Mohon tunggu...
IrfanPras
IrfanPras Mohon Tunggu... Freelancer - Narablog

Dilarang memuat ulang artikel untuk komersial. Memuat ulang artikel untuk kebutuhan Fair Use diperbolehkan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mau Ekspor Ganja? Kenali Dulu Fakta dan Mitosnya!

8 Februari 2020   08:33 Diperbarui: 8 Februari 2020   09:03 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daun tanaman ganja yang kini banyak diperdebatkan fakta dan mitosnya. (sumber foto: lifestyle.kompas.com/ iStockphoto)

Baru-baru ini muncul usulan untuk ekspor ganja. Usulan ini pertama keluar dari mulut anggota Komis 6 DPR RI dari Fraksi PKS, Rafly Kande. Tak disangka, wacana iseng tersebut sekarang menjadi perbincangan hangat yang mengarah ke polemik.

Lantas, apakah bisa ganja yag dilarang di Indonesia itu menjadi komoditas ekspor yang menguntungkan bagi Indonesia?

Sayangnya, tanaman ganja atau secara ilmiah dikenal dengan sebutan cannabis dilarang peredarannya di Indonesia. Bukan hanya dilarang beredar saja, namun apabila diketahui ada ladang ganja, pasti akan dibumi hanguskan oleh aparat. Apa dasar dilarangnya tanaman ganja di Indonesia?

Adalah UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang menjadi dasar kuat pelarangan tanaman ganja. Tanaman ganja seperti diatur dalam UU termasuk kedalam Narkotika Golongan I, dimana semua narkotika golongan itu sangat diawasi. 

Tak tanggung-tanggung, siapa saja yang kedapatan menyediakan, menanam, menguasai Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman akan dikenai pidana sesuai Pasal 111 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ya, kurang lebih seperti itulah, penulis sendiri tak terlalu ahli soal hukum.

Nah, atas dasar itulah wacana ekspor ganja untuk kepentingan bisnis yang diutarakan Rafly Kande menjadi kandas sebelum dicoba. Lha wong ganja saja ilegal di Indonesia bukan? 

Tapi wacana dari anggota DPR itu kini membuka diskusi menarik soal legalisasi ganja di Indonesia terutama untuk keperluan medis. Seperti yang terjadi dalam acara ROSI di KOMPASTV dengan tema, Ganja: Mitos dan Fakta (6/2/2020) yang dipandu oleh Rosiana Silalahi.  

Sesuai dengan mitosnya, ganja dapat menjadi obat yang mampu menyembuhkan berbagai penyakit. Seperti yang pernah viral tahun 2017 lalu tentang seorang suami yang mengobati sakit istrinya dengan ekstrak ganja. 

Fidelis, warga Kabupaten Sanggau harus mendekam selama 8 bulan di penjara setelah divonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sanggau, Kalimantan Barat, karena terbukti bersalah dalam kepemilikan 39 batang ganja yang dipergunakan Fidelis untuk mengobati istrinya, Yeni Riawati, yang menderita penyakit langka Syringomyelia.

Ironisnya, sang istri meninggal tepat 32 hari setelah suaminya ditahan. Dimana sejak saat itulah asupan ekstrak ganja yang menjadi satu-satunya harapan obat bagi kesembuhannya tidak ia konsumsi lagi. 

Kasus ini sempat memunculkan wacana pelegalan ganja untuk keperluan medis. Namun, hal tersebut juga tak terjadi bukan hingga saat ini, dan ganja sebagai obat kanker atau diabetes hingga kencing manis juga masih sebatas "katanya".

Keterangan yang mirip juga disampaikan salah satu narasumber ROSI, dr. Widya Murni. Dimana dalam pemaparannya, ia berpendapat bahwasanya tanaman ganja memiliki manfaat yang baik yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan medis. 

Senada dengan dr. Widya, narasumber lain dr. Ryu Hasan juga memiliki pendapat serupa. Ia bertutur bahwa cannabis dalam hal ini termasuk ganja sebagai bahan obat memiliki potensi manfaat sesuai dengan penggunaan dan pemanfaatannya dalam dunia medis.

Sayangnya, seperti yang dipaparkan para narasumber, pembuktian ganja sebagai obat untuk berbagai penyakit seperti kanker, diabetes, ataupun kencing manis seperti yang dimitoskan, belum terbukti di Indonesia. 

Bagaimana dengan kasus istri Fidelis yang justru membaik setelah mengkonsumsi ekstrak ganja? Sayangnya keterangan pasien atau testimoni pasien tidak bisa dijadikan sebagai Evidence based medicine (EBM). Evidence based medicine (EBM) sendiri yaitu suatu pendekatan medis berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. 

Artinya, misal ada keterangan pasien kanker yang merasa sembuh setelah mengkonsumsi ganja tidak bisa dijadikan bukti ilmiah untuk mengatakan ganja bisa menjadi obat kanker.

Tetapi, ada satu fakta medis menarik yang didapatkan dari acara ROSI Kamis malam itu. Ganja yang telah dimasukkan dalam Narkotika Golongan I itu tidak terbukti menimbulkan kecanduan. 

Tidak ada laporan medis satupun yang menyatakan ganja menimbulkan kecanduan pemakainya. Keterangan yang dipaparkan dr. Ryu dan dr. Widya itu tentu bertentangan dengan keterangan dari Arman Depari, Deputi Bidang Pemberantasan BNN dan Jefri Tambayong, Ketua Forum Ormas Anti Narkoba, dimana keduanya kompak menganggap ganja adalah bagian dari narkotika haram yang menimbulkan efek kecanduan.

Diskusi mengenai Ganja: Mitos dan Fakta di acara ROSI itu makin menarik dengan paparan opini dari Dhira Narayana, ketua Linkar Ganja Nusantara (LGN). Dhira berpendapat bahwa ganja harusnya dilegalkan di Indonesia. 

Namun pelegalan ganja yang ia maksud adalah untuk dimanfaatkan potensinya terutama di bidang medis. Ia pun juga memaparkan beberapa fakta menarik soal ganja yang telah lama ada dimanfaatkan orang Indonesia untuk obat hingga makanan namun menjadi suatu hal yang haram sejak pemerintah Indonesia meratifikasi hasil Konvensi Tunggal Narkotika PBB tahun 1961.

Dari hasil diskusi seru Kamis malam itu, intinya sebetulnya satu. Bukan soal halal dan haramnya ganja, namun kurangnya bukti ilmiah dan literatur terkait di Indonesia yang memuat informasi ilmiah mengenai ganja atau cannabis. Kebanyakan kajian dan literatur mengenai pemanfaatan ganja untuk keperluan medis selalu berasal dari luar Indonesia dan dokumen-dokumen lampau yang pembuktian secara ilmiahnya lemah.

Nah, kurangnya pembuktian ilmiah dan studi atau penelitian ganja/cannabis secara mendalam di Indonesia itulah yang menimbulkan perdebatan soal halal-haram ganja, baik-buruk ganja, hingga ganja sebagai obat untuk berbagai keluhan penyakit. 

Jadi, daripada mewacanakan ekspor ganja demi urusan bisnis yang belum jelas dasar dan alasannya, lebih baik melakukan studi dan penelitian mengenai ganja ini. 

Nyatanya, Indonesia belum punya bukti kuat yang menyatakan ganja sebagai narkotika berbahaya maupun ganja sebagai obat untuk keperluan medis. Alangkah baiknya penelitian mengenai ganja alias cannabis alias marijuana inilah yang perlu diwacanakan untuk dikaji lebih dalam sehingga tak ada lagi perdebatan tanpa henti soal mitos dan fakta ganja.

Jadi apabila terbukti secara ilmiah melalui penelitian bahwa ganja punya potensi untuk dimanfaatkan sebagai kubutuhan medis maka legalkan saja ganja untuk keperluan medis. 

Namun apabila ganja memang terbukti secara ilmiah dan medis berbahaya bagaimanapun dosis dan pemakaiannya, ya sudah lanjutkan saja pemberantasan ganja yang telah rutin terlaksana.

Dalam hal ini perlu adanya kerjasama dari pihak terkait soal penelitian tanaman ganja secara mendalam. BNN, Kemenkes, dan pihak tertentu seperti LGN perlu bekerja sama melakukan penelitian tentang ganja. 

Pemerintah harus open minded, jangan sampai penelitian ganja dipersulit aturan, kalau memang ragu akan disalahgunakan ya awasi saja pihak-pihak yang menelitinya. Jangan sampai seperti kasus yang diungkap Dhira, dimana ia dan kawan-kawannya di LGN kesulitan melakukan penelitian ilmiah soal ganja karena sulitnya izin dan ribetnya prosedur yang harus dilalui. 

Padahal dalam UUN No.35 tahun 2009 tentang Narkotika sudah jelas bahwa ganja dilarang digunakan untuk keperluan apapun kecuali untuk ilmu pengetahun dan teknologi. 

Kalau pemerintah hanya berpegang teguh pada hasil Konvensi Tunggal PBB tahun 1961 sebagai dasar pelarangan ganja untuk keperluan apapun rasanya sungguh naif. 

Karena sudah banyak negara anggota PBB yang ternyata melegalkan ganja di negaranya. Malaysia saja sekarang sedang mengkaji ganja untuk keperluan medis dan kabarnya mereka saja sampai meminta bantuan beberapa pihak dari Indonesia seperti LGN.

Penulis sendiri sependapat dengan pernyataan Prof. Komarudin Hidayat yang juga hadir menjadi narasumber di acara ROSI, Ganja: Mitos dan Fakta. Prof. Komarudin menyatakan bahwa setiap ciptaan Tuhan pasti ada maksud dan manfaatnya. 

Sebagai orang yang beriman, saya pun mengakuinya. Tidak mungkin Tuhan salah mencipta dan menciptakan sesuatu sia-sia tanpa ada hikmah serta manfaat di dalamnya.

Pada akhirnya, kita semua pasti setuju penyalahgunaan ganja harus diberantas. Tak ada pihak manapun yang senang dengan penyalahgunaan ganja sebagai narkotika kecuali bandar yang hanya memikirkan uang tanpa melihat konsekuensi buruknya. Tapi, kita juga harus sepakat membuka diri untuk meneliti tanaman ganja sehingga di dapat bukti-bukti terkait ganja yang selama ini kita perdebatkan. 

Nah, setelah itu barulah mengkaji apakah benar ganja merupakan Narkotika Golongan I yang sangat berbahaya? Setelah itu, baru mengkaji ganja sebagai komoditas ekspor. Jangan tiba-tiba melontarkan wacana dengan menghilangkan langkah ilmiah yang perlu dikaji terlebih dahulu.

Sekian. Salam Hangat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun