Mohon tunggu...
Irma Nurmalasari
Irma Nurmalasari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

NIM : 43222010039 Jurusan : Akuntansi Kampus : Universitas Mercu Buana Dosen Pengampu : Prof. Apollo Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diskursus Behavioral Conditioning Ivan Pavlov dan Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

14 Desember 2023   15:59 Diperbarui: 15 Desember 2023   08:17 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dibuat sendiri oleh penulis

Nama : Irma Nurmalasari

NIM : 43222010039

Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Mata Kuliah : Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB

Sejarah Behavioral Conditioning Ivan Pavlov 

Penelitian terstruktur mengenai pembelajaran masih tergolong baru pada akhir abad ke-19. Pada masa itu, konsep pembelajaran masih menjadi isu yang kompleks dalam ranah ilmiah. Dengan menerapkan teknologi yang digunakan dalam bidang ilmu fisika, para ahli mencoba mengaitkan pengalaman untuk memahami cara belajar manusia dan hewan. Salah satu teori yang muncul, yaitu classical conditioning, menekankan pentingnya mengatur stimulus untuk menimbulkan respons tertentu. Dalam pandangan ini, kontrol dan manipulasi stimulus dianggap lebih signifikan daripada kontrol respons, menyoroti peran besar lingkungan (eksternal) dalam proses belajar dibandingkan dengan motivasi internal.

Kebermaknaan dari studi yang dilakukan oleh Pavlov terletak pada metode yang diterapkannya dan hasil yang diperoleh. Alat-alat yang dipakai dalam serangkaian eksperimen menunjukkan bagaimana Pavlov dan rekannya secara hati-hati mengamati serta mengukur respons subjek dalam eksperimen tersebut. Fokus Pavlov pada observasi dan pengukuran yang teliti, serta pendekatan sistematisnya terhadap berbagai aspek pembelajaran, berperan besar dalam kemajuan pengetahuan ilmiah tentang proses belajar.

Behavioral conditioning adalah proses pembentukan dan pengubahan perilaku seseorang melalui pembelajaran asosiatif antara stimulus dan respons. Konsep ini berasal dari eksperimen oleh Ivan Pavlov tentang kondisioning klasik atau yang juga dikenal sebagai "Pavlovian conditioning".

Pada dasarnya, behavioral conditioning melibatkan pembentukan hubungan antara stimulus yang tidak terkondisikan (UCS - unconditioned stimulus) dengan stimulus yang terkondisikan (CS - conditioned stimulus) untuk menghasilkan respons terkondisikan (CR - conditioned response). Dalam konteks ini, stimulus tidak terkondisikan adalah stimulus yang secara alami atau refleks menimbulkan respons tertentu, sedangkan stimulus terkondisikan adalah stimulus yang semula tidak memiliki hubungan langsung dengan respons tertentu, tetapi setelah dikondisikan melalui pembelajaran dapat menghasilkan respons yang sama.

Ivan Pavlov adalah seorang ilmuwan Rusia yang terkenal dengan penelitiannya tentang kondisioning klasik atau yang kemudian dikenal sebagai "Pavlovian conditioning".  Pavlov dilahirkan pada tanggal 14 September 1849 di Ryazan, Rusia. Awalnya, dia tertarik dengan studi kedokteran dan mempelajari sistem saraf pada hewan di Universitas St. Petersburg. Selama penelitiannya, Pavlov menemukan adanya respon terkondisikan yang berbeda dari respons refleks alami pada hewan. Temuan ini kemudian membentuk dasar dari teori kondisioning klasik.

Eksperimen Pavlov yang paling terkenal adalah eksperimen dengan anjing. Dalam eksperimen ini, Pavlov memasukkan makanan ke dalam mulut anjing dan secara otomatis menyebabkan anjing mengeluarkan air liur sebagai respons alami terhadap makanan. Kemudian, Pavlov memperkenalkan bunyi lonceng sebelum memberikan makanan kepada anjing. Setelah beberapa kali pengulangan, Pavlov menemukan bahwa bunyi lonceng saja sudah cukup untuk menghasilkan air liur pada anjing, meskipun tidak ada makanan yang diberikan. Bunyi lonceng menjadi rangsangan terkondisikan yang secara otomatis merangsang respon air liur karena telah dihubungkan dengan makanan.

Temuan Pavlov ini menunjukkan bahwa respons yang tadinya terjadi secara alami terhadap makanan bisa dikondisikan melalui asosiasi antara rangsangan terkondisikan (bunyi lonceng) dengan rangsangan tidak terkondisikan (makanan). Ini membuka jalan bagi pemahaman dalam pembentukan dan pembelajaran perilaku yang dapat terjadi melalui asosiasi antara rangsangan yang tidak terkondisikan dengan rangsangan yang terkondisikan.

Konsep kondisioning klasik Pavlov telah banyak diterapkan dan berkembang dalam bidang psikologi, terutama dalam menjelaskan respons dan pembelajaran pada manusia. Contohnya termasuk fobia, kecanduan, dan respons emosional yang terkait dengan peristiwa atau stimulus tertentu. Hasil penelitiannya juga memiliki dampak pada bidang ilmu lainnya seperti psikiatri, terapi perilaku, dan pendidikan.

Secara keseluruhan, Ivan Pavlov diakui sebagai salah satu ilmuwan yang memberikan kontribusi besar dalam memahami bagaimana perilaku dapat dipelajari dan dikondisikan melalui asosiasi antara stimulus yang tidak terkondisikan dengan stimulus yang terkondisikan. Karya-karyanya membantu membentuk dasar teori pembelajaran dan mempengaruhi bidang psikologi modern.

Dalam teori Pavlov, terdapat beberapa pengertian pokok yang digunakan sebagai unsur dalam eksperimennya. Berikut ini adalah beberapa pengertian pokok yang umum digunakan dalam teori Pavlov:

1. Stimulus Tidak Terkondisikan (Unconditioned Stimulus, UCS): Stimulus yang secara alami atau refleksif menyebabkan respons tertentu tanpa adanya pembelajaran sebelumnya. Contohnya, dalam eksperimen Pavlov, makanan adalah stimulus tidak terkondisikan karena dapat merangsang air liur pada anjing.

2. Stimulus Terkondisikan (Conditioned Stimulus, CS): Stimulus yang semula tidak terkait dengan respons tertentu, tetapi setelah dikaitkan dengan stimulus tidak terkondisikan melalui pembelajaran, dapat menjadi rangsangan yang menghasilkan respons yang sama. Dalam eksperimen Pavlov, bunyi lonceng adalah stimulus terkondisikan karena dapat memicu respons air liur setelah dikaitkan dengan makanan.

3. Respons Tidak Terkondisikan (Unconditioned Response, UCR): Respons yang muncul secara alami atau refleksif terhadap stimulus tidak terkondisikan. Misalnya, pada eksperimen Pavlov, respons air liur dari anjing merupakan respons tidak terkondisikan terhadap makanan.

4. Respons Terkondisikan (Conditioned Response, CR): Respons yang muncul setelah stimulus terkondisikan dikaitkan dengan stimulus tidak terkondisikan melalui pembelajaran. Dalam eksperimen Pavlov, respons air liur anjing saat mendengar bunyi lonceng adalah respons terkondisikan.

5. Pembentukan Asosiasi (Association Formation): Proses dalam kondisioning klasik di mana stimulus terkondisikan dikaitkan dengan stimulus tidak terkondisikan untuk menciptakan respons terkondisikan. Dalam eksperimen Pavlov, pembentukan asosiasi terjadi ketika bunyi lonceng dikaitkan dengan makanan sehingga dapat memicu respons air liur pada anjing.

Pengertian-pengertian ini memberikan dasar bagi pemahaman kondisioning klasik dan bagaimana asosiasi antara stimulus yang tidak terkondisikan dengan stimulus yang terkondisikan dapat membentuk respons terkondisikan. Dalam eksperimen Pavlov, ketika stimulus terkondisikan (CS) secara berulang datang sebelum stimulus tidak terkondisikan (UCS), respons terkondisikan (CR) akan terbentuk dan dihubungkan dengan stimulus terkondisikan tersebut. Proses pembentukan ini menjadi dasar bagi teori kondisioning klasik dan mempengaruhi pemahaman kita tentang pembelajaran dan pembentukan perilaku.

Gambar dibuat sendiri oleh penulis
Gambar dibuat sendiri oleh penulis

Melalui eksperimennya dengan menggunakan anjing, Ivan Pavlov menemukan beberapa hukum pengkondisian yang menjadi hasil utama penelitiannya. Berikut adalah beberapa hukum pengkondisian yang ditemukan oleh Pavlov:

1. Hukum Pembelajaran: Pavlov menemukan bahwa pembelajaran terjadi melalui asosiasi antara stimulus tidak terkondisikan dengan stimulus terkondisikan. Ketika stimulus terkondisikan dikaitkan dengan stimulus tidak terkondisikan secara berulang, respons terkondisikan terbentuk.

2. Hukum Ekstinksi: Jika stimulus terkondisikan tidak lagi diikuti oleh stimulus tidak terkondisikan, maka respons terkondisikan akan menghilang secara perlahan. Ini dikenal sebagai hukum ekstinksi, di mana asosiasi antara stimulus terkondisikan dan tidak terkondisikan melemah seiring waktu jika tidak ada penguatan ulang atau pengkondisian kembali.

3. Hukum Generalisasi Stimulus: Pavlov menemukan bahwa respons terkondisikan dapat dihasilkan oleh stimulus yang mirip dengan stimulus terkondisikan asli. Ini dikenal sebagai hukum generalisasi stimulus. Misalnya, jika anjing telah dikondisikan untuk merespons bunyi lonceng, mereka juga dapat merespons dengan respons terkondisikan terhadap suara serupa seperti bunyi bel.

4. Hukum Diskriminasi Stimulus: Pavlov juga menemukan bahwa hewan dapat membedakan antara stimulus yang terkondisikan dan stimulus lainnya. Dalam eksperimennya, dia melatih anjing untuk merespons bunyi lonceng tetapi tidak merespons dengan respons terkondisikan terhadap bunyi lain yang berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa hewan dapat membedakan stimulus dan merespons dengan tepat hanya pada stimulus tertentu yang kondisinya telah terbentuk.

Hukum-hukum pengkondisian yang ditemukan oleh Pavlov menjadi dasar penting dalam memahami proses pembelajaran dan pembentukan perilaku. Penemuan ini juga melahirkan teori kondisioning klasik yang kemudian berdampak besar pada perkembangan psikologi dan pemahaman tentang bagaimana perilaku dapat dipelajari.

Behavioral conditioning memiliki aplikasi yang luas dalam berbagai bidang, termasuk psikologi, pendidikan, terapi perilaku, dan pengendalian perilaku. Contohnya, dalam terapi perilaku, teknik-teknik seperti desensitisasi sistematis dan pemaparan terhadap stimulus yang menciptakan kecemasan digunakan untuk menghilangkan respons terkondisikan yang tidak diinginkan.

Dalam rangka memahami dan mengubah perilaku manusia, konsep dan prinsip behavioral conditioning memiliki peran penting dalam memahami bagaimana pembelajaran terjadi, bagaimana respons terkondisikan terbentuk, dan bagaimana perilaku dapat dikendalikan dan diubah melalui manipulasi stimulus dan penguatan.

Pengertian Korupsi Secara Luas

Korupsi merupakan suatu praktik yang melibatkan penyalahgunaan kekuasaan, jabatan, atau kepercayaan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang tidak pantas atau ilegal. Istilah "korupsi" dapat mencakup berbagai tindakan yang melanggar integritas moral, etika, dan hukum. Berikut adalah penjelasan yang lebih rinci mengenai pengertian korupsi secara luas:

1. Penyalahgunaan Kekuasaan: Korupsi melibatkan penyalahgunaan posisi atau kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang untuk tujuan pribadi maupun kelompok. Penyalahgunaan kekuasaan ini dapat terjadi di berbagai level, mulai dari individu dalam lingkup pribadi hingga publik, seperti pejabat pemerintahan atau eksekutif perusahaan.

2. Pembelahan Maksud: Korupsi melibatkan tujuan yang bertentangan dengan kepentingan umum atau organisasi tempat seseorang berada. Misalnya, seorang pejabat yang menerima suap untuk memberikan izin atau kontrak kepada pihak tertentu, yang menyebabkan kepentingan umum dikorbankan demi keuntungan pribadi.

3. Keuntungan Pribadi: Korupsi dilakukan dengan maksud memperoleh keuntungan finansial, materiil, atau kekuasaan bagi pelaku atau kelompok yang terlibat. Bentuk keuntungan yang dicari bisa berupa uang suap, pengemplangan pajak, nepotisme, atau penerimaan hadiah yang tidak pantas.

4. Aktivitas Ilegal atau Tidak Pantas: Korupsi melibatkan tindakan yang melanggar aturan, norma, atau hukum yang berlaku. Praktik korupsi dapat mencakup suap, pemerasan, penyuapan, kolusi, nepotisme, pencucian uang, dan manipulasi keuangan atau kontrak.

5. Dampak Negatif: Korupsi menyebabkan berbagai dampak negatif yang merugikan masyarakat dan pembangunan suatu negara secara keseluruhan. Dampak korupsi dapat berupa pengurangan dana yang seharusnya diperuntukkan bagi pembangunan, penurunan kualitas pelayanan publik, penghambatan pertumbuhan ekonomi, merusak integritas lembaga, dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah atau institusi terkait.

Penting untuk memahami bahwa korupsi dapat terjadi dalam berbagai skala, baik dalam skala individu, organisasi, maupun tingkat negara. Upaya pencegahan dan penindakan korupsi menjadi sangat penting untuk menjaga integritas, keadilan, dan pembangunan yang berkelanjutan.

Gambar dibuat sendiri oleh penulis
Gambar dibuat sendiri oleh penulis

Fenomena Kejahatan Korupsi di Indonesia

Korupsi adalah tindakan penyalahgunaan kekuasaan atau posisi dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok secara tidak sah. Tindakan korupsi melibatkan pemerasan, suap, penyuapan, penggelapan dana, penyalahgunaan wewenang, atau penghindaran kewajiban dalam situasi yang melibatkan kepentingan publik atau kegiatan bisnis.

Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia merujuk pada penyebaran praktik korupsi yang merajalela dan merupakan masalah serius dalam tata kelola pemerintahan dan bisnis di negara ini. Korupsi dalam skala kecil hingga besar dapat ditemukan di berbagai sektor, termasuk pemerintahan, birokrasi, kepolisian, peradilan, bisnis, dan sektor publik lainnya.

Beberapa bentuk kejahatan korupsi yang umum terjadi di Indonesia meliputi:

  • Suap: Pemberian suap untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan dari pejabat pemerintah atau swasta, seperti memperoleh ijin atau kontrak proyek.
  • Nepotisme: Memberikan keuntungan atau posisi kepada anggota keluarga atau kerabat dekat tanpa mempertimbangkan kualifikasi atau kompetensi yang seharusnya.
  • Penggelapan Dana: Penyalahgunaan dana publik atau dana bisnis untuk keuntungan pribadi melalui manipulasi sistem keuangan.
  • Penyuapan: Memberikan imbalan atau hadiah untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau pengaruh tertentu dari pihak-pihak yang terlibat.

Fenomena kejahatan korupsi di Indonesia memiliki dampak yang merugikan bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Korupsi mengurangi dana yang seharusnya digunakan untuk pembangunan infrastruktur, layanan publik, atau program sosial. Hal ini juga menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi, menurunkan kepercayaan publik dan moralitas, serta merusak tata kelola yang baik dan transparan.

Untuk mengatasi fenomena kejahatan korupsi di Indonesia, pemerintah bersama dengan lembaga anti-korupsi dan masyarakat sipil telah menjalankan berbagai upaya, seperti penguatan hukum, penegakan hukum yang tegas, promosi transparansi dan akuntabilitas, serta pendidikan anti-korupsi. Melalui langkah-langkah ini, diharapkan korupsi dapat ditekan dan tata kelola pemerintahan yang bersih dan efektif dapat terwujud.

Korupsi, sebagai fenomena kejahatan yang merugikan, telah menjadi perhatian serius di Indonesia. Keberhasilan dalam memerangi korupsi sangat penting untuk meningkatkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan. Dalam rangka menyelidiki akar permasalahan ini, salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah melalui diskursus behavioral conditioning yang dikemukakan oleh ilmuwan Rusia, Ivan Pavlov.

Hubungan Behavioral Conditioning oleh Ivan Pavlov dengan Kejahatan Korupsi.

Dalam konteks kejahatan korupsi, diskursus behavioral conditioning Ivan Pavlov dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana perilaku korupsi terbentuk dan dipertahankan. Seperti yang dikemukakan oleh teori ini, korupsi dapat diasosiasikan dengan stimulus tertentu dan menghasilkan respons yang menguntungkan bagi pelaku kejahatan.

Dalam lingkup politik dan birokrasi, kondisi tertentu seperti kuasa, kesempatan, dan kecenderungan untuk mendapatkan keuntungan pribadi dapat mempengaruhi perilaku individu. Melalui proses asosiasi rangsangan dan respons, pelaku korupsi terkondisikan untuk terus melakukan tindakan korupsi demi memenuhi kebutuhan atau keinginan pribadi mereka.

Selain itu, budaya yang menganut praktik korupsi yang tidak terkondisikan sejak lama juga dapat membentuk dan memperkuat perilaku korupsi. Seperti dalam kondisioning Pavlov, stimulus budaya seperti norma sosial yang toleran terhadap korupsi dapat menjadi conditioned stimulus yang menghasilkan respons korupsi yang terkondisikan.

Sebaliknya, penelitian mengenai Behavioral Conditioning oleh Ivan Pavlov tidak secara langsung berkaitan dengan kejahatan korupsi. Penelitian Pavlov lebih berfokus pada pemahaman tentang pembelajaran perilaku melalui asosiasi antara stimulus terkondisikan dan tidak terkondisikan. Namun, meskipun tidak ada hubungan langsung antara penelitian Pavlov dan kejahatan korupsi, konsep pembelajaran dan kondisioning yang ia temukan dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana perilaku korupsi dapat terbentuk dan dipertahankan.

Dalam kasus korupsi, terdapat faktor-faktor psikologis dan pembentukan perilaku yang terlibat. Misalnya, seseorang yang terlibat dalam tindakan korupsi dapat mengalami pembelajaran melalui asosiasi antara pemberian suap atau korupsi dengan penerimaan keuntungan pribadi. Ini dapat menciptakan pola perilaku yang terkondisikan, di mana seseorang membentuk hubungan antara tindakan korupsi dengan keuntungan dan pengaruh yang mereka inginkan.

Selain itu, teori klasik Pavlovian conditioning juga dapat diterapkan dalam menganalisis respons manusia terhadap sistem korupsi. Misalnya, respons terkondisikan terhadap situasi korupsi dapat terbentuk melalui pembelajaran dari pengalaman sebelumnya atau pemahaman sosial tentang kebenaran dan kebiasaan korupsi dalam suatu lingkungan. Namun, penting untuk dicatat bahwa korupsi melibatkan faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan institusional yang lebih kompleks daripada hanya proses pembelajaran individu. Faktor-faktor seperti tekanan sosial, kebijakan pemerintah yang rentan terhadap korupsi, sistem hukum yang lemah, dan ketidakadilan juga mempengaruhi kejahatan korupsi.

Kesimpulannya, meskipun tidak ada hubungan langsung antara Behavioral Conditioning Ivan Pavlov dan kejahatan korupsi, konsep pembelajaran dan kondisioning bisa memberikan pemahaman tentang pembentukan perilaku, termasuk dalam konteks korupsi. Namun, menjelaskan fenomena korupsi memerlukan pemahaman yang lebih luas melalui faktor-faktor sosial, ekonomi, politik, dan institusional yang terlibat.

Implikasi dan Rekomendasi

Dalam upaya memerangi kejahatan korupsi di Indonesia, pemahaman terhadap diskursus behavioral conditioning Ivan Pavlov dapat memberikan wawasan tentang peran penting faktor lingkungan dan budaya dalam membentuk perilaku korupsi. Berdasarkan pemahaman ini, beberapa rekomendasi dapat diajukan:

  • Pendidikan dan Pelatihan: Pemahaman tentang behavioral conditioning dapat digunakan dalam merancang program pendidikan dan pelatihan yang dapat membentuk perilaku dan nilai-nilai yang melawan korupsi. Melalui pembelajaran asosiatif yang tepat, seseorang dapat memahami konsekuensi negatif dari korupsi dan mengembangkan sikap integritas.
  • Penguatan Respons Positif: Menerapkan penguatan positif terhadap perilaku yang jujur, etis, dan transparan dapat memperkuat respons terkondisikan yang melawan korupsi. Insentif atau penghargaan dapat diberikan kepada individu atau organisasi yang menunjukkan praktik dan tindakan anti-korupsi yang kuat.
  • Pembentukan Etika Organisasi: Konsep pembelajaran dapat diterapkan dalam membentuk etika dan budaya organisasi yang berintegritas. Dengan menghadirkan tujuan dan nilai-nilai anti-korupsi dalam lingkungan kerja, ada peluang untuk menciptakan kondisi yang mendorong perilaku etis dan transparan.
  • Komunikasi dan Kesadaran: Melalui komunikasi yang efektif dan kampanye penyuluhan, pemahaman tentang behavioral conditioning dapat digunakan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya dan dampak negatif korupsi. Penjelasan yang jelas mengenai konsekuensi korupsi yang merugikan baik secara individu maupun kolektif dapat membantu merubah persepsi dan sikap terhadap korupsi.
  • Penegakan Hukum yang Tegas: Mempertimbangkan aspek penguatan dan ekstinksi dalam behavioral conditioning, penerapan hukuman yang tegas dan adil terhadap pelaku korupsi akan memainkan peran penting dalam mengubah perilaku. Ketegasan penegakan hukum dapat membentuk asosiasi antara tindakan korupsi dan konsekuensi yang merugikan serta memberikan sinyal yang jelas bahwa korupsi tidak akan ditoleransi.
  • Pembentukan Kelembagaan dan Tindakan Pencegahan: Langkah-langkah pencegahan korupsi seperti pembentukan lembaga independen, sistem pengawasan yang efektif, transparansi dalam keuangan publik, dan pelaporan yang aman menjadi penting. Pembentukan lingkungan institusional yang bebas dari korupsi dapat membantu mengubah norma sosial dan mengurangi praktik korupsi secara menyeluruh.

Pemahaman tentang behavioral conditioning Ivan Pavlov dapat memberikan wawasan dan kerangka kerja yang berguna dalam upaya memerangi korupsi. Namun, penting juga untuk mengakui bahwa korupsi melibatkan faktor-faktor sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks. Oleh karena itu, pendekatan multidimensional yang mencakup strategi pencegahan, penindakan, dan reformasi sistem lebih diperlukan dalam upaya memerangi kejahatan korupsi secara efektif.

Dalam semua upaya pencegahan korupsi, penting untuk menggabungkan berbagai pendekatan dan melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan lembaga-lembaga terkait.

Kesimpulan

Behavioral Conditioning Ivan Pavlov dapat memberikan wawasan tentang mengapa perilaku kriminal dipengaruhi dan dipengaruhi. Teori ini menunjukkan bahwa perilaku kriminal dapat dipengaruhi oleh rangsangan dan respons spesifik yang bermanfaat bagi perilaku kriminal. Dalam konteks politik dan masyarakat, kondisi tertentu seperti kekuasaan, pengaruh, dan kesediaan untuk membayar demi keuntungan pribadi dapat mempengaruhi perilaku individu. Norma dan sikap sosial juga dapat mempengaruhi perilaku kriminal. Teori pengkondisian perilaku Pavlov dapat diterapkan untuk menganalisis respons manusia terhadap sistem kriminal, yang mengungkapkan bahwa perilaku kriminal dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi, politik, dan kelembagaan yang kompleks di luar proses pembelajaran individu. Pada akhirnya, untuk memahami fenomena kejahatan diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang faktor-faktor ini.

Diskursus behavioral conditioning Ivan Pavlov dapat memberikan pemahaman tentang bagaimana perilaku korupsi terbentuk dan dipertahankan melalui asosiasi stimulus dan respons. Dalam menghadapi fenomena kejahatan korupsi di Indonesia, pemahaman ini dapat memberikan wawasan dan rekomendasi dalam upaya memerangi korupsi, termasuk melalui pendidikan anti-korupsi, penegakan hukum yang tegas, promosi transparansi dan akuntabilitas, serta penguatan lembaga anti-korupsi. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Indonesia dapat melawan korupsi dan mencapai tata kelola pemerintahan yang lebih baik dan bersih.

DAFTAR PUSTAKA

Umaruddin Nasution, Casmini (2020). Integrasi Pemikiran Imam Al-Ghazali & Ivan Pavlov dalam Membentuk Perilaku Peserta Didik. Yogyakarta E-Journal UIN Saizu.

Titi  Nurhidayati (2012). Implementasi Teori Belajar Ivan Petrovich Pavlov (Classical Conditioning) Dalam Pendidikan. Jurnal Falasifa.

Dr. Haslinda, M. Ikom (2019). Classical Conditioning. Jurnal Network Media Vol: 2 No. 1

Dwi Okti Sudarti (2019). Kajian Teori Behavioristik Stimulus dan Respon dalam Meningkatkan Minat Belajar Siswa. Yogyakarta Jurnal Tarbawi

Arshinta Sekar Bidari S.H., M.H (2017). Fenomena Korupsi Sebagai Patologi Sosial Di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun