Percaya atau tidak stereotip itu masih melekat di pedesaan. Selain itu, ada mitos jika perempuan menolak lelaki yang datang untuk melamar maka ia akan kesulitan menemukan jodoh ke depannya. Padahal jodoh adalah urusan Tuhan bukan urusan manusia.Â
Stereotip yang melekat ini faktanya menghambat banyak anak perempuan untuk bersekolah hingga ke jenjang sarjana. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin (menikah di bawah umur 19 tahun) dari bulan Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang tahun lalu yang berjumlah 23.700 permohonan. Tentu ekonomi menentukan naiknya angka pernikahan anak di tengah pandemi. Menyekolahkan anak perempuan dianggap buang-buang uang padahal bangsa yang hebat ditentukan oleh perempuan yang hebat.Â
Selain itu stereotip tersebut dikaitkan dengan agama yang "katanya" tugas seorang perempuan adalah melayani suami. Pemahaman tersebut dimanfaatkan oleh suatu wedding organizer yang sempat viral karena mendukung pernikahan dini. Jika agama melarang perempuan untuk belajar tak akan ada Siti Khadijah yang berperan besar dalam agama Islam.Â
Tentu tak akan ada pelatihan sehebat apapun yang dapat mengubah pola pikir dan stereotip ini, kecuali anak-anak perempuan diizinkan untuk sekolah. Sehingga mereka nantinya yang dapat mengubah pola pikir terkait perempuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H