Di tahun 2017 seperti umumnya mahasiswa, saya melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di salah satu desa di Aceh. Desa ini terkenal dengan julukan "negeri di atas awan". Soal pemandangan alam di tempat ini bak berada di negera Swiss.Â
Sebagai mahasiswa tentu KKN diangga ajang liburan yang asik sekaligus berinteraksi dengan masyarakat. Ada senang tentu saja pasti ada tak enaknya dengan KKN. Kelompok KKN saya terdiri dari 4 perempuan dan 3 laki-laki.Â
Sebagai perempuan terlebih selama ini kami jarang sekali memasak, membuat makanan di KKN tak enak. Kalau rajinnya sedang kumat maka masakan kami bervariasi. Kalau malasnya sedang kumat maka kami hanya memasak tempe goreng dan kangkung untuk makan siang, untuk makan malam menunya cukup indomie. Ketika KKN 1 kotak indomie kami habiskan dalam waktu 2 minggu. Selain itu, di desa ini tidak ada warung yang menjual makanan jadi, kami mau tak mau harus masak atau pergi ke kota yang dapat ditempuh dengan waktu 30 menit.Â
Apa yang ditunggu-tunggu mahasiswa KKN? Apalagi kalau bukan kondangan sehingga kami bisa makan enakÂ
Momen yang ditunggu-tunggu pun tiba, akhirnya ada kondangan di desa tempat kami KKN. Tak berpikir dua kali, saya dan teman-teman langsung menuju lokasi kondangan dan membantu penduduk sekitar. Niatnya hanya ingin makan, membantu penduduk adalah selingan saja.Â
Ketika sedang asik membantu, kami bertanya kepada salah seorang penduduk, dimana calon pengantin perempuan?. Terkejutlah kami semuanya ketika melihat ternyata calon pengantin perempuan masih anak-anak baru kelas 8 SMP dan berusia 14 tahun.Â
Sejak saat itu saya baru mengetahui kebanyakan perempuan di sana menikah setelah tamat SMP atau SMA. Alasannya? Stereotip.Â
Stereotip sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah konsepsi mengenai sifat suatu golongan berdasarkan prasangka subjektif dan tidak tepat. Di Indonesia sendiri stereotip mengenai perempuan terkesan tidak menguntungkan perempuan.Â
"Buat apa sekolah tinggi-tinggi, nanti kamu kalo udah menikah tugasnya di dapur, sumur, dan kasur".Â
Stereotip itu yang membuat banyak orang tua di desa enggan menyekolahkan anaknya selain persoalan ekonomi. Bagi orang tua yang konservatif, menyekolahkan anak perempuan dianggap buang-buang uang karena nanti ketika besar tugasnya hanya melayani suami. Jika ingin bekerja perempuan tetap bisa bekerja dengan berjualan atau bertani.Â
Percaya atau tidak stereotip itu masih melekat di pedesaan. Selain itu, ada mitos jika perempuan menolak lelaki yang datang untuk melamar maka ia akan kesulitan menemukan jodoh ke depannya. Padahal jodoh adalah urusan Tuhan bukan urusan manusia.Â
Stereotip yang melekat ini faktanya menghambat banyak anak perempuan untuk bersekolah hingga ke jenjang sarjana. Data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama mencatat 34 ribu permohonan dispensasi kawin (menikah di bawah umur 19 tahun) dari bulan Januari-Juni 2020. Dari jumlah tersebut, 97% dikabulkan dan 60% yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun.
Jumlah permohonan dispensasi kawin tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan sepanjang tahun lalu yang berjumlah 23.700 permohonan. Tentu ekonomi menentukan naiknya angka pernikahan anak di tengah pandemi. Menyekolahkan anak perempuan dianggap buang-buang uang padahal bangsa yang hebat ditentukan oleh perempuan yang hebat.Â
Selain itu stereotip tersebut dikaitkan dengan agama yang "katanya" tugas seorang perempuan adalah melayani suami. Pemahaman tersebut dimanfaatkan oleh suatu wedding organizer yang sempat viral karena mendukung pernikahan dini. Jika agama melarang perempuan untuk belajar tak akan ada Siti Khadijah yang berperan besar dalam agama Islam.Â
Tentu tak akan ada pelatihan sehebat apapun yang dapat mengubah pola pikir dan stereotip ini, kecuali anak-anak perempuan diizinkan untuk sekolah. Sehingga mereka nantinya yang dapat mengubah pola pikir terkait perempuan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H