Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masyarakat Mesum

13 Mei 2016   20:04 Diperbarui: 13 Mei 2016   22:00 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelecehan seksual. (Kompas)

Ibu Risma, Wali Kota Surabaya, mengatakan peristiwa tersebut merupakan salah satu mata rantai dari kasus lokalisasi gang Dolly. Orangtua korban disinyalir merupakan mantan pekerja seks komersial dan korban beserta para pelaku (mereka tinggal di lingkungan yang sama) sudah terbiasa dengan suasana dan obrolan yang menjurus pada aktivitas seks. Salah satu pelaku yang masih duduk di kelas 3, dengan terbata-bata mengatakan, "Pernah liat di warnet," ketika ditanya Ibu Risma dari mana ia tahu "cara melakukannya".

Silakan, tarik napas dulu. Saya tahu ini berat sekali. Tamparan telak di wajah masyarakat kita yang selalu kita agung-agungkan sebagai masyarakat yang punya standar moral tinggi. Dan lagi-lagi, setiap ada kasus menyeruak, kita akan mulai bertanya, "Siapa yang salah?"

Dari awal kasus Yuyun, banyak orang mengaitkan dengan alkohol,dengan video porno. Sah-sah saja karena memang dua hal tersebut terbukti menyumbang peran dalam banyak kasus. Namun, bagaimana dengan para pelaku yang beraksi dengan kondisi sadar? Tanpa dipengaruhi apa-apa? Lalu pihak mana yang bisa kita salahkan?

Sebuah obrolan di grup WhatsAapp bersama teman-teman, membuat saya tersadar bahwa terkadang penyebabnya adalah kita sendiri. Masyarakat kita sendiri.

Sebagai ilustrasi:

Dari kecil saya tinggal bersama kakek dan nenek. Rumah kakek terletak di pinggir jalan raya yang bising oleh ribuan kendaraan yang tidak pernah berhenti lewat. Tetangga kakek kiri-kanan adalah toko-toko kepunyaan warga keturunan Tionghoa. Alhasil, saya kecil (tahun 80 akhir hingga 90-an) berteman dengan tetangga yang rumah-rumahnya terletak di gang-gang belakang toko-toko tersebut.

Masyarakat di gang-gang tersebut (tanpa bermaksud menyinggung siapa pun, ini hanya contoh), merupakan kelas pekerja kasar. Rata-rata mereka lulusan SD-SMP, meskipun beberapa ada juga yang sekolah sampai SMA. Dengan jarak rumah ke rumah yang begitu dekat, otomatis apa pun yang terjadi di satu rumah akan diketahui oleh penghuni rumah-rumah yang lain. Ibaratnya, jika di rumah ujung sedang terjadi pertengkaran suami-istri maka dipastikan sekampung tahu.

Nah, saya ingat betul bagaimana interaksi teman-teman masa kecil saya pada waktu itu. Rata-rata mereka sudah familiar dengan joke-joke berbau mesum. Jika ada anak gadis beranjak remaja (sekitar usia SMP atau akhir SD), yang menggodai bukan hanya remaja cowok, melainkan juga bapak-bapak yang merupakan tetangganya sendiri. Kenyataan yang sering kali membuat saya risih ketika saya sudah beranjak besar.

Saat saya bertandang ke rumah salah seorang teman untuk pergi ngaji (nyampeur), saya menyaksikan sesuatu yang membuat jengah. Teman saya berpamitan kepada orangtuanya, dan ketika ia melenggang melewati ayahnya menuju pintu, si ayah meremas (maaf) pantat teman saya sambil berkomentar betapa anak gadisnya sudah gede (bukan menepuk pelan, atau kesenggol tak sengaja). Saya saat itu terhenyak dan memandang ibu teman saya, yang ternyata anteng-anteng saja, tidak merasa harus berbuat sesuatu.

Mungkin, untuk sebagian orang, contoh di atas tidak berarti apa pun. Saya juga sempat berpikir, ah mungkin ayahnya bercanda, mungkin kebetulan, mungkin ini... itu.... Tapi kemudian, menyaksikan contoh-contoh lain di sekitar pada waktu itu, saya jadi semakin yakin bahwa memang itulah yang terjadi di lingkungan bermain saya dulu. Seks dan pembicaraannya adalah sesuatu yang lumrah, yang bahkan bisa diceritakan di depan anak kecil usia 4-5 tahun sambil mencari kutu.

Seorang teman di grup mengungkapkan pengalaman serupa. Ia tinggal di lingkungan asrama militer dengan kondisi rumah setengah tembok, setengah bilik. Dengan begitu, jika ada tetangga yang sedang melakukan hubungan suami-istri akan terdengar dan bisa diintip. Obrolan-obrolan seks dan joke-joke yang menjurus berlangsung secara bebas dan terbuka. Persis seperti lingkungan teman masa kecil saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun