Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Masyarakat Mesum

13 Mei 2016   20:04 Diperbarui: 13 Mei 2016   22:00 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelecehan seksual. (Kompas)

Ini kenyataan. Pahit mungkin, tapi betulan ada. Saya yakin tidak hanya terjadi di lingkungan masa kecil saya dan teman saya itu, tapi juga di tempat-tempat lain. Saat sebuah penyimpangan terjadi, kita sibuk mencari-cari celah untuk menyalahkan ini dan itu, tanpa kita sadari bahwa akar permasalahannya justru ada di masyarakat kita sendiri.

Tengok saja, betapa sukanya kita dengan candaan porno. Tanpa kita sadari bahwa saat kita mengulanginya di hadapan orang lain, barangkali ada anak kecil yang mencuri dengar. Anak yang kita sering anggap belum tahu apa-apa, padahal ia penyimpan memori yang sangat kuat.

Kita biarkan anak-anak kita menonton tayangan di TV yang kemudian kita jelek-jelekan (tapi masih saja ditonton!). Paling parah adalah kita bawa anak kita ke bioskop tanpa peduli rating tapi setelah itu kita berkoar-koar sampai berbusa menyalahkan produser film, artis film sampai penjaga bioskop. 

Kita berusaha menjaga anak-anak dari konten porno di internet, tapi di sisi lain, ibu-ibu kita banyak yang mantengin perkembangan kasus prostitusi artis hingga kemudian menggosipkannya di forum arisan sambil bawa anak. 

Kita sibuk menjaga anak gadis kita dari perkataan tidak sopan, baju yang tidak sopan. Tapi terkadang anak lelaki kita terlupakan. Kita lupa mengajarkan anak-anak lelaki kita bahwa menyuiti perempuan lewat itu tidak sopan. Kita ajarkan anak-anak perempuan kita cara-cara menghadapi menstruasi, tapi tidak ketika anak lelaki kita dapat mimpi basah. Anak cowok? Udah mimpi? Oh udah, ya udah. Padahal anak lelaki juga butuh tahu, butuh penjelasan, butuh pengetahuan supaya kelak dia tidak salah kaprah menggunakan kelelakiannya dengan alasan klasik, "Soalnya lagi mau." PRET!

Sementara di luar sana, tidak hanya media yang gencar menggoyang kokohnya moral anak-anak kita, tapi juga masyarakat. Lihat, bagaimana cara anak-anak muda yang ahli nongkrong di pinggir jalan menyuiti anak-anak gadis kita. Begitu tidak elegan. Seolah setiap gadis yang lewat itu semacam tontonan yang patut diberikan rating.

Semuanya berawal dari masyarakat. Selalu begitu. Suka atau tidak. Mau mengakui atau tidak. 

Silakan miris lagi.

Sedih memang. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun