Sumribit angin ratri tansah angenteni
Setya najang telenging ati
Angen angen tumlawung suwung ing wengi sepi
Tansah angranti tekamu dhuh yayi
 Suara lantunan lagu lamunan menggema memenuhi setiap penjuru ruangan. Prapto hanya meratapi setiap bait lirik yang mendalaman tentang arti sebuah ratapan seorang kekasih yang menunggu sosok yang paling terkasih. Sudah satu bulan Prapto ditinggal sang pujaan hati bernama Ratih, dia adalah gadis anggun desa sebelah yang rupawan dan menawan, mereka bertemu untuk pertama kali ketika di pasar, merekapun akhirnya saling menaruh hati pada pertemuan juga pandangan pertama. Hubungan kisah kasih mereka terus berlanjut sampai beberapa bulan, meski hanya dapat saling bertukar pandang ataupun hanya sekedar lewat tulisan yang dititipkan dari tangan ketangan, itu sudah membuat hati mereka senang. Tetapi kisah cinta mereka harus putus ditengah jalan tanpa adanya dugaan. Itu semua karena hubungan yang terhambat restu dari orang tua sang wanita. Bagaikan kisah Laila Majnun, kini Praptopun juga sudah gila dubuatnya. Tak kenal waktu, dia selalu berharap Ratih akan kembali pada pelukannya sambil merenung didepan rumah menunggu kedatangan sang pujaan yang bisa menyembuhkan kerinduan tanpa ada kepastian dia akan datang.
Pagi mulai siang, sementara siang kian mulai meredupkan sinarnya menyisakan segores senja indah diatas luasnya hamparan sawah yang akan ditelan kegelapan. Tapi prapto masih diam ditempat sambil ditemani radio usang dan tetesan air mata yang tak kunjung mengering. Tanpa ada pandangan yang difokuskan, pikiran kosong penuh keriuhan, kini dia memang sudah benar gila sepertinya. Sang Ibu yang selalu khawatir akan keadaan putra semata wayangnya, dia selalu mencoba mengajak bicara untuk sekedar menghibur. Tapi, memang benar adanya jika batu itu tidak bisa diajak bicara, Prapto hanya mau bicara jika itu menyangkut tentang Ratih.
"Hari ini aku akan pergi ke rumah Ratih untuk membujuk orang tuanya."
"Benarakah? Kalau begitu aku akan mandi dulu" ucap Prapto sambil menjingkat senang.
Ibunya hanya memendam rasa sedihnya sambil mengusap air mata yang lolos jatuh tanpa disengaja.
"Ganteng sekali anak ibu, sudah lama ibu tidak melihatmu tersenyum."
"Hari ini adalah hari special, karena sudah sekian lama aku akan berjumpa dengan Ratih."
"Maaf kan aku nak, bukan maksut ingin membohongimu, tapi Ratih dan keluarganya sudah pindah ke Kota lain yang jauh tempatnya, kemarin aku sudah pergi menemuinya seorang diri, tetapi rumahnya kosong dan tetangganya bilang bahwa mereka sudah pindah." Jelas sang ibu.
Bagai disambar petir, Amarah prapto tidak bisa lagi dikendalikan. Semua barang yang ada didekatnya ia buang, sang ibu hanya bisa menangis dari kejauhan melihat putranya yang sudah gila akan cinta.
Jam terus berputar menciptakan hari yang suram bagi Prapto, sudah dua hari ia terus mengunci diri dikamar dan tidak mau makan. Keheningan malam mulai menyentuh kegelapan dia tak menemukan penerang, seluruh jalan menjadi hilang tujuan, terdengar suara jeritan khas ditelinganya membuat ia membuka mata, terlihat sosok wanita pujaan hati yang selama ini ia tunggu berdiri sambil menangis didepan matanya.
"Ratih, Apakah itu benar kamu?"
"Prapto tolong aku!" ucap lemah gadis tersebut sambil perlahan menghilang pudar beserta bayangannya.
"Ratih!" Prapto terbangun dan langsung duduk, keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Ia lalu berdiri membuka jendela, melepaskan pandangannya kepada hamparan bintang yang tidak menyakiti mata.
"Ratih, kamu dimana? Bagai mana kabarmu disana? Apakah kamu bahagia atau sengsara juga sepertiku?" Pertanyaan itu selalu terngiang di dalam pikirannya.
Disaat dia menatap bintang,ada satu hal yang membuatnya penasaran, sebuah cahaya begitu terang lewat tepat dihadapannya.
"Apa itu? Apakah ada bintang jatuh atau aku hanya berhalusinasi?"
Tapi prapto tidak ingin memikirkan hal selain Ratih, jadi ia menutup jendela dan kembali ke tempat tidurnya.
****
Hari demi hari kian berlalu, kini Prapto sudah bisa beraktifitas dirumah meski ia tetap tidak mau melihat keindahan dunia luar, tapi ini merupakan suatu kemajuan. Ibunya pergi berjualan dipasar, jadi ia dirumah sendirian.
"Permisi, Mas Prapto!" Terdengar suara dari luar rumah yang memanggil namanya.
Prapto bergegas untuk membukakan pintu untuk orang tersebut.
"Iya, dengan saya sendiri, apakah ada yang bisa dibantu?"
"Begini mas, saya ini seorang utusan yang diamanahi untuk membawakan surat ini kepada mas Prapto" Ucap orang itu dengan mengulurkan sepucuk surat.
Prapto menerima surat tersebut dan langsung membukannya.
Untuk Prapto
Nak Prapto, ini saya bapaknya Ratih, dengan melalui surat ini, saya ingin meminta bantuan nak Prapto untuk anak saya. Memang ini adalah salah saya karena telah memisahkan kalian berdua, kini Ratih mengalami sakit yang sangat parah hingga tidak ada satu pun dokter yang bisa menolongnya. Dia terus memanggil namamu disetiap rintihannya, Buakan tanpa alasan kami meninggalkan desa, tapi memang kami ingin mencarikan obat terbaik untuk Ratih. Sudah lebih dari satu bulan dia sakit dan tak kunjung sembuh, kata orang pintar sakitnya itu karena di guna-guna, tolong jika sudah membaca surat ini, datanglah kerumah kami dengan segera, karena Ratih sudah menunggumu.
Surat yang ia pegang seketika jatuh, Prapto berlari mengambil sepedanya dan mengayuhnya dengan sekuat tenaga. Jalan berlubang, genangan air huajan pun ia terobos sampai hamper tumbang. Tak butuh waktu lama, kini ia sudah didepan rumah sang tercinta. Ia lansung berlari menuju sang pujaan jiwa yang terkapar tanpa tenaga, Prapto menggenggam tangan Ratih setelah sekian lama berpisah.
"Ratih ini aku Prapto, buka matamu sekarang tidak akan ada yang dapat memisahkan kita, karena hari ini bapakmu sendirilah yang memanggilku untuk menemuimu."
Ratih hanya mampu tersenyum sambil meneteskan air matanya.
"Ratih telah disihir oleh orang yang berbahaya, sihir itu akan terus menyiksanya sampai orang itu sendiri yang mencabutnya, aku juga tidak tau salah apa yang telah diperbuatnya, Aku akan melakukan segala cara untuk menyembuhkannya." Jelas bapaknya Ratih
"Aku juga akan menjaganya, karena bagiku Ratih adalah segalanya. Memangnya sihir seperti apa yang orang itu kirimkan pada Ratih?"
"Banaspati, itu adalah roh jahat yang memiliki wujud seperti api dan elemen utama api. Banaspati dipercaya memiliki kekuatan besar dan bisa ditemukan di hutan atau digunakan oleh dukun untuk ilmu hitam." Ucap seorang misterius yang juga ada didalam kamar Ratih.
"Dia adalah Mbah Djo, orang pintar yang mengawasi ratih." Jelas bapaknya Ratih.
***
Sudah tiga hari Prapto mendampingi Ratih, kini keadaanya sudah mulai membaik. Akan tetapi, disisi lain sang ibu sangat hawatir karena putranya pergi dari rumah tanpa izin. Sudah semua tetangga ditanyai tentang keberadaan sang anak, tapi tak ada yang tahu sama sekali tentang Prapto. Ia hampir menyerah sampai ia menemuakn seuntai kertas jatuh dibawah meja ruang tamu. Ia pun membuka dan membacanya, seketika wajahnya berubah menjadi merah padam, semua jari tangannya mengepal menandakan amarah yang sangat besar. Kertas itupun disobek dan diinjak-injak ketanah. Tanpa berpikir panjang, sang ibu pergi ke tengah hutan membuat suatu ritual yang sepertinya bukan pertamakali ia dilakukan.
Hari ini adalah ritual pelepasan sihir bagi Ratih, dengan ditemani oleh Mbah Djo, Prapto dan Bapaknya Ratih membawa tubuh Ratih kehutan untuk menarik kekuatan goib dari dalam raganya. Saat diperjalanan, terlihat sebuah cahaya terang yang mengukuti perjalanan rombongan Prapto. Mbah Djo memberi peringatan pada Prapto untu melindungi Ratih, karena Banaspati sedang mengincar ratih untuk membunuhnya, dengan berbagai jurus dikeluarkan, pertarungan sengitpun dimulai.
"Dukun ilmu hitam ini sangat kuat sekali, Sepertinya sebentar lagi dia akan menampakkan diri." Ucap Mbah Djo
Benar apa yang diucapkan Mbah Djo, Dukun ilmu hitam itu pun datang dengan mengenakan jubah lengkap dengan penutup kapala dan wajah. Adu kekuatanpun dimulai, Prapto membawa ratih untuk berlindung dari kejaran Banaspati, sementara bapak mencoba untuk melawan Banaspati tersebut dengan alat seadanya.
Mbah Djo pun melawan dukun itu sampai penutup kepalanya lepas.
"Ibu! Ternyata selama ini ibu adalah dukun yang menyakiti Ratih?" Ucap Prapto
"Bocah sialan, wanita seperti dia itu hanya bisa mengecewakan dan tidak pantas untuk diperjuangkan!" Ucap dukun itu sambil mengeluarkan kekuatannya.
"Tidak! cintaku kepada Ratih itu murni, Tidak seperti ibu yang katanya mencintaiku tetapi menyakiti orang yang kucintai, itu sama saja dengan menyakitiku ibu."
"Anak yang tak tau diuntung, wanita seperti dia itu pantas untuk dibunuh, kau tidak ingat betapa tersiksanya dirimu ketika ditinggalkan olehnya? Apa kau masih mau membelanya."
"Ibu tolong hentikan semua ini, aku mencintai kalian berdua dan tidak akan sanggup untuk ditinggalkan salah satu dari kalian." Ucap Prapto sambil menangis memohon pada ibunya.
"Akan kubunuh dia!"
Banaspati denag cepat bergerak menyambar tubuh Ratih, tapi prapto tidak tinggal diam. Sebelum Banaspati sampai kepada Ratih, Prapto dengan kesadaran penuh menghampiri Banaspati dan dengan perlahan tubuhnya mulai terbakar.
"Jika aku harus kehilangan salah satu dari kalian, Maka aku saja yang akan menghilang" Kata-kata terakhir yang diucapkan prapto sebelum tubuhnya habis terbakar dan hanya menyisakan abu dan kenangan yang mendalam.
Ibunya pun menangis dengan penuh penyesalan akan segala perbuatannya. Ratih kini  telah sadarkan diri dan sembuh seutuhnya dari sihir yang selama ini telah menguasai tubuhnya. Akan tetapi, hatinya kini sangat sakit karena harus menyisakan duka mendalam atas kehilangan orang terkasih yang tidak akan pernah kembali lagi sampai kapanpun.
THE END
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H