Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Fakta Versi Dan Brown

14 Januari 2018   23:11 Diperbarui: 15 Januari 2018   03:18 2564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"She rests at last beneath starry skies."

Robert Langdon memandang langit luas, kemudian berlutut di atas lantai kaca, menatap ke bawah lantai transparan yang memerlihatkan piramida terbalik. Ia kemudian menangkupkan kedua kepalan tangan, dengan raut wajah merenung, diiringi scoring music dari Hans Zimmerman yang megah.

Itulah potongan adegan terakhir film Da Vinci Code yang dibintangi oleh Tom Hanks dan disutradarai oleh Ron Howard di tahun 2006. Film ini termasuk yang ditunggu kemunculannya di tahun tersebut, sebab novelnya yang terbit tiga tahun sebelumnya, penuh dengan kontroversi.

Adalah Dan Brown, seorang penulis berusia 53 tahun, berkebangsaan Amerika Serikat yang membuat dunia terkejut di tahun 2003.

Brown menulis sebuah novel fiksi berjudul Da Vinci Code (novelnya yang keempat), berkisah mengenai perjalanan Robert Langdon, Professor Simbologi dari Harvard University untuk menguak pelbagai simbol demi menyelesaikan sebuah kasus pembunuhan.

Brown membuat kehebohan sebab dalam bukunya tersebut, ia menuliskan banyak fakta sejarah dan agama. Publik paling tercengang dengan disebutkannya fakta bahwa Yesus menikah dengan Maria Magdalena dan memiliki keturunan yang kemudian beranak pinak di Prancis. Brown juga menyinggung banyak perihal agama Katolik yang disebut-sebut banyak menutupi fakta sejarah, salah satunya mengenai Holy Grail.

Tak pelak sejak kemunculan Da Vinci Code di tahun 2003, novel ini dicekal di banyak negara-negara Katolik, bahkan beberapa negara Timur Tengah. Juru bicara Gereja Katolik Vatikan menyerukan semua umat untuk tidak membeli atau membaca Da Vinci Code, sebab dinilai "penuh dengan kebohongan". Brown dianggap telah menyerang kepercayaan agama Katolik dengan berani.

-Saya ingat ketika menonton film ini di bioskop, beberapa gadis muda di sebelah saya meributkan adanya subtitle yang hilang di beberapa dialog. Dialog-dialog tersebut adalah ketika para karakter memperbincangkan  konsep ketuhanan dalam agama Katolik, termasuk Yesus sebagai seorang manusia.-

Hukum alam berlaku.

Semakin kontroversi, semakin dicari. Semakin dilarang malah semakin dibicarakan.

Dan Brown sukses menjadi penulis papan atas karena booming-nya Da Vinci Code. Bahkan sebelum adanya pelarangan pihak gereja, buku Dan Brown telah dibeli banyak.Tercatat hingga saat ini, Da Vinci Code telah terjual sebanyak 80 juta kopi dan sudah diterjemahkan ke dalam 56 bahasa.

Banyak orang memercayai fakta-fakta yang dituliskan oleh Dan Brown, sebab ia meramunya dengan begitu apik. Semua rangkaian ritual, organisasi dan tempat-tempat yang ia sebutkan benar adanya. Bahkan di awal tulisan ia menuliskan pernyataan bahwa semua yang ia tulis mengenai sejarah, ritual dan tempat adalah benar.

Dan Brown sendiri saat diwawancara mengatakan bahwa apa yang ia tuliskan adalah fakta. Semua fakta sejarah dan pelbagai teori konspirasi adalah hasil dari penelitian yang ia lakukan. Meskipun begitu, Brown tidak menampik bahwa bukunya adalah juga karya fiksi. Ia menyebutnya sebagai "cerita hiburan yang mendukung diskusi spiritual" dan ia mengatakan bahwa buku ini merupakan katalisator positif untuk merenungi dan menjelajahi keimanan seorang umat Katolik. Dan Brown sendiri dibesarkan dengan kepercayaan Episcopalian, salah satu sempalan agama Katolik. Ia mengaku beragama dan menganggap ateisme adalah sesuatu yang tak mungkin, dengan begitu banyaknya bukti-bukti ketuhanan lewat pembuktian sains di dunia ini.

Saya membaca Da Vinci Code di tahun 2004, dan berhasil menamatkannya dalam waktu dua hari saja. Selesai membaca buku tersebut, saya masih terkagum-kagum dengan kepiawaian Brown meramu fakta dan fiksi sehingga menghasilkan bacaan yang begitu bergizi.

Di luar kontroversial keagamaan, saya menyenangi buku-buku Dan Brown sebab ia selalu murah hati menyelipkan pelbagai fakta dan ilmu pengetahuan. Tak mengherankan, sebab ia memiliki hobi mengerjakan crosswords dan anagramsejak kecil. Dan Brown kecil beserta saudara-saudaranya sering kali harus memecahkan simbol dan mengikuti 'peta harta karun' yang orangtua mereka buat untuk bisa mendapatkan harta karun yang dimaksud, yaitu kado-kado Natal. Hubungan Brown dan orangtuanya adalah yang mengilhami hubungan antara karakter "Sophie Neveu" dan kakeknya, "Jacques Saunire" dalam Da Vinci Code.

Brown juga jago mendeskripsikan tempat dan kondisi yang menjadi latar belakang kisahnya. Sedikit mirip dengan gaya Sidney Sheldon yang selalu lengkap ketika bercerita. Di kemudian hari, saya menemukan bahwa Brown mendapat ide untuk menuliskan novel pertamanya, Digital Fortress setelah membaca buku Sidney Sheldon yang berjudul The Doomsday Conspiracy (yang juga buku favorit saya).

Hingga hari ini, hampir semua buku-buku Dan Brown menjadi best seller, berturut-turut: Digital Fortress, Deception Point, Angels and Demons, Da Vinci Code, The Lost Symbol, Inferno dan Origin.

Menebak-nebak bagian mana yang fakta dan fiksi dari karya seorang penulis adalah bagian yang paling menarik.

Sampai sejauh mana seorang penulis diharapkan untuk bisa bertanggungjawab dengan tulisannya?

Apakah hanya ranah nonfiksi yang seratus persen wajib menyertakan fakta, dan fiksi bisa bebas mengeksplorasi?

Teman saya pernah mengatakan,

Kamu bikin yang kontroversial aja, trus bikinnya genre fiksi, jadi orang ga mungkin marah, kan namanya juga fiksi!

Menurut saya, itu namanya ngeles.

Sampai hari ini, memang tidak ada hukum yang mengikat secara penuh perihal penyajian fakta dalam fiksi. Sebab namanya saja fiksi. Dibuat-buat, didramatisasikan.

Pun begitu, pembaca yang pintar tentu ingin juga mendapatkan riset fakta yang lengkap, meskipun yang mereka baca adalah fiksi.

Fakta bisa meliputi apa saja, dari yang rumit hingga sederhana seperti kondisi tempat. Jika Anda menulis sebuah karya fiksi dengan latar tempat di luar negeri, misalnya, pastikan bahwa tempatnya memang betulan ada. Latar tempatnya kota Milan, tapi nama gerejanya Notre Dame, tentu pembaca akan berkerut keningnya, sebab Notre Dame adanya di Paris, bukan Milan.

Itu, tentu saja contoh sederhana. Contoh yang lebih rumit disajikan oleh banyak penulis terkenal. Tak hanya setting tempat dan kondisi, melainkan juga budaya yang mereka masukkan ke dalam tulisan. Ketika Andrea Hirata menuliskan budaya menjemur batu baterai radio supaya baterainya terisi kembali, saya sebagai pembaca langsung tersenyum dan membayangkan jejeran batu baterai yang ditaruh di atap rumah. Generasi sekarang mungkin tidak mengenal kebiasaan itu, namun bagi kami yang sempat mencecap kehidupan tahun 80-an, tradisi menjemur batu baterai adalah benar adanya.

Jika memang fiksi wajib disertai fakta yang lengkap, sejauh mana fakta tersebut layak disajikan?

Dan Brown bukan satu-satunya penulis yang pernah mengalami pencekalan atas karyanya. Harry Potter karya J.K Rowling pun sempat disebut-sebut menyesatkan sebab mengajarkan sihir kepada anak, sesuatu yang dilarang oleh ajaran agama.

Lolita (1955), novel fiksi karangan Vladimir Nabokov, juga masuk ke dalam daftar buku kontroversial. Lolita mengetengahkan jalinan hubungan 'tak sepantasnya' antara seorang pria paruh baya dengan seorang anak perempuan di bawah umur. Banyak kalangan menilai buku ini menularkan kecenderungan seksual pedofilia, yaitu kecenderungan hasrat seksual kepada anak kecil.

Buku-buku lainnya yang juga pernah dinilai kontroversial adalah The Communist Manifesto, The Catcher in The Rye, Huckleberry Finn, The Lord of Flies, dsb. Di tanah air sendiri, buku-buku Pramoedya Ananta Toer pernah dilarang peredarannya, sebab dinilai memuat ajaran komunisme. Larangan ini kemudian hilang sendirinya sejak peristiwa reformasi tahun 1998.

Fiksi seringkali dipandang sebagai bacaan 'bohongan' dan ditujukan sebagai hiburan. Namun fiksi, seperti halnya genre nonfiksi, juga wajib padat dan bergizi, dengan memasukkan unsur fakta secara jelas dan bernas. Seorang penulis bertanggungjawab penuh atas apa yang dituliskannya, fakta maupun fiksi. Sebab boleh jadi pembaca akan terpengaruh melakukan apa yang ia tuliskan dalam bukunya.

Sementara pembaca, selain menikmati karya fiksi maupun nonfiksi, seyogyanya menjadi pembaca yang kritis dan cerdas. Apapun yang kita baca, selalu ada dua sisi baik dan buruk. Penulis menunaikan tugasnya dengan melakukan riset, berpikir dan menulis. Pembaca, melaksanakan tugasnya dengan membaca, berpikir dan mencerna.

"Sebab buku yang sempurna adalah buku yang belum ditulis," - anonymous

*mendapat ide setelah mulai membaca beberapa halaman pertama Origin-- Dan Brown *

 

Sumber bacaan:

http://www.nbcnews.com

http://www.beliefnet.com

https://en.wikipedia.org/wiki/Dan_Brown

https://electricliterature.com

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun