Keterangan yang mirip juga disampaikan salah satu narasumber ROSI, dr. Widya Murni. Dimana dalam pemaparannya, ia berpendapat bahwasanya tanaman ganja memiliki manfaat yang baik yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan medis.Â
Senada dengan dr. Widya, narasumber lain dr. Ryu Hasan juga memiliki pendapat serupa. Ia bertutur bahwa cannabis dalam hal ini termasuk ganja sebagai bahan obat memiliki potensi manfaat sesuai dengan penggunaan dan pemanfaatannya dalam dunia medis.
Sayangnya, seperti yang dipaparkan para narasumber, pembuktian ganja sebagai obat untuk berbagai penyakit seperti kanker, diabetes, ataupun kencing manis seperti yang dimitoskan, belum terbukti di Indonesia.Â
Bagaimana dengan kasus istri Fidelis yang justru membaik setelah mengkonsumsi ekstrak ganja? Sayangnya keterangan pasien atau testimoni pasien tidak bisa dijadikan sebagai Evidence based medicine (EBM). Evidence based medicine (EBM) sendiri yaitu suatu pendekatan medis berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita.Â
Artinya, misal ada keterangan pasien kanker yang merasa sembuh setelah mengkonsumsi ganja tidak bisa dijadikan bukti ilmiah untuk mengatakan ganja bisa menjadi obat kanker.
Tetapi, ada satu fakta medis menarik yang didapatkan dari acara ROSI Kamis malam itu. Ganja yang telah dimasukkan dalam Narkotika Golongan I itu tidak terbukti menimbulkan kecanduan.Â
Tidak ada laporan medis satupun yang menyatakan ganja menimbulkan kecanduan pemakainya. Keterangan yang dipaparkan dr. Ryu dan dr. Widya itu tentu bertentangan dengan keterangan dari Arman Depari, Deputi Bidang Pemberantasan BNN dan Jefri Tambayong, Ketua Forum Ormas Anti Narkoba, dimana keduanya kompak menganggap ganja adalah bagian dari narkotika haram yang menimbulkan efek kecanduan.
Diskusi mengenai Ganja: Mitos dan Fakta di acara ROSI itu makin menarik dengan paparan opini dari Dhira Narayana, ketua Linkar Ganja Nusantara (LGN). Dhira berpendapat bahwa ganja harusnya dilegalkan di Indonesia.Â
Namun pelegalan ganja yang ia maksud adalah untuk dimanfaatkan potensinya terutama di bidang medis. Ia pun juga memaparkan beberapa fakta menarik soal ganja yang telah lama ada dimanfaatkan orang Indonesia untuk obat hingga makanan namun menjadi suatu hal yang haram sejak pemerintah Indonesia meratifikasi hasil Konvensi Tunggal Narkotika PBB tahun 1961.
Dari hasil diskusi seru Kamis malam itu, intinya sebetulnya satu. Bukan soal halal dan haramnya ganja, namun kurangnya bukti ilmiah dan literatur terkait di Indonesia yang memuat informasi ilmiah mengenai ganja atau cannabis. Kebanyakan kajian dan literatur mengenai pemanfaatan ganja untuk keperluan medis selalu berasal dari luar Indonesia dan dokumen-dokumen lampau yang pembuktian secara ilmiahnya lemah.
Nah, kurangnya pembuktian ilmiah dan studi atau penelitian ganja/cannabis secara mendalam di Indonesia itulah yang menimbulkan perdebatan soal halal-haram ganja, baik-buruk ganja, hingga ganja sebagai obat untuk berbagai keluhan penyakit.Â