Saya jadi ingat pernah membaca kutipan dari Pramoedya Ananta Toer "Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian".Â
Beuh, beraattt. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga. Coba tengok Plato, Aristoteles, Socrates, Darwin, Einstein, Newton.Â
Meski sudah lama sekali meninggal, semuanya tetap diingat orang hingga sekarang karena mereka menulis! Mereka menulis apa yang mereka alami dan temukan sehingga apa yang mereka tulis bermanfaat bagi orang lain.
Dan karena saya bukan termasuk orang yang memiliki materi lebih yang bisa memberikan donasi ke yayasan-yayasan amal di seluruh dunia, pun bukan sukarelawan sejati yang bisa memberikan tenaga untuk membantu orang lain, maka saya memilih menulis. Saya berharap, kelak tulisan saya bisa menginspirasi orang lain, apapun bentuknya.
Terkadang saya suka heran sekaligus kagum dengan para Kompasianer yang bisa menghasilkan tulisan setiap hari. One day one article, istilah kerennya.Â
Tapi saya akui saya belum bisa mencapai level seperti itu. Jadi saya berpendapat bahwa menulis tidak harus seperti dikejar target, yang penting kita berkomitmen untuk bisa konsisten menghasilkan tulisan yang baik dan berkualitas.
Sekarang, mengapa harus di Kompasiana?
Kompasiana ibarat tempat hang out di dunia maya. Berbeda dengan media sosial masa kini yang umumnya hanya berisi re-post, sarana pamer, curcol, hingga hujatan.Â
Semuanya demi pengakuan. Maka interaksi yang muncul di antara penggunanya juga hanya sebatas komentar-komentar pendek yang boleh dikatakan tidak terlalu bermakna. Bahkan tak jarang ditemukan komentar yang tidak beretika hingga rasis.
Di Kompasiana, kita diajak untuk menghasilkan sesuatu (tulisan) lebih dulu jika ingin mendapat pengakuan.Â
Berdasarkan pengamatan subjektif saya, banyak artikel di Kompasiana yang bagus-bagus, bermutu dan kaya informasi, tetapi banyak juga artikel atau tulisan yang kurang sedap dibaca karena typo misalnya.