Pandemi Belum Berakhir, Inilah Tantangan Pasca COVID 19
Penyakit COVID 19 belum berakhir, masih banyak beberapa bab yang belum terselesaikan. Pucuk pimpinan kesehatan dunia juga menyebutkan bahwa COVID 19 jauh dari kata "berakhir": baca (WHO). Meski secara transparan pandemic nampak pulih, tetapi sejatinya gejolak tantangan terus ada dan harus segera diselesaikan.
Saat COVID 19 resmi menjadi pandemi global, sejak itulah seluruh negara dibuat kalang kabut menghadapi penyakit Corona Virus Disease ini. Salah satu contoh negara India, yang tercatat menjadi rekor tumbal paling banyak dari COVID 19.Â
Tidak hanya negara Pilar Songa Ashoka, beberapa negara baik di Eropa, Asia, dan benua lainya juga mengalami hal yang serupa. Kendati demikian, Pada akhir 2022 ini, kasus COVID 19 lambat laun mengalami pemulihan yang cukup signifikan. Melansir dari Kompas.com (12/08/2022), hampir semua negara di belahan dunia, terkait kasus COVID 19, menunjukkan zona hijau dan sinyal positif.
Meski COVID 19 menggambarkan sinyal positif, dampak COVID 19 dipastikan belum berakhir. Dampak ini mengacu pada pelbagai tantangan setelah pandemi COVID 19.Â
Konsekuensi dari pandemi COVID 19 tidak hanya menang melawan COVID 19, tetapi juga memperhatikan tentang bagaimana upaya menyetel kembali keadaan new normal dan pembiasaan dengan kehidupan baru.Â
Berdasarkan keterangan (WHO), setidaknya kondisi pasca COVID 19 ini memberi beberapa tantangan bagi dunia karena dinilai memiliki imbas pada gangguan emosional, pola kehidupan baru, gaya hidup, dan kecakapan digitalisasi.
Tantangan Pasca Pandemic 19Â
Berbicara mengenai gangguan emosional, COVID 19 secara jelas telah menekan kondisi kejiwaan (mental psychology exhausted) para penderita atau para pemerhati berita. Berbagai berita yang bermunculan kerap bertema negatif.Â
Dari hari ke hari, tema yang diliput selalu identik dengan pembicaraan jumlah kematian, terinfeksi virus, dan kasus varian baru. Akibatnya, banyak orang khawatir, bingung, dan frustasi karena di tv, youtube, koran, dan media elektronik dipenuhi pembicaraan COVID 19 yang dapat "mematikan manusia secara singkat". Seolah-olah COVID 19 divonis sebagai penyakit yang paling top dan berbahaya.
Dari gangguan psychological mental exhausted ini kemudian muncul terminologi kehidupan baru, yakni new normality securitization. Istilah ini secara umum mendefinisikan tentang kehidupan normal yang dibarengi dengan kehati-hatian untuk tidak berkerumunan dan berkontak fisik kepada mantan atau penderita COVID 19.Â
Hal ini jelas melahirkan kesenjangan sosial di antara orang sehat dan pengidap COVID 19. Akhirnya, Orang kemudian mengambil jarak, seperti ada stratifikasi manusia antara "aku yang sehat bugar" dan "kamu yang kurus berpenyakitan".
Kesenjangan itu kemudian menghasilkan gaya hidup yang berbalik 180 derajat dengan sebelum COVID 19 menyapu Indonesia. Pemandangan yang sebelumnya terlihat harmonis dan rukun, saat pandemi atau setelahnya, nampak ada perubahan karakter dan pola kehidupan yang cenderung apatis dan individualis.Â
Gaya hidup apatis menggambarkan secara jelas bahwa orang-orang kemudian acap kali peduli atau belas kasih satu sama lain karena berbagai aturan pandemi COVID 19 yang mendesak untuk bekerja dari rumah, phk besar-besaran, dan kebijakan blur yang mengakibatkan kemerosotan ekonomi besar, perpeloncoan subur, dan kriminalisasi merajalela. Akibatnya, sebagian besar orang enggan melakukan tindakan belas kasih sebab ada beberapa tanggungan yang harus diselesaikan.
Dalam hal individualis, dengan aturan yang ketat terkait ketidakbolehan berkerumunan dan kontak fisik selama pandemi, orang tidak lagi terbiasa bercengkrama, bercanda, dan bersenda gurau saat sebelum COVID 19 menyapu Indonesia.Â
Dipastikan orang-orang memilih ambil jarak dan kemudian mengurung diri di rumah bersama keluarga dan sanak saudara. Artinya hubungan sosialis humanis ini berpotensi runtuh.Â
Harus diakui bahwa sebaik dan sebijak regulasi yang diterapkan oleh pemerintah dalam menghadapi COVID 19 masih terkalahkan dan ini kemudian menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk menyehatkan kondisi dan situasi yang berkelainan ini.
Sementara dalam kecakapan literasi digital, beberapa media seperti The Guardian menyebutkan bahwa digitalisasi adalah tawaran terbaru untuk mengakomodir pola kehidupan setelah pandemi.Â
Kecakapan digitalisasi bakal menjadi pengendali utama dan konsumtif untuk meringankan pekerjaan-pekerjaan di masa serba jarak jauh. Penggabungan alat-alat tradisional dan canggih bakal menjadi titik refleksi bagi pemerintah terkait design terbaru dalam membangun kemajuan bangsa.Â
Sejauh ini, fakta pengembangan digitalisasi telah terbukti pada penggunaan BBM elektronik. Sedangkan di lini lain, pemerintah juga perlu membina dan mengadakan pemberdayaan digitalisasi dalam ruang pendidikan.
Harus ditangani serius
Tantangan pasca pandemi COVID 19 bukan menjadi hal yang menakutkan, justru di situ ada sebuah peluang dan kesempatan untuk membangun kemajuan bangsa secara kolektif. Meski COVID 19 setelahnya membawa dampak masif dalam segi psikologis, pola hidup, gaya hidup, dan kecakapan literasi digital, tetapi sekali lagi itu bukan sesuatu yang sulit.Â
Dampak-dampak ini harus dibuat tantangan dan direspon secara sigap, baik oleh pemerintah dan kesadaran individu. Bahwa perkembangan suatu peradaban tidak hanya dimulai dari gebrakan penyakit, tetapi juga kesadaran akan pembangunan bangsa yang progresif dan maju. Menolak tertinggal.
Setelah saya membaca koran Kompas edisi cetak yang terbit pada (22/08/22), ada hal menarik yang saya temukan dari topik pembicaraan Erik Thohir, Menteri BUMN Indonesia. pemimpin masa kini haru melek dengan pentingnya literasi digital.Â
Pembicaraan itu mendiskusikan terkait pemimpin revolusioner yang harapannya dapat membuat Indonesia maju dengan giat literasi digital.Â
Pemimpin inklusif dan revolusioner setidaknya harus memiliki tiga prinsip ini: pertama, tujuan yang dituju harus jelas. Kedua, selalu mengembangkan kapabilitas. Ketiga, mengembangkan jaringan literasi.
Artinya, pemimpin saat ini harus mampu menjawab dan mengatasi gejolak dari pada dampak COVID 19. Bagaimana menangani gangguan emosional secara kolektif.Â
Membalikkan keadaan new normal dengan sejatinya bahwa COVID 19 harus dilawan dan dimusnahkan sampai ke akar-akarnya. Dan dengan tantangan literasi digital, baik pemerintah dan individu wajib menempatkan kesadaran terkait pentingnya penguasaan literasi digital agar dapat jernih melihat semua tindakan, perbuatan, dan pembaharuan yang dibangun oleh peradaban zaman. Dengan begitu, ketahanan suatu bangsa dalam menghadapi berbagai masalah tidak mudah dilunakkan atau dikendalikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H