"Baca buku teh meni ripuh!"
(baca buku kok rempong banget)
Suami saya berkomentar, ketika sepagian ini saya berkali-kali berganti posisi duduk. Dari duduk, setengah duduk, berbaring, menyamping, terus begitu.
"Soalnya jarang-jarang bisa baca buku bagus begini, novel Indonesia lagi." Balas saya.
Pasangan hidup saya sudah sangat paham kalau sedang memegang buku bagus, lagak saya seperti cacing kepanasan. Antara kepengen terus baca, berusaha menekan ekspektasi biar ga ketinggian (soalnya suka kecewa, hiks) dan ketakutan dengan ending.
Apa?
Ketakutan macam apa itu?
Ending sebuah tulisan, asli, sering membuat saya jeri. Baik menuliskan tulisan sendiri, atau membaca karya orang lain.
Buat saya, menuliskan sesuatu itu tidak susah, yang sulit itu menuntaskan kisah.
Berapa sering coba, ketika kita asyik membaca sebuah kisah yang hebat, kemudian ketika tiba di ending, reaksi kita adalah, "Duuuuh ... kok gini sih??" atau endingnya berupa satu kata alay yang bergema di kepala "B-ajah".
Saya adalah penggemar Dee dari sejak awal. Waktu "Kesatria, Putri dan Bintang Jatuh" terbit, saya penasaran setengah mati, karena ada begitu banyak referensi ilmiah yang Dee masukkan ke sana, yang saya tidak paham. Setelah membaca Akar, Petir, Partikel, Gelombang, akhirnya saya baru bisa merangkai apa maunya Dee. Buat saya, dia hebat sekali. Bisa membuat semacam "universe" ala-ala Marvel/ DC, menggabungkan pelbagai folklore, ilmu empiris dan dibumbui drama percintaan dan kehangatan hubungan antara manusia.