Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masyarakat Mesum

13 Mei 2016   20:04 Diperbarui: 13 Mei 2016   22:00 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelecehan seksual. (Kompas)

Terjadi lagi. Sungguh sulit dipercaya, tapi memang terjadi. Belum usai kita berduka atas peristiwa Yuyun di Bengkulu, kini dua peristiwa dengan tema sama menyelinap mampir ke dinding media sosial kita. Lagi-lagi, pemerkosaan. Lagi-lagi melibatkan anak-anak.

Tersebutlah seorang bujangan pembuat batu batako di Bogor yang ditangkap karena memerkosa dan membunuh (!)seorang batita berusia 2,5 tahun. Dua setengah tahun! Silakan bayangkan, berapa tinggi badan rata-rata anak usia 2,5 tahun. Silakan lihat seperti apa tubuh seorang anak usia 2,5 tahun. Apakah sudah seksi sehingga layak menerbitkan birahi laki-laki? Membayangkannya saja sudah bisa sesak napas dan pingin garuk-garuk tembok dengan kesal.

Jika dalam kasus Yuyun, pelaku dipengaruhi minuman keras, di kasus Bogor ini, tidak. Pelaku malah tidak pernah mengonsumsi minuman keras, pernah (tapi tidak sering) menonton video porno. Alasan utamanya adalah, "Ga ada yang gede, ya sudah ke anak kecil saja." 

Untung tidak sampai muntah saya membacanya.

Miris.

Kasus kedua terjadi di Surabaya. Seorang gadis berusia 13 tahun yang masih duduk di bangku SMP kelas 1 "digilir" 8 orang pelaku. Yang gila adalah, tiga di antara pelaku masih duduk di kelas 3-5 SD (paling muda berusia 9 tahun). Sisanya adalah pelajar usia SMP, paling tua 14 tahun.

Tunggu dulu, ini belum semuanya.

Dari hasil penyelidikan, ternyata si gadis pertama kali dicabuli salah satu tersangka (yang masih tetangganya) ketika usianya masih 4 tahun. Selama rentang waktu usia 4-13 tahun si gadis rutin dicabuli dan akhirnya mengidap kecanduan seks. Pelaku juga mencekoki korban dengan pil koplo sehingga kecanduan juga. Menurut pengakuan para tersangka, tak jarang si gadis yang meminta mereka untuk menyetubuhinya dengan iming-iming pil.

Apaaaaaa?

Ini beneran terjadi?

Serasa tak menjejak tanah kaki saya saat membacanya. Terlalu absurd. Seperti bukan di dunia nyata.

Ibu Risma, Wali Kota Surabaya, mengatakan peristiwa tersebut merupakan salah satu mata rantai dari kasus lokalisasi gang Dolly. Orangtua korban disinyalir merupakan mantan pekerja seks komersial dan korban beserta para pelaku (mereka tinggal di lingkungan yang sama) sudah terbiasa dengan suasana dan obrolan yang menjurus pada aktivitas seks. Salah satu pelaku yang masih duduk di kelas 3, dengan terbata-bata mengatakan, "Pernah liat di warnet," ketika ditanya Ibu Risma dari mana ia tahu "cara melakukannya".

Silakan, tarik napas dulu. Saya tahu ini berat sekali. Tamparan telak di wajah masyarakat kita yang selalu kita agung-agungkan sebagai masyarakat yang punya standar moral tinggi. Dan lagi-lagi, setiap ada kasus menyeruak, kita akan mulai bertanya, "Siapa yang salah?"

Dari awal kasus Yuyun, banyak orang mengaitkan dengan alkohol,dengan video porno. Sah-sah saja karena memang dua hal tersebut terbukti menyumbang peran dalam banyak kasus. Namun, bagaimana dengan para pelaku yang beraksi dengan kondisi sadar? Tanpa dipengaruhi apa-apa? Lalu pihak mana yang bisa kita salahkan?

Sebuah obrolan di grup WhatsAapp bersama teman-teman, membuat saya tersadar bahwa terkadang penyebabnya adalah kita sendiri. Masyarakat kita sendiri.

Sebagai ilustrasi:

Dari kecil saya tinggal bersama kakek dan nenek. Rumah kakek terletak di pinggir jalan raya yang bising oleh ribuan kendaraan yang tidak pernah berhenti lewat. Tetangga kakek kiri-kanan adalah toko-toko kepunyaan warga keturunan Tionghoa. Alhasil, saya kecil (tahun 80 akhir hingga 90-an) berteman dengan tetangga yang rumah-rumahnya terletak di gang-gang belakang toko-toko tersebut.

Masyarakat di gang-gang tersebut (tanpa bermaksud menyinggung siapa pun, ini hanya contoh), merupakan kelas pekerja kasar. Rata-rata mereka lulusan SD-SMP, meskipun beberapa ada juga yang sekolah sampai SMA. Dengan jarak rumah ke rumah yang begitu dekat, otomatis apa pun yang terjadi di satu rumah akan diketahui oleh penghuni rumah-rumah yang lain. Ibaratnya, jika di rumah ujung sedang terjadi pertengkaran suami-istri maka dipastikan sekampung tahu.

