Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Isu Moral dan Finansial di Balik "Restart" Premier League

17 Juni 2020   14:48 Diperbarui: 18 Juni 2020   23:05 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pihak klub juga harus mengembalikan uang tiket kepada suporternya yang telah membeli tiket jauh-jauh hari. Selain uang tiket, uang dari hak siar juga tak bisa didapat 100%. Pemegang hak siar juga merugi dalam hal ini akibat tidak adanya animo penonton di stadion sehingga mengurangi keriuhan pertandingan itu sendiri.

Sebuah perusahaan finansial, Deloitte memprediksi bahwa klub-klub Premier League akan merugi secara kolektif hingga 1 miliar poundsterling atau sekitar 17 triliun rupiah. Riset Deloitte ini baru didasarkan pada total pendapatan klub Premier League yang turun dibanding musim lalu akibat pandemi Covid-19.

Selain tak dapat pemasukan dari tiket pertandingan, klub Premier League juga tak dapat pemasukan dari bayaran pertandingan (match fee), dan uang hak siar. Bahkan klub harus membayar ganti rugi kepada pemegang hak siar, ini yang jadi sebab pemasukan dari hak siar tak bisa 100%.

Riset menarik juga dilakukan sebuah lembaga analisis finansial Inggris, Vysyble. Vysyble melaporkan bahwa klub-klub Premier League bahkan sudah merugi sejak musim lalu. Adanya Covid-19 ini hanyalah mempercepat kerugian yang merupakan bagian dari masalah jangka panjang klub-klub Premier League.

Masuk akal, sebab selama ini kontestan Premier League sangat bergantung pada pemasukan dari hak siar. Apesnya mereka malah harus membayar kompenasi ke pemegang hak siar musim ini. Mengutip dari The Independent, klub harus membayar kompensasi dengan jumlah yang diperkirakan mencapai 35 juta poundsterling tiap pekan setelah 26 Juli nanti.

Intinya, klub akan rugi jika menolak tanding lagi. Ini yang menjadi dilema. Jika tak ada pemasukan karena musim yang tak selesai otomatis klub tak bisa membayar biaya gaji pemainnya sendiri.

Inggris ini anomali dibanding liga top eropa lainnya. Selain penolakan liga dan mogok latihan, dikabarkan awalnya para pemain menolak pemotongan gaji dari pihak klub. Yang pasti klub justru memotong gaji staffnya dan merumahkan sebagian karyawan sebelum memotong gaji pemainnya sendiri.

Dalam sepak bola modern, sebuah klub sepak bola sejatinya beroperasi selayaknya perusahaan. Mana ada perusahaan yang mau menggaji karyawannya yang tidak bekerja. Begitulah perumpamaan konsekuensi pemain Premier League yang menolak atau bahkan mogok main, denda sudah menanti.

Maka tak ada kata lain selain kembali ke lapangan hijau apapun kondisinya bukan? Baru-baru ini, bek Aston Villa Tyrone Mings mengungkapkan hal yang cukup mengejutkan. Ia menilai liga sangat kapitalis dan para pemain hanyalah "komoditas" dibalik "Restart" Premier League yang dasarnya hanyalah uang.

"Motifnya mungkin 100% didorong oleh faktor finansial ketimbang integritas. Saya sepakat untuk bermain lagi karena kami tidak punya pilihan lain. Sebagai pemain, kami adalah orang terakhir yang dikonsultasikan soal "Project Restart" dan itu karena posisi kami dalam urutan prioritas sepakbola. Itu bukan masalah. Kami adalah komoditas dalam permainan ini dan kami menerimanya.", kata Mings kepada Daily Mail dikutip dari artikel Goal.com yang tayang 31 Mei.

Ujung-ujungnya Tanding Juga

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun