Guratan Resah pada Senja
(Oleh Irfan HT)
Entahlah resah itu hadir karena senja atau memang senja yang mengguratkan resah. Yang pasti aku mencoba menikmati guratan itu menjelang malam tiba.
“Paket…”
“Iya, sebentar ya,” aku berlari sambil membetulkan kerudungku.
Pesanan yang sudah lama ditunggu sudah di depan mata. Pelan-pelan kubuka kardus dan keluarlah sebuah boneka jalanan.
“Sofia, gak kuliah?" tegur ibu dari belakang.
“Iya Bu, nih uda mau berangkat.”
Tangan lembutnya menyentuh rambutku yang lurus sebahu. Dielus sambil dipeluk tubuhku dengan kuat.
"Ibu ada apa?"
Dia menyeka air matanya.
“Kamu sudah yakin dengan perjodohan itu?”
“Yang penting ibu juga bahagia,” jawabku tersenyum sambil menyentuh kedua pipinya dengan kedua telapak tanganku.
Ibu hanya mengangguk. Dilepaskannya dekapan. “Berangkatlah, Nak. Hati-hati ya.”
Kotak berisi boneka sudah kurapikan dan kuikat di atas jok motor matik. Sesekali aku melirik mata ibu yang masih sembab.
"Da, Ibu...."
Sepanjang jalanan, macet. Aku teringat akan Mas Pram, tunanganku. Aku sebenarnya tidak mencintainya. Tapi karena ayah dulu berhutang pada ayahnya, aku menjadi syarat. Ya, calon istri bagi anaknya. Tidak apa-apalah, kan ayahnya juga teman dekat ayahku. Banyak juga kok orang dijodohkan dan hidup bahagia.
Di satu titik lampu merah kulihat sebuah boneka jalanan sedang berjoget. Aku ikut senyum-senyum sendiri merasa terhibur.
“Woi, minggir ! jalan jadi macet! Teriak salah satu pengendara ojek online di depanku.
Boneka Upin persis dalam serial anak-anak kulihat masih mencoba menghibur si pengendara ojek. Dia menyodorkan kardus air mineral yang kosong untuk menampung sumbangan. Apes, kardus itu ditepis dan uang receh pun berhamburan. Boneka jalanan memungut satu per satu uang yang berceceran. Saat lampu hijau, semua malah berjalan pergi meninggalkannya.
Kupinggirkan sepeda motor ke samping trotoar. Uang receh pun kukumpulkan.
“Gak usah, Mbak, biar saya saja,” suara dari balik boneka Upin terdengar sayu. Ternyata ada seorang pria di dalamnya.
“Gak papa, Mas.”
Setelah terkumpul, aku memasukkan uang receh dan logam ke dalam kardus air mineral yang diletakkan di atas trotoar. Kukeluarkan sebotol air mineral dari tas dan menyodorkannya pada pria yang aku belum tahu siapa di dalamnya.
“Boleh kenalan?”
“Terima kasih,” ucapnya dan langsung pergi tanpa mau terima tawaranku.
Aku tak sempat berkenalan padahal ingin lebih lama wawancara perihal kesehariannya.
Sesampai di kampus, kawan-kawan sudah lama menunggu dengan wajah merungut.
“Ok, ok, gue minta maaf karena terlambat. Sudah lengkap? Yuk kita ke lokasi sekarang!” ucapku meredakan kesal mereka.
Kami adalah sekelompok mahasiswa yang sedang mengadakan penelitian terkait keberadaan boneka-boneka jalanan dan ingin melihat respon masyarakat terhadap mereka.
Rombongan motor berjalan menuju taman kota berjarak 5 km dari kampus.
“Ok ya, Reno dan Putri di di simpang sana, dan Dori bareng ma gue di sini!” tegasku mengarahkan tim.
Semua bergegas memakai kostum boneka yang sudah dibawa masing-masing.
Satu jam lamanya beratraksi di jalanan membuat badanku pegal. Belum lagi, Dori teman lelakiku yang cerewet sibuk mengeluh karena beratnya boneka yang dipakai. Memang panas terik menghujam tembus ke dalam kepala boneka.
Aku duduk di bawah pohon palem pinggir trotoar. Kuteguk air dari botol yang kubawa dari rumah. Saat melirik ke kanan, mataku terarah pada boneka di pojok belakang taman. “Bukankah itu boneka Upin yang kutemui tadi pagi?” Aku bergegas ke sana. Masih menggunakan boneka, aku berlari menghampirinya. Karena buru-buru kakiku terpeleset dan jatuh berguling di taman. Untung saja aku jatuh di atas rerumputan.
“Mari saya bantu,” sodor lelaki itu.
Aku menepis tangannya karena merasa mampu sendiri.
“Kenalin, aku Upin” ucapnya sambil tertawa kecil.
Aku pun ikut tertawa.
Tak sempat bercerita banyak, boneka Upin melihat ke langit. Matahari tepat di atas kepala kami. Dia tanpa basa-basi pergi meninggalkanku.
“Benar-benar aneh tuh orang,” ujarku dalam hati.
Aku pamit duluan dari kawan-kawan. Penasaran dengan boneka Upin, kuikuti dia pergi untuk tahu apa yang dikerjakannya siang hari. Ini bisa jadi data buat tugas skripsiku.
15 menit berjalan kaki, boneka Upin tak mau melepas kostum yang dipakainya. Dia masuk ke sebuah pelataran panti jompo. Aku terus mengikuti dari belakang.
Kuintip dari beberapa tanaman bonsai di belakang panti, boneka itu beraksi lucu menghibur para lansia. Aura ceria terpancar dari wajah mereka yang berkumpul di halaman itu. Aku juga melihatnya merogoh kantong dan memberikan uang pada petugas panti.
“Luar biasa, siapa dia sebenarnya?” Aku makin penasaran.
Hujan rintik turun. Aku bergegas menuju motor dan kembali ke rumah.
***
Sudah 5 hari kami terjun ke lokasi pengambilan data. Aku belum pernah melihat boneka Upin itu lagi, baik di simpang lampu merah dekat rumah atau pun di taman kota.
“Dori, lu pernah liat boneka Upin yang biasanya di pojokan sana?” tanyaku sambil menunjuk.
Dori menggelengkan kepala.
Sepulang dari taman kusempatkan singgah ke panti jompo. “Mungkin lelaki itu ada di sana,” pikirku. Namun, ternyata tidak. Kuberanikan masuk. Kuhampiri seorang petugas jompo yang sedang berusaha menenangkan wanita tua yang terus menangis. Nenek itu menolak disuapkan makanan oleh siapapun.
“Permisi, kenapa dengan nenek itu?”
“Oh, dia kangen anaknya, ” kata wanita paruh baya itu.
“Apa anaknya tidak pernah berkunjung?”
“Sering, tapi belakangan ini nggak pernah lagi. Biasanya dia menyamar pake kostum bonekanya.”
Aku tersentak kaget. Ternyata boneka Upin memiliki seorang ibu di panti jompo itu.
“Maaf, apa Mbak tahu dimana alamat anaknya ? Saya bantu sampaikan pesan.”
“Percuma Mbak.”
“Kenapa?”
“Rumahnya hanya di ujung jalan ke pasar dekat sini. Itu tuh jalan ke kiri dari simpang taman. Istrinya gak pernah suka lelaki itu untuk mengunjungi ibu sendiri.
"Hah? Istri?" tanggapku dengan wajah sedikit memelas.
"Ya, istrinyalah yang minta nenek ini untuk dimasukkan ke panti jompo. Katanya merepotkan. Bisu. Kurang waras,” ucapnya, “kalo nyamar jadi badut lelaki itu bisa kumpul uang untuk ibunya di sini. Biar istrinya nggak tahu. “
Aku merasa miris. Aku terngiang ucapan ibu. Sering kali dia menangis tapi tak pernah menjelaskan alasannya. Sejak ditinggal mati ayahku, kesedihannya makin bertambah. “Apa mungkin ibu khawatir setelah menikah nanti aku akan melupakannya? Atau suamiku kelak yang akan melarangku mengurusnya?”
Aku menggelengkan kepala. Tak lama, aku pamit dari panti jompo itu. Namun mataku masih terpaku pada nenek yang bisu. Nenek yang kerap merindukan anaknya.
Saat berbelok di simpangan, kuberpapasan dengan rumah yang dimaksud. Hanya ada satu rumah berdiri di simpang itu. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Rumah besar dengan pekarangan luas tapi tak terawat. Dedaunan kering dari sebatang pohon mangga besar berserakan. Ada tulisan di gerbang kalau rumah itu telah disita bank.
Aku berhenti sejenak dan melirik ke dalam lewat pintu pagar. Tiba-tiba seorang penyapu jalan menghampiriku.
“Cari siapa, Mbak?”
“Yang punya rumah kemana ya, Bu?” tanyaku.
“Sejak bercerai minggu lalu, istrinya balik kampung. Pak Harry gak pernah terurus. Padahal mereka baru menikah 3 bulan. Dia sakit jantung dan besoknya meninggal,” jawabnya lalu pergi.
Aku diam sejenak. Kaget.
Gerbang itu tidak dikunci. Aku masuk ke dalam. Ada kepala boneka Upin di atas meja teras. Kubawa dan kutaruh di motor. Aku beranjak meninggalkan rumah kosong itu.
Sesampai di rumah, kucari, kupeluk dan kucium ibuku sambil meneteskan air mata. Belum pernah aku merasakan sedih sebenar-benarnya sedih.
Ibu kaget dan ikutan menangis.
***
Pagi ini kami sudah ada di panti jompo. Ibu ikut denganku. Kawan-kawan sudah beratraksi dengan kostum boneka masing-masing. Para lansia senang dengan kehadiran mereka. Tapi tidak dengan nenek yang bisu. Dia duduk di sudut samping TV terlihat murung dan sedih.
Aku pun berinisiatif memakai kostum boneka Upin kemudian perlahan menghampirinya. Seketika tangis sang nenek meledak. Meraung-raung dengan bahasa tubuhnya sendiri. Dipeluknya tubuhku erat. Kurasakan rasa rindu mendalam dari pelukan itu. Raut wajahnya kembali ceria dan bahagia. Dia pasti menyangka aku adalah anaknya.
Entah bagaimana pula aku harus menyampaikan kabar tentang kematian anaknya itu. Aku bingung sambil menangis di balik kepala boneka yang kupakai. Aku berputar dan bertepuk tangan mengikuti musik yang diputar oleh Dori yang sambil bernyanyi.
Kulihat di pintu masuk, ibu menitikkan air mata. Lebih deras dari biasanya. Sekarang, baru tahu alasannya kenapa selama ini ibu menangis di rumah.
Dari kantongku suara telepon genggam bergetar. Mas Pram ternyata sudah telepon berkali-kali. "Kamu dengan ibu pergi kemana saja sih? Sudah ditelpon seratus kali!" isi pesannya. (*).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H