Nah, saya ingat betul bagaimana interaksi teman-teman masa kecil saya pada waktu itu. Rata-rata mereka sudah familiar dengan joke-joke berbau mesum. Jika ada anak gadis beranjak remaja (sekitar usia SMP atau akhir SD), yang menggodai bukan hanya remaja cowok, melainkan juga bapak-bapak yang merupakan tetangganya sendiri. Kenyataan yang sering kali membuat saya risih ketika saya sudah beranjak besar.

Saat saya bertandang ke rumah salah seorang teman untuk pergi ngaji (nyampeur), saya menyaksikan sesuatu yang membuat jengah. Teman saya berpamitan kepada orangtuanya, dan ketika ia melenggang melewati ayahnya menuju pintu, si ayah meremas (maaf) pantat teman saya sambil berkomentar betapa anak gadisnya sudah gede (bukan menepuk pelan, atau kesenggol tak sengaja). Saya saat itu terhenyak dan memandang ibu teman saya, yang ternyata anteng-anteng saja, tidak merasa harus berbuat sesuatu.

Mungkin, untuk sebagian orang, contoh di atas tidak berarti apa pun. Saya juga sempat berpikir, ah mungkin ayahnya bercanda, mungkin kebetulan, mungkin ini... itu.... Tapi kemudian, menyaksikan contoh-contoh lain di sekitar pada waktu itu, saya jadi semakin yakin bahwa memang itulah yang terjadi di lingkungan bermain saya dulu. Seks dan pembicaraannya adalah sesuatu yang lumrah, yang bahkan bisa diceritakan di depan anak kecil usia 4-5 tahun sambil mencari kutu.

Seorang teman di grup mengungkapkan pengalaman serupa. Ia tinggal di lingkungan asrama militer dengan kondisi rumah setengah tembok, setengah bilik. Dengan begitu, jika ada tetangga yang sedang melakukan hubungan suami-istri akan terdengar dan bisa diintip. Obrolan-obrolan seks dan joke-joke yang menjurus berlangsung secara bebas dan terbuka. Persis seperti lingkungan teman masa kecil saya.

Ini kenyataan. Pahit mungkin, tapi betulan ada. Saya yakin tidak hanya terjadi di lingkungan masa kecil saya dan teman saya itu, tapi juga di tempat-tempat lain. Saat sebuah penyimpangan terjadi, kita sibuk mencari-cari celah untuk menyalahkan ini dan itu, tanpa kita sadari bahwa akar permasalahannya justru ada di masyarakat kita sendiri.

Tengok saja, betapa sukanya kita dengan candaan porno. Tanpa kita sadari bahwa saat kita mengulanginya di hadapan orang lain, barangkali ada anak kecil yang mencuri dengar. Anak yang kita sering anggap belum tahu apa-apa, padahal ia penyimpan memori yang sangat kuat.

Kita biarkan anak-anak kita menonton tayangan di TV yang kemudian kita jelek-jelekan (tapi masih saja ditonton!). Paling parah adalah kita bawa anak kita ke bioskop tanpa peduli rating tapi setelah itu kita berkoar-koar sampai berbusa menyalahkan produser film, artis film sampai penjaga bioskop. 

Kita berusaha menjaga anak-anak dari konten porno di internet, tapi di sisi lain, ibu-ibu kita banyak yang mantengin perkembangan kasus prostitusi artis hingga kemudian menggosipkannya di forum arisan sambil bawa anak. 

Kita sibuk menjaga anak gadis kita dari perkataan tidak sopan, baju yang tidak sopan. Tapi terkadang anak lelaki kita terlupakan. Kita lupa mengajarkan anak-anak lelaki kita bahwa menyuiti perempuan lewat itu tidak sopan. Kita ajarkan anak-anak perempuan kita cara-cara menghadapi menstruasi, tapi tidak ketika anak lelaki kita dapat mimpi basah. Anak cowok? Udah mimpi? Oh udah, ya udah. Padahal anak lelaki juga butuh tahu, butuh penjelasan, butuh pengetahuan supaya kelak dia tidak salah kaprah menggunakan kelelakiannya dengan alasan klasik, "Soalnya lagi mau." PRET!

Sementara di luar sana, tidak hanya media yang gencar menggoyang kokohnya moral anak-anak kita, tapi juga masyarakat. Lihat, bagaimana cara anak-anak muda yang ahli nongkrong di pinggir jalan menyuiti anak-anak gadis kita. Begitu tidak elegan. Seolah setiap gadis yang lewat itu semacam tontonan yang patut diberikan rating.

Semuanya berawal dari masyarakat. Selalu begitu. Suka atau tidak. Mau mengakui atau tidak. 

Silakan miris lagi.

Sedih memang. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun