusus untuk obat ini adalah lingkaran berwarna biru dengan garis tepi hitam. Contoh obat yang masuk ke dalam golongan Obat Bebas Terbatas misalnya Chlorpheniramine Maleate (CTM), dan lainnya.

Tanda peringatan ini berupa kotak persegi panjang dengan dasar berwarna hitam dan huruf berwarna putih. Ada 6 macam kotak peringatan, seperti gambar di bawah ini.

Sumber: pionas.pom.go.id
Sumber: pionas.pom.go.id
Baik Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas, tidak membutuhkan resep dokter untuk pembeliannya. Tapi meskipun tanpa resep dokter, penggunaannya tidak boleh sembarangan lho.
  • Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.
  • Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.
  • Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.
  • Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

Obat Keras

Sering disebut juga dengan istilah Obat Daftar G (Gevaarlijk) yang artinya obat-obat yang berbahaya dan merupakan obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter. 

Ciri-cirinya adalah ada tanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi pada kemasannya.

Obat ini hanya boleh dijual di apotek dan harus dengan resep dokter pada saat membelinya. Beberapa contoh Obat Keras misalnya antibiotik, antihipertensi, antidiabetes, dan lain sebagainya.

Nah menjawab pertanyaan di bagian awal tadi, perlu diketahui juga ada obat-obat keras tertentu yang bisa diserahkan tanpa resep dokter. 

Namun obat-obat ini tetap harus diserahkan oleh Apoteker dengan disertai penjelasan lengkap. Contoh obat-obatnya tercantum dalam Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan.

Macam-macam Logo Obat (Dokumentasi pribadi)
Macam-macam Logo Obat (Dokumentasi pribadi)

Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor, serta Obat-Obat Tertentu

Menurut Peraturan BPOM 10/2019, OOT adalah obat yang bekerja di sistem susunan saraf pusat selain narkotika dan psikotropika, yang pada penggunaan di atas dosis terapi dapat menyebabkan ketergantungan dan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 

Obat yang termasuk dalam golongan OOT misalnya Tramadol, Triheksifenidil, Klorpromazin, Amitriptilin, Haloperidol, dan Dextromethorphan.

Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika. Yang termasuk contoh Prekursor misalnya Phenylpropanolamine, Ephedrine, dan Pseudoephedrine yang sering digunakan sebagai kombinasi obat flu, serta Lisergid dan lainnya.

Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. 

Total ada 4 golongan Psikotropika. Beberapa contohnya antara lain Phenobarbital, Metilphenidat, Diazepam, Alprazolam, dan lainnya. Obat-obat golongan Psikotropika ini biasanya bekerja pada Sistem Saraf Pusat sebagai obat penenang (Antianxietas) atau Antiepilepsi.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan. 

Total ada 3 golongan Narkotika dan beberapa contoh diantaranya Opium, Morfin, Amfetamin, Fentanil, dan lainnya. Obat-obat golongan Narkotika ini umumnya digunakan hanya untuk penelitian atau sebagai analgesik (penghilang rasa sakit) dalam operasi atau terapi kanker di rumah sakit.

Boleh dikatakan obat golongan OOT dan NPP ini pengawasannya luar biasa ketat. Baik dari segi pengadaan, produksi, distribusi, maupun penggunaannya. Semua harus dilaporkan kepada badan otorisasi yang berwenang, karena berpotensi disalahgunakan dan dapat menyebabkan ketergantungan.

Sama seperti Obat Keras, perolehan obat-obat golongan NPP dan OOT ini harus disertai resep dokter. Tanda pada kemasan OOT, Prekursor dan Psikotropika sama dengan Obat Keras yakni, logo K merah. 

Sedangkan obat golongan Narkotika memiliki tanda plus merah dalam lingkaran berwarna merah. Obat golongan Narkotika ini tidak diperbolehan menggunakan copy resep (pengulangan) saat menebusnya.

Tanaman Poppy / Papaver somniferum sebagai sumber bahan baku Opium (Sumber: Mabel Amber via pixabay.com)
Tanaman Poppy / Papaver somniferum sebagai sumber bahan baku Opium (Sumber: Mabel Amber via pixabay.com)
Perubahan Penggolongan, Pembatasan, dan Kategori Obat Keras dan Obat Bebas Terbatas

Baru-baru ini Kementerian Kesehatan mengeluarkan peraturan mengenai perubahan penggolongan, pembatasan, dan kategori obat. Ketiga perubahan ini dibahas dalam Permenkes nomor 3 tahun 2021.

Obat Keras yang berubah menjadi golongan Obat Bebas Terbatas misalnya, antialergi (Famotidine, Loratadine, Cetirizine), Antigout atau asam urat (Piroxicam), Antireumatik (Diclofenac Diethylamine), dan lainnya.

Sementara itu beberapa Obat Bebas Terbatas juga ada yang 'naik kelas' menjadi Obat Keras misalnya Lidokain & Benzokain (golongan anestesi lokal).

Selain perubahan golongan beberapa obat, ada juga perubahan pembatasan Obat Bebas Terbatas dalam hal bentuk sediaan, dosis dan cara pemakaian, kemasan, hingga kombinasi dengan obat lain. 

Misalnya antijamur Ketoconazole sebagai obat luar untuk infeksi jamur lokal dengan kadar kurang/sama dengan 2%, Theophylline dan Aminophylline penggunaannya maksimum 2 kali sehari 1 tablet dengan kadar kurang dari 150 mg dan tidak lebih dari 4 tablet dalam 1 kemasan, dan lainnya.

Sedangkan untuk perubahan kategori obat contohnya Vitamin E (dari Obat Bebas Terbatas menjadi Suplemen Kesehatan), Chlorhexidine (sebagai antiseptik untuk mengatasi radang gusi, biasanya digunakan untuk berkumur) berubah kategori dari Obat Bebas menjadi Alkes/PKRT (Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga).

Tentunya perubahan golongan obat ini didasarkan pada pertimbangan manfaat dan risiko, termasuk bagaimana data klinisnya serta status keamanannya di negara-negara lain. 

Sebagai contoh, perubahan golongan obat dari Obat Keras yang memerlukan resep menjadi OTC dapat dikatakan sebagai bentuk deregulasi untuk mendukung Swamedikasi.

Peran Apoteker dalam Pelaksanaan Swamedikasi

Istilah Swamedikasi (Self Medication) ini kurang lebih dapat diartikan sebagai suatu usaha pengobatan yang dilakukan oleh diri sendiri untuk mengatasi masalah kesehatan dengan gangguan ringan. 

Swamedikasi ini sebenarnya sudah cukup umum dilaksanakan di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Meski demikian, Swamedikasi bukan berarti membebaskan masyarakat untuk membeli obat sembarangan.

Peningkatan swamedikasi biasanya dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi, meningkatnya pengetahuan masyarakat dan akses terhadap obat. 

Jenis obat yang diperbolehkan dalam swamedikasi terbatas hanya pada obat dengan dot hijau dan biru, obat tradisional, dan suplemen kesehatan. 

Namun demikian justru disinilah peran penting apoteker dibutuhkan, mengingat ada beberapa risiko yang muncul akibat swamedikasi seperti, misdiagnosis, habituasi, reaksi alergi, dosage problem, dan interaksi obat.

Jadi apa saja sih peran seorang Apoteker dalam swamedikasi sebagai salah satu tujuan dari Permenkes yang baru ini?

Menyediakan Informasi Obat yang Objektif

Apoteker bertanggung jawab untuk menjamin kualitas obat dengan memberikan informasi yang objektif dan rasional kepada pasien terkait obat-obatan yang tersedia yang akan digunakan sebagai swamedikasi. 

Harus tepat indikasi, tepat obat, dan tepat dosis supaya pengobatan bisa berhasil. Termasuk saran dalam pemilihan Obat Paten/Originator, Obat Me Too (branded), maupun Obat Generik.

Konseling dan Edukasi

Apoteker, bertanggung jawab mengedukasi dan memberi konseling kepada pasien dalam hal cara, aturan pakai, dan lama penggunaan obat; khasiat obat; efek samping yang mungkin muncul; kontraindikasi; apa yang harus dilakukan jika lupa minum obat; cara penyimpanan obat yang baik; hingga bagaimana cara membuang obat yang sudah tidak terpakai dengan benar.

Kurang lebih seperti itulah peran Apoteker dalam swamedikasi. Jadi pembaca sekalian, jangan ragu apalagi malu bertanya dengan Apoteker kalau beli obat ya!

Stay happy, stay healthy!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun