Mohon tunggu...
Irma Muthiah Saleh
Irma Muthiah Saleh Mohon Tunggu... Guru - Guru/Hidaytullah Balikpapan

Berkebun/Agriculture

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluhan Aina

8 Oktober 2024   21:21 Diperbarui: 8 Oktober 2024   21:55 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aina menangis mengadu kepada  ayahnya. Dia melaporkan berbagai hal buruk yang katanya dialami di asrama. Air yang sering tidak mengalir, makanan yang basi, jarak sekolah yang jauh,  kakak pengasuh yang jahat, semua begitu lancar keluar dari lisannya. 

Mendengar  pengaduan putri kesayangannya tersebut, pak Andi yang seorang karyawan perusahaan ternama itu pun meradang. Dia tidak terima anaknya yang sehari-harinya dia manjakan, mengalami hal itu. Segera diteleponnya pengurus pondok untuk mengajukan komplain atas layanan pondok yang tidak bagus. 

       "Pokoknya saya tidak terima anak saya diberi nasi basi. Digunakan untuk apa itu uang pembayaran santri kalau bukan untuk memberikan pelayanan yang baik," katanya dengan nada marah. 

       "Baik pak nanti kami tabayyun dulu ke asrama, apakah hal itu benar adanya,"  jawab seorang ustadzah yang mendapatkan telepon protes dari wali santri tersebut. 

        "Itu pembimbing asrama juga, ketika  dihubungi susahnya minta ampun. Pembimbing itu harus stay setiap saat," katanya menggurui. 

Tidak ingin berdebat yang tidak ada akhirnya, ustadzah yang akrab dipanggil ustazah  Dina tersebut,  hanya mendengar sambil sekali-kali mengiyakan, tanda bahwa dia sudah memperhatikan seluruh komplain dari wali santri tersebut.

       "Baik pak, in syaa Allah akan segera kami tindak lanjuti." Katanya, berharap bapak itu sudah tuntas dengan amarahnya. Sikapnya yang memilih menjadi pendengar yang baik nampaknya membuat si bapak, wali santri itu kehabisan kata-kata setelah hampir seperempat jam melampiaskan protesnya dengan penuh emosi. 

Segera diambilnya kunci motor metic dengan merk scoopy miliknya,  berjalan menuju tempat parkir dan tak lama motor itupun melaju ke asrama. Ditemuinya pembimbing asrama yang saat itu sedang mendampingi pengasuh menata taman.  

      "Assalamu 'alaikum ustadzah!" Serentak pembimbing asrama dan sejumlah pengasuh yang sedang bekerja itu, menyapa.

      "Wa'alaikum salam," jawabnya ramah.

Setelah mengajukan beberapa komentar basa basi, ustadzah tersebut pun masuk ke inti masalah namun karena kemampuan komunikasi yang dimilikinya, lawan bicaranya saat itu tidak merasa diinterogasi. 

      "Ini untuk menyiramnya ambil air dari mana kak?" Tanyanya sekaligus untuk mengkonfirmasi terkait ketersediaan  air di asrama. 

      "Kalau untuk nyiram kami pakai air dari sumur bor ustadzah. Tapi kalau untuk MCK kami menggunakan air dari WTP," jawab salah seorang pengasuh, yang ternyata adalah ketua asrama. 

      "Lancar airnya?" Tanyanya lagi. 

      "Alhamdulillah lancar aja ustadzah, kecuali kemarin dulu sempat mati satu hari. Kata ustadz Adit yang PJ Air, lagi ada maintenance mesin. Tapi sekarang sudah ngalir ustadzah," jawabnya mencoba mengkonfirmasi jika sebenarnya urusan air lancar-lancar saja. 

Setelah merasa cukup dengan klarifikasi dari asrama yang diperolehnya tidak dengan menjudge para pengasuh dan pembimbing, yang telah mewakafkan waktunya untuk mengurus dan mendampingi ratusan santri tersebut, ia pun pamit dan bermaksud mencari info terkait kasus nasi basi. 

      "Ini lagi persiapan masak untuk makan siang yah nak?" Tanyanya kepada tiga orang santri yang dapat giliran tugas masak hari itu. Memang pondok tersebut menerapkan sistem pendidikan yang tidak hanya menjejali santri dengan berbagai teori dan pengetahuan yang diajarkan di kelas. Tapi satu yang tak kalah pentingnya adalah membekali mereka dengan life skill, yang  salah satunya adalah belajar memasak. 

Memasak adakah suatu keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh seorang anak perempuan. Terlepas dari kemudahan-kemudahan yang ditawarkan dewasa ini. Berbagai makanan siap saji dengan mudahnya didapat. Cukup dengan membeli langsung ke penjualnya ataukah lewat layanan delivery seseorang sudah bisa menikmati makanan yang diinginkannya. 

       "Ini untuk persiapan makan malam ustadzah, kalau yang siang sudah sementara di masak," jawab salah seorang dari santri tersebut. Bu Dina berfikir jika ia telah melemparkan pertanyaan yang salah. Benar juga kalau untuk siang baru mau disiapkan anak-anak akan terlambat makannya karena jam sudah menunjukkan pukul 10.15. Kalau masak untuk satu dua orang, waktunya sangat lapang, tapi ini untuk ratusan orang. 

       "Kira-kira di setiap waktu makan berapa persen kehadiran santri untuk makan di dapur Bu?" Tanya Bu Dina kepada ibu dapur ketika dia sudah berada di dalam ruang masak. Ruang yang di dalamnya berderet panci dan wajan besar di atas kompor yang menyala maksimal. 

       "Kalau melihat makanan yang terisa yah mungkin antara 97 hingga 98 persen. Tapi kadang juga di bawahnya. Misalnya ketika ada acara di madrasah dan anak-anak yang bertugas dapat jatah makan karena terlibat dalam kepanitiaan. Kalau untuk yang sakit tetap di ambilkan oleh petugas kesehatannya. 

Setelah merasa cukup dengan informasi yang diperolehnya Bu Dina kembali ke kantor dan mulai melengkapi laporan yang akan di sampaikan kepada wali santri yang komplain tersebut. Ia kembali menelepon pembimbing untuk menanyakan perihal santri yang bernama Aina. Tidak ingin mendapatkan informasi sepihak ia pun bertanya pada beberapa orang santri termasuk pada teman sekelas Aina. 

Diambilnya Handphone miliknya kemudian kalimat demi kalimat ia ketikkan untuk memberi penjelasan kepada wali santri tersebut. Kasus air yang tidak lancar tidak bisa menjadi sebuah justifikasi jika air di pondok itu menjadi masalah besar karena faktanya terganggu hanya di waktu-waktu tertentu, seperti jika ada maintenance mesin. 

Pengasuh yang konon katanya jahat juga  tidak beralasan karena dari info yang di dapat dari santri lainnya bahwa kakak pengasuh mereka baik. Mereka akan bersuara agak tinggi jika ada santri yang sudah berulang diarahkan untuk segara mengikuti salah satu kegiatan, namun masih enggan dan malas bergerak. 

Hal yang masih wajar tentunya ketika mereka sedikit meninggikan suara ketika ada anak asuhnya yang abai terhadap aturan atau tidak mau mengikuti kegiatan di asrama.  Yang tidak dibenarkan jika mereka mengeluarkan kata-kata umpatan, ejekan atau berkata kasar kepada adik asuhnya. Karena sejatinya semua proses di pondok adalah dalam rangka pendidikan. Maka apakah itu di asrama, di madrasah, di kantin, di dapur umum semuanya harus menjadi support system bagi suksesnya pendidikan dan pembinaan santri di pondok. 

Wali santri yang mendapatkan penjelasan yang detail dengan bahasa yang santun meskipun lewat untaian kata yang tertulis itu,  merasa puas dan mengucapkan terima kasih. Satu kata yang melekat kuat dalam ingatannya bahwa anak perlu diarahkan untuk belajar  menyelesaikan masalahnya sendiri, karena tidak ada yang dapat menjamin bahwa orang tua akan selalu hadir di saat-saat mereka dalam masalah. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun