Tapi faktanya, semakin terpandang dan berpendidikan si mempelai perempuan, semakin tinggi pula Sinamot-nya. Apalagi jika Ulaon diselenggarakan (menjadi tanggung jawab) oleh pihak perempuan. Semakin besar pula Sinamot yang harus disiapkan.
Besaran Sinamot ini nantinya akan diumumkan ke seluruh keluarga. Namun besaran Sinamot ini bisa jadi digunjingkan juga bila dianggap tidak sesuai atau tidak pantas bagi mereka yang mendengarnya. "Ah, padahal si cewek ini dokter loh, masa mau Sinamot-nya cuma segitu". Terbayang dong kalau didengar keluarga pengantin pria?
Dengan adanya resiko-resiko di atas, mau tidak mau gengsi akan tetap ada dalam setiap pesta adat pernikahan Batak. Bagaimanapun keluarga menekan biaya, pada akhirnya biaya akan membengkak dengan adanya intervensi dari keluarga besar. Mengapa? Karena dalam acara tersebut yang terlibat tidak hanya keluarga inti kedua mempelai, melainkan seluruh marga yang berkaitan dengan keluarga kedua mempelai. Masing-masing mempunyai gengsi tersendiri supaya tidak dianggap remeh oleh marga yang lain.
Saya bukannya menentang pesta adat semacam ini, tapi saya menyayangkan mereka-mereka yang memiliki sudut pandang yang mengedepankan dan mengutamakan gengsi di atas batas kemampuan.
Bukankah esensi dari adat itu sendiri adalah kesakraklan dan makna yang harus diresapi sebagai pedoman kehidupan sehari-hari, dan bukannya mengutamakan gengsi semata?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H