Dulu ayahku adalah kepala sekolah di Sekolah Dasar Swasta tempatku mengajar. Setelah ayah wafat, ibu pun mencarikan kepala sekolah yang baru. Namun, banyak yang tak ingin menjadi guru. Gaji kecil dengan beban moral yang berat adalah alasan mereka urung niat menjadi guru.
Aku ingat, dulu ada seorang murid lelaki di pojok belakang perpustakaan. Tangannya asyik meniru gambar Presiden yang tertempel di atas dinding. Kuperhatikan dengan seksama. Tak ada kemiripan sedikitpun. Aku tersenyum dengan kelakuannya. Gambar wajah Presiden jadi kelihatan sangat gemuk.
"Kok beda?" tanyaku.
"Ini bukan Presiden itu, Bu. Aku ingin bapakku bisa seperti di gambar,"Â ujar bocah yang berbadan kurus sambil menunjuk foto Presiden yang dia tiru.
"Pengen rasanya melihat bapak pakai jas dan kopiah yang bagus. Bajunya tiap hari itu-itu saja. Ke laut pakai baju putih yang robek nanti ke darat juga pakai baju yang sama."
Aku tersenyum mendengar keluhannya.
Saat semua murid sibuk dengan gambar masing-masing, aku pun memilih menulis impian. Secarik lembaran kosong kutarik dari 1 rim kertas HVS. Tak banyak yang kuminta pada Tuhan. Aku sudah lama menunggu jodohku. Sebelum ibuku meninggal aku ingin beliau sempat menimang bayi yang kulahirkan sendiri.
"Bu Resti, ada tamu!" teriak ibuku dari samping sekolah. Beliau menjadi kepala sekolah baru kami.
Aku bergegas menghampiri kepala sekolah dan dua lelaki dewasa yang sedang duduk di bangku teras. Hatiku cemas. Sudah sering kali lelaki datang ke rumah untuk berkenalan bahkan ingin meminangku. Aku tak memilih mereka sama sekali. Bukan karena mereka tak berwajah tampan atau mapan. Aku ingin lelaki yang kudampingi nanti adalah seorang guru juga.
Langkah kakiku semakin mendekat ke tamu yang datang.
"Resti, bapak-bapak ini dari Perpustakaan Daerah. Beliau-beliau ingin sosialisasi lomba perpustakaan antar sekolah di kabupaten kita," terang kepala sekolah. Aku akhirnya lega.