Reinkarnasi hanya bisa menjadi makhluk yang ada di pulau itu. Aku sudah bermohon untuk menjadi singa namun sepertinya permohonanku ditolak. Aku juga berdoa menjadi lumba-lumba dan lagi-lagi ditolak.
Pikiranku masih saja tertuju pada siapa yang membakar pohon itu sebenarnya. Apakah mungkin api unggun yang kubuat membakar semua lahan? Perlahan aku pun mulai merasa berdosa.
Seketika tubuhku jatuh dari udara dan berubah menjadi pohon asam. Semua panik berteriak dan berharap agar aku tak menjadi pohon.
“Kita sudah sering terkutuk gara-gara merusak pohon, kenapa kau berubah lagi menjadi momok yang sama?” keluh mereka sambil berdoa agar aku dirubah menjadi makhluk selain pohon.
Aku masih ingat bagaimana kejadian sebelum bencana pandemi virus terjadi. Beberapa pengusaha dari pulau seberang membayar mahal untuk kayu-kayu besar yang bisa mereka tebang. Sebagai manusia, aku pun tergiur tawarannya.
Karena menjadi kepala adat yang sekaligus menjadi pemimpin di kampungku, aku mengatur rencana agar warga tidak mengeluhkan kebijakan yang kuputuskan. Mengumpulkan koran baru adalah ritual yang harus dilakukan. Kertas koran berasal dari pohon yang ditebang maka harus ditanam kembali ke tanah untuk tumbuh menjadi tunas baru. Itu hanyalah akal-akalanku saja. Kulakukan demikian agar berita di koran mengenai penebangan pohon besar-besaran yang dikritik masyarakat luar pulau, tidak sampai diketahui oleh warga.
Mujarabnya, strategiku ini dipercaya oleh mereka. Pesta besar kugelar. Ratusan kerbau disembelih untuk dibagikan kepada warga dan seperti biasa separuhnya untukku.
Namun sayangnya, pesta adat sepertinya dimurkai. Bencana virus pun melanda dan menewaskan hampir separuh penghuni pulau.
Aku masih diberikan kesempatan kedua kali untuk memilih media reinkarnasiku. Aku penasaran pada kedua roh pemabuk yang masih menghilang. Aku pun kemudian berdoa agar bisa bertemu dengan mereka.
Semua binatang bersorak sorai melihat tubuhku menghilang seketika. Mereka senang aku tidak menjadi pohon.
***