Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ada Tangis di Bukit Meringis

22 Juli 2024   05:20 Diperbarui: 23 Juli 2024   20:44 663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI | Foto oleh Chetan Menaria/Pexels

Aku selalu berjalan kaki menuju sebuah bukit gersang di sebuah desa. Tangan kananku menggenggam setumpuk koran baru dan tangan kiri memanggul cangkul. Langkahku tergesa-gesa dengan telanjang kaki. Warga yang melihat pun menjadi penasaran. Setiap ditanya apa yang kulakukan di sana jawabku adalah ingin menanam pohon.

Orang-orang memanggilku Pakis. Dulu aku ditemukan di hutan di dekat air terjun di atas tumpukan tanaman yang bernama latin Polipodiophyta. Sampai saat ini tak kuketahui siapa orang tua kandungku sebenarnya.

Di atas bukit yang sering disebut warga desa sebagai Bukit Meringis, ada sebuah pohon asam  yang besar. Di bawah pohon itulah, korban massal bencana pandemi virus mematikan dikubur. Tak ada yang tahu darimana asalnya datang. Warga desa menganggap itu adalah bentuk kutukan karena ada yang telah melanggar aturan adat.

Di desa itu, ada pantangan menebang pohon-pohon besar yang sudah berusia puluhan sampai ratusan tahun. Jika ada petani yang akan membuka lahan untuk pertanian, ritual adat harus dilakukan oleh seluruh warga. Satu pohon besar yang ditebang senilai dengan menyembelih 2 ekor kerbau yang kepalanya ditanamkan di sekitar pohon yang tumbang. Kerbau yang satu, dagingnya dibagikan kepada warga yang menghadiri acara sedangkan kerbau yang lain harus diserahkan kepada kepala adat sebagai orang yang menentukan keputusan di desa.

Pernah suatu ketika ada salah satu warga yang menebang sebuah pohon sengon besar di balik Bukit Meringis tanpa ada pemberitahuan kepada kepala adat. Akar pohon yang menjalar ke mana-mana membuat petani itu kesulitan bertanam padi. Pohon itu pun ditebangnya. Karena miskin, dia tidak punya biaya untuk membayar sanksi adat. Setelah pohon tumbang, keesokan harinya, sekeluarga petani itu ditemukan mati tersambar petir.

Aku duduk sambil mengipas-ngipas wajah dengan telapak tangan. Kuambil cangkul kemudian melanjutkan penggalian. Area yang sudah kugali hampir 4x5 meter persegi, tidak terlalu dalam hanya sekitar 30 cm. 

“Mana pohon yang sudah kau tanam, Tuan Pakis?” tanya warga kepadaku yang masih terus menggali.

Mata para warga melihat sekeliling area yang berlubang sebatas lutut orang dewasa. Namun, tidak terlihat oleh mereka pohon-pohon yang kutanam. Karena puluhan warga lain semakin ramai berkumpul penasaran dengan apa yang kukerjakan, aku pun berhenti sejenak.

“Inilah pohon-pohon yang kutanam,”ujarku sambil berdiri mengarahkan jari telunjukku ke sekeliling.

Semua orang melihat ke kiri dan ke kanan. Mereka tak melihat apa-apa. Hanya ada pohon asam satu-satunya di tengah kuburan massal. Karena menganggap aneh, mereka mengatakan aku gila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun