Raut wajah ibu terlihat senang. Belum pernah sekolah kami ikut lomba apapun melibatkan murid-murid karena keterbatasan. Hanya dengan label ada perpustakaan, ibu dan aku percaya diri untuk bisa ikut lomba itu.
Kedua tamu kuajak ke lokasi perpustakaan. Murid-murid memberi salam dan menawarkan singkong bakar yang mereka selalu bawa setiap hari saat kegiatan menulis dan menggambar. Walaupun kedua lelaki itu menolak untuk mencicipi, mereka kagum pada adab murid-murid dalam menyambut tamu.
Saat kedua tamu masuk ke ruangan kosong itu, wajah mereka terlihat kaget berangsur lesu. Mungkin perpustakaan kami tidak seperti yang mereka harapkan.
"Maaf, Ibu. Buku-bukunya ada di mana, ya?" tanya salah satu dari mereka dengan sedikit sungkan.
Aku dan kepala sekolah saling melirik kemudian tersenyum.
"Kami hanya melihat gambar-gambar dan tulisan di dinding,"Â ujar lelaki satunya sambil memperhatikan sekilas karya-karya murid yang terpampang, "buku-bukunya di taruh di ruangan lain kah, Bu?"
Kepala sekolah mengajak kedua tamu itu keluar ruangan. "Kami yakin bisa bersaing dengan sekolah lain, Pak," ujar ibuku sambil berjalan.
Dua lelaki itu saling bertatapan. Wajah mereka tampak bingung. Aku pun akhirnya menyela pembicaraan.
"Apakah perpustakaan itu mutlak harus memiliki buku, Bapak-Bapak semua?"Â tanyaku.
"Pastinya iya, Bu!" jawab mereka serentak.
"Bukankah buku-buku itu berisikan aksara? Memiliki pesan? Dan ada penulisnya?"