Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hidup bersama Orang Bermental Miskin Itu Melelahkan!

4 Januari 2021   19:53 Diperbarui: 5 Januari 2021   18:02 6003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Usman Yousaf on Unsplash

Dalam situasi pandemi COVID-19 ini, contoh yang paling kentara dan pasti dirasakan oleh pembaca adalah mereka suka menyalahkan pemerintah. Saya sebut suka karena memang sudah jadi hobinya.

Mungkin saja, sebagian dari kita juga kesal terhadap kebijakan yang dibuat pemerintah di tengah kondisi pandemi ini. Namun, akan jadi bahaya bila ada yang terus-terusan menyalahkan, enggan percaya dengan adanya virus corona dan justru membahayakan orang lain.

2. Kaya teori, miskin aksi

Masih berkaitan dengan ciri yang pertama, ciri yang kedua adalah mereka jago dalam berteori atau berargumen, tapi minim praktik. Kata peribahasa, "tong kosong nyaring bunyinya".   

Dalam lingkup tempat kerja dan organisasi, orang dengan ciri seperti ini biasanya punya ide brilian, pandai berorasi, tapi hanya sebatas omong kosong. Dengan mudahnya menyuruh orang lain untuk begini begitu, tapi dia sendiri tidak melakukannya atau bahkan melanggar omongannya sendiri.

Dalam situasi pandemi COVID-19, orang yang percaya corona adalah konspirasi semata bisa jadi contohnya. Corona itu fiktif, buatan antek-antek asing dan aseng. Masker, apd, tes swab dan rapid, hingga vaksin hanyalah alat bisnis untuk memperkaya industri farmasi dunia.  

Itu adalah contohnya dan bila mereka diminta untuk membuktikan omongannya, hmm pasti belepotan. Kadang, teorinya tidak masuk akal dan justru mencelakakan dirinya dan orang sekitarnya.

3. Suka mengharap bantuan

Saya tak mau Anda jadi bersuudzon terhadap saya dengan ciri orang bermental miskin yang ketiga ini. Namun, orang seperti ini memang ada, banyak dan tak jarang bikin repot.

Ada dua penyebab yang membuat orang memohon bantuan kepada orang lain. Pertama, kondisi ekonominya. Bisa karena kondisi keuangannya yang memang benar-benar kekurangan atau sedang terpuruk karena terkena musibah.

Nah, mereka yang kurang karena kondisi ekonominya, tentu wajar meminta pertolongan. Namun, apa jadinya kalau suka meminta bantuan bukan karena memang "miskin", tapi karena mentalnya. Ini yang perlu dihindari.

Bapak saya kebetulan seorang ketua RW dan beliau ikut jadi pengurus satgas jogo tonggo. Satgas jogo tonggo mendata dan membagikan bantuan kepada masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19 secara adil dan merata sesuai dengan dana yang dimiliki.

Namun, ada saja warga yang berisik. Pak RT pernah sowan ke rumah kami, beliau bercerita kalau ada warga yang mengirim pesan singkat kepadanya dengan nada yang kurang mengenakkan, menyalahkan ketua RT, tapi intinya minta bantuan karena merasa dirinya butuh dibantu. Siapa saja yang dalam kondisi ini tentu merasa tidak nyaman dan hilang rasa ibanya.

Dalam situasi kehidupan yang lebih luas, ciri-cirinya bisa terlihat dalam diri orang yang tidak bisa hidup mandiri. Jika ada masalah memilih menghindar dan kembali ke ciri mental miskin yang pertama, menyalahkan orang lain yang tidak membantunya.

Contoh ekstremnya, ada loh orang yang malas bekerja, tapi ingin kaya. Nah, untuk mencapai kekayaan tersebut, dia mengandalkan warisan dan mengincar harta gono-gini orang lain. Naudzubillah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun