Mohon tunggu...
irhamna
irhamna Mohon Tunggu... Lainnya - mahasiswi

bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebebasan

18 Agustus 2024   17:09 Diperbarui: 18 Agustus 2024   17:35 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah pepatah tertulis di buku pelajaranku saat SMP:

”Sejelek apapun anak monyet, ibu monyet akan menyebutnya cantik” Sebuah makna mengharukan dari kalimat ini selalu diyakini oleh banyak orang. Sayangnya, hal yang diyakini kebanyakan orang itu justru tidak berlaku untuk diriku. Seperti apapun rupaku, ibu adalah orang pertama yang benar-benar berbicara apa adanya agar aku paham siapa sosokku yang sebenarnya. Bahwa keburukan ini serupa kutukan yang mengiringi hidupku: jangan pernah berharap pada kasih atau keberuntungan. Kadang, cukup benar juga karena tingkah laku dan pemikiranku dinilai kebanyakan orang mulai dari melihat penampilan. Kalau aku melakukan suatu tindak kejahatan, maka masyarakat kemungkinan besar akan mencoreng wajahku habis-habisan dengan pisau, parang atau setidaknya, semua sepakat kalau eksekusiku akan dijalankan dengan cepat. Tidak akan ada yang mau mempertahankan penjahat buruk rupa dibanding serigala berbulu domba.

Kalau begitu, untuk apa masyarakat menuntutku berperilaku terpuji? Keluargaku yang menekanku habis-habisan? Segala tuntutan yang dikenakan padaku berakhir sia-sia. Buat apa mereka memoles sampah menjadi berlian? Itulah yang kupikirkan ketika memutuskan keluar dari rumah. Bulan masih menggantung di langit yang sama seperti mengawasi diriku, di jalan yang sangat panjang. Mungkin beberapa orang yang melihat menganggapku sebagai pemuda kehilangan arah. 

Aku sendiri punya tujuan.

***

Aku sampai di pemukiman rumah-rumah warga yang berbaris rapi di sepanjang rel stasiun, berbatasan dengan pagar besi. Sebuah masjid kecil berdiri, sudah tua sepertinya atau memang jarang dibersihkan. Cat hijaunya telah mengelupas di sana-sini, lantainya berdebu meskipun karpet hijau di dalam terlihat bersih. Seorang warga menghampiri setelah melihatku duduk di saung yang terletak di dekat masjid.

"Aku mencari bapak masjid" Begitulah, orang-orang setempat memanggil tetua yang menjadi muadzin setiap waktu sebagai bapak masjid. Orang itu segera pergi setelah mengatakan akan memanggil bapak masjid.

Malam itu aku bersandar pada dinding saung, berusaha mengenyahkan sisa-sisa kesadaran. Setidaknya, tidur akan membuat rasa kedinginan dan kelaparanku hilang. Beberapa menit terlewat ketika mataku sudah terpejam, dalam sekejap aku terbangun, telingaku menangkap suara yang jauh, seorang tengah berlari kemari. Entah bagaimana, siluet wajah wanita yang ketakutan muncul di hadapanku, pada tengah jalan malam itu. Ia menatapku lekat-lekat, karena tahu aku telah melihatnya.

Mata beningnya berisyarat memohon, lalu ia berteriak minta tolong. Namun aku hanya bergeming, aku duduk di sana, masih meragukan naluriku sendiri, mungkin gadis itu terlibat dalam masalah dan tanpa sengaja, aku tertangkap melihatnya, ataukah aku harus mengulurkan tangan pada hewan yang terjebak dan berusaha bertahan hidup itu?

Seperkian detik, aku sadar telah berlari mengikuti jejaknya. Mungkinkah wanita itu adalah halusinasiku? Rasanya ia sudah menghilang serupa ditelan asap malam, sampai baru saja aku memelankan langkah, matanya menusukku. Aku melihat wanita itu bersandar pada pagar besi, perbatasan antara wilayah penduduk warga dan rel kereta. Rambutnya semrawutan, beberapa helai rambut jatuh mengitari lehernya, dan beberapa helai rambutnya dihembus angin yang menyusupkan dingin ke kulit.

" Nyaris saja aku tertangkap" Katanya, memecah keheningan yang merebak.

"Tertangkap dari apa?" Mataku awas menatap sekeliling, sunyi yang kudapati seperti gelombang tanda-tanda bahaya. Aku masih menunggu jawabannya ketika asap rokok wanita cantik itu telah membumbung di udara. Abu rokoknya jatuh ke aspal, lalu ia menginjaknya dengan asal. Sedetik, matanya lekat-lekat menatapku, lagi.

"Aku harap kau percaya ceritaku" Katanya tak acuh.

"Aku berlari ke sini untuk apa?" Jawabku sambil ikut menyenderkan badan ke pagar besi.

Ia membalikkan badannya lalu kembali berjalan memunggungiku.

"Apa kau pernah begitu menginginkan sesuatu?" Ia melanjutkan jalan tanpa menghiraukan anggukanku.

"Aku belum pernah meminta suatu apa dalam hidup, namun kuharap Dia memberiku untuk kali ini" Ia terus berjalan dalam kegelapan seperti itu.

"Sebenarnya, apa itu kebebasan?" Tanyanya

"Aku pergi dari tempat yang kuanggap rumah, namun bagiku tidak ada yang namanya rumah dan keluarga"

Suatu kali dia berhenti berjalan, kemudian menungguku sampai berada di sampingnya.

"Rumah hanyalah tempat untuk berkumpulnya orang yang memiliki hubungan darah denganmu, tapi bukan hanya berarti dengan berhubungan atau terikat darah, lantas layak disebut keluarga"

"Menurutku, keluarga, cinta, dan semacamnya hanyalah usaha manusia untuk memaknai diri sendiri, lama-kelamaan seluruh orang malah terikat dengan dalih hubungan semacam itu" Tanpa sadar, aku melampiaskan kesalahan, kekesalan dalam hidupku pada pertanyaan yang diajukan wanita ini.

"Hubungan antar-keluarga yang sangat buruk justru dianggap normal dalam Masyarakat, aku terjebak dalam kepengecutan dan tutup matanya dunia" Ucap wanita itu melanjutkan. Aku menoleh mendengar suara sedingin esnya.

Sebagai orang yang dianggap aib dalam keluarga, aku selalu berusaha untuk tidak menonjolkan diriku. Apa yang dihadapi wanita ini berbeda dari apa yang kuhadapi- apakah dia ingin bebas sesuai kehendaknya sendiri? Atau bebas dari sesuatu?. Meskipun aku terus berlari luntang-lantung, keluargaku tetap akan membiarkanku begitu saja. Sedang wanita ini terhimpit tekanan dan perhatian berlebihan.

Aku dan dia sangat berlawanan, seperti langit dan bumi.

Ketika terus melanjutkan perjalanan tanpa arah, aku menyadari sekelilingku adalah lorong entah-dimana, lumut dan tanaman merambat ke dinding. Mataku tak bisa menangkap apapun selain kegelapan pekat. Tiba-tiba seorang menarikku secara cepat dan tanpa bisa kehentikan, ia membawaku berlari menjauh dari lorong tersebut. 

Bagaimana dengan dirinya?

Di belakangku masih ada wanita itu, aku mencoba menoleh ketika seutas tali tambang menjerat lehernya. Ia tergantung di langit-langit lorong, lehernya patah dan lidahnya terjulur keluar. Aku terus berlari, dan mata serta kepalaku terus menghadap wanita tergantung itu.

Kepalanya miring seperti orang yang sedang berpikir sesuatu, bentuk kakinya menjinjit seperti seorang penari balet. Seluruh-luruhnya aku melihat tubuh wanita itu, tergantung di kegelapan tanpa ada yang menurunkannya. Kenapa tidak ada yang memotong tali itu? Bagaimana kalau patah lehernya semakin parah?

Seorang mengguncang tubuhku perlahan, hingga mataku tak lagi liar menatap ke belakang lagi, fokus mataku telah kembali. Aku diberikan air penenang oleh bapak masjid, bapak yang menawarkanku seminggu lalu sebagai marbot di masjid ini. Keringatku membanjiri tubuh ketika ia mengatakan aku ditemukan pingsan di lorong tak terpakai, bekas rel kereta yang mati.

Wanita yang ketakutan itu?

"Ia lari ketakutan ketika keluarganya akan menikahkannya secara paksa dengan orang tak dikenal" Bapak masjid menerangkan sebuah peristiwa yang disebut sudah terjadi begitu lama, hingga ujung kehidupan  seperti apa yang kulihat hari itu.

Aku memegang leherku yang dingin, kehidupanku yang tak berharga seolah menjadi hal yang begitu penting hingga dapat kurasakan detak jantungku berpacu lebih cepat. Kebebasan yang dimaksud wanita itu ternyata adalah kematian, apa kebebasan itu dapat ia temukan setelah mati? Namun kenapa dia terus berkeliling mencari arti kebebasan setelah mati?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun