Mengutip kata yang selalu terucap oleh Demian Aditya di akhir aksi sulapnya, Sempurna! Begitulah akhir perjalanan magis Bayern Munich musim ini yang ditutup dengan trofi Liga Champions keenamnya.
Dinihari tadi WIB, Bayern Munich sukses memenangkan laga final Liga Champions 2020 kontra PSG. Laga yang dihelat di Estadio Da Luz, Lisbon, Portugal itu dimenangkan Die Roten atas Les Parisiens dengan skor tipis 1-0.
Gol tunggal Kingsley Coman di menit ke-59 menjadi pembeda di laga tersebut. Coman melesatkan gol sundulan kepala setelah menerima umpan membelah lautan dari Joshua Kimmich. Gol dari mantan pemain PSG itu tak mampu dibalas Neymar cs hingga wasit meniup peluit akhir di menit ke-90+5'.
Bayern Munich pun berpesta seusai laga, sementara PSG tertunduk lesu mendapati perjuangannya di Liga Champions berakhir tanpa trofi. Beruntung, tak ada penonton yang hadir, bila ada mungkin PSG akan makin kesakitan.
Siapa bikin kesalahan, dia yang kalah
Laga final Liga Champions ini merupakan laga final ideal. Baik Bayern dan PSG merupakan tim paling produktif di Liga Champions 2020. Keduanya juga punya ambisi menyapu bersih trofi yang bisa mereka raih di musim ini.
PSG tengah mengincar quadruple setelah lebih dulu mendapat trofi Ligue 1, Coupe de France, dan Coupe de la Ligue. Sementara Bayern mengincar treble winners keduanya setelah musim 2012/2013. Bayern yang sudah memenangi semua gelar domestik (Bundesliga dan DFB-Pokal) akan mengakhiri musim dengan sempurna bila mendapat trofi Liga Champions.
Seperti yang diprediksi, kedua pelatih tidak banyak melakukan pergantian dalam Starting XI-nya, cukup berisiko bila melakukannya. Thomas Tuchel masih megandalkan formasi 4-3-3 dengan trio Neymar-Mbappe-Di Maria. Begitu pula dengan Hansi Flick, Ia mempertahankan formasi andalan 4-2-3-1, bedanya posisi sayap kiri yang biasa diisi Perisic diisi oleh Coman.
Seperti yang diprediksi juga, laga dua tim bertipe menyerang ini berlangsung seru dan terjadi jual beli serangan. Bayern tetap memperagakan possesion based football, tebukti dengan penguasaan bola mereka yang mencapai 63%. Sementara PSG lebih mengandalkan serangan balik. Sebuah strategi yang sebetulnya tepat untuk menghadapi Bayern yang super menyerang dengan banyak pemain.
Formasi Bayern sering berubah dari 4-2-3-1 menjadi 3-2-3-2 ketika build-up serangan. Sementara Tuchel menginstruksikan anak asuhnya mengubah formasi 4-3-3 menjadi 4-4-2 dengan Mbappe yang turun ke lini tengah menyisakan Neymar dan Di Maria di depan.Â
Di babak pertama, dengan skema demikian, PSG mampu membuat 2 peluang emas memanfaatkan kecepatan trio penyerang mereka. Sayangnya, 2 peluang Neymar ketika berhadapan satu lawan satu dengan Neuer berhasil dihalau kiper 34 tahun itu. Begitu pula peluang Di Maria di menit ke-23 yang melambung jauh di atas mistar gawang.
Sementara serangan Bayern berhasil diredam organisasi pertahanan PSG yang dikomandoi Thiago Silva. PSG memaksa Bayern bermain di sisi kanan pertahanan mereka alias mengeksploitasi sisi kiri Bayern yang dihuni Coman dan Davies. Taktik ini sebetulnya jitu, bila eksekusinya bagus.
Coman dan Davies sering naik begitu jauh, sehingga ada ruang kosong yang ditinggalkan di pos sayap kiri. Sayangnya, jarak bek kanan PSG, Thilo Kehrer dan sayap kanan PSG, Di Maria begitu jauh, serangan balik pun tak efektif. Pertanyaannya, organisasi pertahanan PSG memang berhasil, tapi sampai kapan?
Sadar akan hal itu, Hansi menginstruksikan anak asuhnya untuk sedikit memperlambat tempo cepatnya di babak kedua. Bayern juga mengubah titik serangnya. Di babak kedua, giliran Gnabry dan Kimmich yang mengeksploitasi sisi kiri pertahanan PSG. Clever! Begitulah komentator pertandingan mengomentari perubahan pola serangan Bayern.
Berawal dari gerakan Kimmich yang overlap, pemain timnas Jerman tersebut mengirim umpan membelah lautan ke tiang jauh. Tanpa diduga bek PSG, ada Coman yang lolos dari kawalan Kehrer. Umpan crossing nan indah itu tentu tak sulit diselesaikan Coman untuk membobol gawang Keylor Navas, 1-0.
Setelah gol itu, Bayern bermain lebih bersabar bahkan sedikit tricky. Gnabry dua kali memancing emosi pemain PSG dengan melanggar Neymar. Bayern yang sadar pertahanan PSG masih sulit ditembus memilih bermain rapi menguasai bola.
Hasilnya? Pemain PSG cepat lelah. Inilah kesalahan mereka. Les Parisiens terlalu meladeni permainan Bayern. Sebetulnya cara bertahan mereka bagus, serangan baliknya juga beberapa kali berhasil.
Namun, pada gol Coman kita bisa melihat kesalahan kecil itu. Selain Kehrer yang melepas marking kepada Coman, zonal marking lini tengah PSG gagal terlaksana. Seharusnya, ada yang menjaga Kimmich sebelum melepas umpan, sayangnya baik Herrera dan Paredes terkecoh dengan banyaknya pemain Bayern yang sudah on position di kotak penalti.
Thomas Thucel juga terlambat menggunakan kesempatan pergantian pemain. Tuchel baru memasukkan 3 pemain pengganti di menit ke-72 dan 79, Draxler, Moting, dan Kurzawa masuk menggantikan Herrera, Di Maria, dan Bernat yang dibuat lelah oleh Gnabry, Coman, dan Kimmich.
Padahal, Gnabry dan Coman sudah lebih dulu ditarik di menit ke-68 oleh Hansi Flick dengan Perisic dan Coutinho. Pergantian terlambat ini membuat stamina pemain PSG sudah kalah duluan dengan Bayern. Bagaimana tidak, pemain-pemain Bayern punya kecepatan di atas rata-rata yang bisa membuat setiap lawan yang menjaganya terkuras energinya.
Di babak kedua ini, kapten sekaligus kiper Bayern, Manuel Neuer juga kembali membuat save penting. Tercatat sepanjang laga, Neuer membuat 3 penyelamatan krusial. Hingga akhir laga, tak ada gol lagi yang tercipta, PSG pasca kebobolan sudah seperti dikunci oleh para pemain Bayern. Bayern Munich pun juara!
Tersenyum di akhir laga, Bayern Munich dan Hansi Flick cetak rekor!
Ini merupakan gelar Liga Champions keenam Bayern Munich sepanjang sejarah. Trofi ini juga membuat Die Roten mengulang raihan treble winners di musim 2012/2013. Tapi, capaian musim ini terasa lebih spesial.
Capaian klub juga diikuti penghargaan pemainnya, yaitu Robert Lewandowski yang berhasil meraih predikat topskor kompetisi. Lewy mencetak 15 gol di Liga Champions 2020 setelah sebelumnya sudah meraih predikat topskor di Bundesliga dan DFB-Pokal.
Tak cuma itu, Hansi Flick juga mencetak catatan brilian. Hansi Flick yang baru ditunjuk menjadi pelatih kepala di bulan November lalu berhasil meraih 3 gelar di akhir musim. Bayangkan, Hansi menggantikan bosnya, Niko Kovac ketika Bayern sedang berada di posisi 4 klasemen Bundesliga dan baru saja kalah 5-1 atas Frankfurt.
36 pertandingan berikutnya, Hansi berhasil membawa Bayern mengakhiri musim sebagai juara Bundesliga, memenangi DFB-Pokal, dan puncaknya meraih trofi Liga Champions untuk melengkapi treble winners. Hansi meraih 33 kemenangan, 1 imbang, dan 2 kalah selama perjalanannya membawa Bayern meraih treble. Sempurna!
Hansi sebetulnya tak terlalu mengubah pakem permainan Bayern. Ia hanya sedikit memberi sentuhan ilmu yang Ia dapat selama dirinya menjadi asisten pelatih top dunia. Bayangkan, selama 13 tahun karier kepelatihannya, Ia tercatat pernah menjadi asisten Giovanni Trapattoni, Joachim Low, dan Niko Kovac.
Pengalaman itulah yang membuatnya mampu melampaui capaian mantan bosnya. Kita juga perlu belajar dari Hansi. Jika Anda perhatikan, Hansi sangatlah dingin ketika timnya berhasil mencetak gol, tidak seperti Simeone atau Klopp misalnya yang kegirangan setelah timnya membuat gol.
Hansi baru tersenyum lega dan melepas tawanya ketika laga usai, ketika timnya menjadi juara. Inilah mental juara, dan mental inilah yang diturunkan kepada anak asuhnya. Kita bisa melihat semangat Thiago, Ia menampilkan kerja keras yang begitu luar biasa ketika di lapangan. Setelah Ia ditarik keluar, Thiago tetap memberi semangat kepada timnya dari bangku cadangan dan meminta rekan-rekannya untuk tetap fokus.
Sepertinya perbedaan inilah yang jadi jurang pembeda antara Bayern Munich dan PSG. Sebuah jurang pembeda antara pemenang dan pecundang. Laga ini juga jadi bukti magisnya sentuhan Hansi Flick bersama Bayern Munich.
Bila boleh dibandingkan, Hansi Flick bagaikan seorang magician yang tengah menunjukkan trik sulap ajaibnya. Selama pertunjukannya, penonton selalu dibuat kagum oleh aksi-aksinya. Akan tetapi, penonton baru dibuatnya bertepuk tangan sembari berdiri ketika Ia menunjukkan trik pamungkasnya di akhir pertunjukan.
Sempurna! Itulah akhir kisah magis Hansi musim ini yang diakhiri gelar Liga Champions 2020. Bayangkan, Ia mengubah Bayern yang nyaris dibuat babak belur oleh Kovac menjadi tim juara yang meraih treble winners. Belum ada manusia manapun yang mampu melakukan itu selain Hansi Flick.
Danke Hansi!
Selamat untuk Bayern Munich.
Sekian.
@irfanpras   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H