Leveling pada jenis bacaan, menurut saya bergantung pada pribadi setiap pembaca. Untuk pembaca rakus, apapun jenis bacaan yang dibaca tak masalah. Suka tinggal dinikmati, tidak suka tinggal disingkirkan. As simple as that.
Meskipun tak dapat dipungkiri, ada jenis pembaca yang memang melakukan seleksi terhadap buku bacaannya. Dan ini tidak berarti jelek, sebab, sekali lagi: ini berkaitan dengan preferensi pribadi.
Di SMA, saya bolak balik ke sebuah taman bacaan yang koleksinya memang lengkap. Bapak pemilik bacaan dengan saya sudah seperti partner diskusi saking seringnya saya nongkrong di sana (baca = jomblo yang jarang liburan).
Suatu hari, demi melihat saya yang masih asyik membaca Goosebumps, Bapak TB memanggil saya dan mengatakan,
"Teteh, teteh kan sudah semakin pintar udah mau kuliah sebentar lagi, bacaannya ditingkatkan dong, jangan di situ terus ..." sambil menunjukkan tumpukan buku yang lain.
Saya merasa, Bapak TB memang ingin saya menambah wawasan. Ingin saya "naik level" dalam bacaan. Seperti main game, masak mentok di level 1 mulu.
Jadi, leveling juga penting; untuk pencapaian pribadi. Asalkan tidak untuk disombongkan, misalkan dengan mengatakan:
"Idih, bacaannya Twilight, aku dong Leo Tolstoy!"
(Padahal baca Twilight sekali beres, sementara Tolstoy dibaca selama seminggu, itupun banyak ga ngertinya)
Selain book-shaming, adapula writer-shaming; yaitu mencemooh penulis lain karena dianggap kurang keren.
"Saya sih maaf ya ga suka sama novel picisan seperti Dilan, saya sukanya yang berkelas macam Tere Liye!"