Mohon tunggu...
Irfan Hamonangan Tarihoran
Irfan Hamonangan Tarihoran Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

Menulis karya fiksi dan mengkaji fenomena bahasa memunculkan kenikmatan tersendiri apalagi jika tulisan itu mampu berkontribusi pada peningkatan literasi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Catatan Si Gila di Negeri (Katanya) Waras - Bagian 3 (Terakhir)

16 April 2024   02:00 Diperbarui: 16 April 2024   02:17 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar Shutterstock.com

Aku tak bisa menggerakkan tangan dan kaki. Kurasakan ada tali yang mengikat. Kepalaku pusing dengan cucuran darah menetes dari dahi. Aku tak ingat sudah berapa lama aku pingsan.

Tiba-tiba kuteringat lagi akan Mak Mijah. "Apakah dia baik-baik saja?" tanyaku dengan hati cemas. "Kemana wanita paroh baya itu?" semakin gusar aku memikirkannya. 

Seorang pria datang menghampiri dan menepuk bahuku, "Seberapa kenal anda dengan wanita yang bernama Sumirjah?" tanyanya. Namun aku terdiam tak mengerti maksud pertanyaan itu dan seperti biasanya aku tak ingin berbicara dengan siapapun.

"Anda ikut jaringan teroris mana?" hardik salah satu dari mereka.

Aku semakin bingung dengan pertanyaannya. "Teroris apa yang dia bicarakan," gumamku.

"Bawa jenazah atas nama Sumirjah beserta barang bukti ke rumah sakit polisi," perintah salah satu pria kepada khalayak ramai di sekitarku. "Jangan lupa tersangka ini juga ikut," tambahnya.

Kebingunganku semakin terjawab. Mak Mijah adalah panggilan singkat dari Sumirjah. "Benarkah beliau sudah mati? Tapi apakah Mak Mijah terlibat dengan kasus terorisme?" tanyaku dalam hati dengan perasaan tidak percaya.

"Bagaimana bisa wanita paroh baya yang lebih banyak berdiam di rumah itu menjadi pelaku? Ah, berarti Mak Mijah dan aku menjadi korban tembakan dan ledakan tadi,"Kembali aku bingung.

"Ayo naik cepat," hardik salah seorang petugas sambil mendorong badanku yang lemas dengan pucuk senjata laras panjangnya.

Ingin kuberontak karena tak merasa bersalah dan terlibat dengan apapun yang mereka tuduhkan. Saksinya adalah Mak Mijah, namun beliau sudah tewas. Seketika aku teringat wajahnya dan menitikkan air mata. Aku tak punya siapa-siapa lagi.

Secara bersamaan, kuteringat akan Pak Leo. "Dimana rektorku itu berada?" gumamku dalam  hati. Biasanya Pak Leo selalu membantu menyelesaikan masalahku.

Sudah sekitar 12 jam lamanya aku berada dalam sel yang pengap dan sempit. Sudah 2 kali aku diinterogasi dan 2 kali pula aku dapat jatah makan nasi Padang dari petugas. "Enak juga ya jadi tahanan, disediakan makan," kataku dalam hati.

Pertanyaan dalam interogasi selalu berulang-ulang dan itu-itu saja membuatku bosan dan muak. Semakin banyak bertanya semakin mengingatkanku kembali saat melamar beasiswa tapi ditolak. Badanku kaku dan wajahku memerah karena menahan amarah yang terpendam.

Namun, amarahku terpaksa reda saat salah satu penyidik menyebut nama Pak Leo, "Apa hubunganmu dengan Leo?" Aku hanya terdiam dan membayangkan kemana perginya pak tua itu.

"Leo merupakan salah satu pimpinan jaringan teroris wilayah Jawa, " tegasnya.

Aku hanya terdiam dan bertanya-tanya bagaimana bisa pak tua yang setiap harinya berjualan buku bekas dari pagi sampai sore hari bisa dikatakan pimpinan teroris. Aku tak pernah mendengar dia mengadakan rapat dengan kelompoknya. Begitu besar rasa cintanya pada negeri ini. Tak mungkin dia seperti itu.

Lama kupendam, akhirnya baru kali ini aku harus mengeluarkan kata-kata secara langsung dihadapan orang lain sejak dikatakan gila 10 tahun yang lalu.

"Setahuku beliau adalah rektor di kampus," timpalku dengan keras.

"Apa? Rektor dimana? Kau jangan mengarang cerita. Intel kami mengatakan tidak ada data bahwa dia adalah rektor!" bentakan penyidik lain membuatku kaget.

"Apa nama kampusnya? " ketus salah satu wanita disamping.

Aku menjawab, "Banyak kampus punya nama namun belum mewakili tujuan utama pendidikan itu sendiri. Bukankah kampus adalah salah satu tempat yang bertujuan untuk membentuk adab dan ilmu? Banyak  tempat-tempat belajar adab dan ilmu yang disediakan orang-orang tak terkenal. 

Mereka terpanggil jiwa dan raganya untuk membantu anak-anak muda untuk berkarya. Mereka membantu pengamen jalanan dan anak-anak di kolong jembatan untuk menjauh dari penggunaan obat-obat terlarang. Hanya saja mereka  belum memiliki gedung besar dan kokoh yang layak dikatakan sebagai sekolah. Apalagi nama." Semua terdiam.

"Bukankah para koruptor itu lulusan sarjana? Atau malah pasca sarjana. Tentunya mereka wajib pintar untuk bisa menyelewengkan dana yang bukan hak mereka. Apa yang tidak ada? Adab. Padahal mereka bersekolah. Apakah orang-orang itu gila? 

Bagiku ya, karena hanya manusia waras yang memiliki adab," kulanjutkan lagi. Semua pernyataan itu kukutip dari pak Leo saat beliau pernah menyampaikan kuliahnya.

"Braak," suara bantingan pintu sel membuyarkan lamunanku. Tak terasa interview sudah selesai dan aku kembali dimasukkan dalam sel.

Sudah berbulan-bulan aku mendekam di sel itu. Seperti biasa aku hanya tiduran sambil menunggu makan yang disediakan oleh petugas jaga. Kata mereka besok pagi aku akan dipindahkan ke rumah sakit jiwa.

Terdengar azan subuh berkumandang, suara pintu kerangkeng besi berderit. Dua orang petugas menyambar tanganku tanpa bersuara. Segera mereka memasukkanku ke dalam mobil kemudian melaju dengan cepat.

Setibanya di suatu tempat, kedua petugas itu menyerahkanku ke petugas berseragam lain. "Ini sepertinya rumah sakit jiwa yang mereka maksud," ungkapku penasaran.

Suara-suara tertawa cekikikan, teriakan, serta tangisan, bercampur aduk di beberapa lokasi. Sepertinya mereka menyambut kedatanganku. Ada yang bersorak gembira, terharu tapi tiba-tiba menangis. Aku sepertinya calon presiden yang mereka tunggu-tunggu selama ini. Orang-orang ini adalah pendukung setiaku.

Kulihat ada pria kurus yang menyeringai ke arahku di pojok bangsal. "Bukankah itu Surip? Temanku yang dulu ditangkap dan dibawa ke dinas sosial?" ucapku kaget bercampur senang.

Tidak kurasakan kepura-puraan di tempat ini. Semua tangisan murni dari hati. Suara teriakan juga lepas menunjukkan mereka adalah manusia bebas. Ungkapan senang mereka juga bukan topeng seperti yang dipakai orang-orang munafik.

Di dalam ruang perawatan, aku rebahan dan tak sadar bahwa aku ternyata punya teman sekamar. "Man,..bagaimana kabarmu?" suara muncul dari samping kananku dan suara ini terdengar familiar. Suara serak itu jelas sangat kukenal.

"Pak Leo?" ujarku keras.

"Sst..., jangan keras-keras," jawabnya.

"Kenapa Bapak bisa ada disini? Semua polisi mencari," timpalku sambil meraba-raba wajahnya meyakinkan bahwa dia adalah orang yang sudah lama kurindu. Namun, wajah yang selama ini kukenal sudah berubah. Jambang yang lebat, rambut panjang dan bentuk pipi yang sedikit tirus.

Pak Leo lama mengobrol di ruangan itu. Seperti biasa aku hanya menjadi pendengar sejatinya. 

"Man, kadang jadi orang gila itu lebih baik. Disini aku benar-benar melihat yang gila tapi mereka merasa bebas berekspresi. Di luar sana orang-orang membuatku terpaksa jadi gila. Dengan kepura-puraanku menjadi gila ini, aku terbebas dari kejaran mereka yang sok waras namun lebih gila," tandasnya.

"Waktu itu datang seorang pria yang menjual buku bekas padaku. Katanya dia adalah suami dari Mak Mijah yang merupakan tetanggamu. Dia baru pulang dari Malaysia. Bungkusan buku itu belum kubuka sama sekali. 

Keesokan harinya beberapa polisi datang mencariku. Mereka menggeledah lapak kemudian mendapati beberapa buku yang dianggap terlarang oleh penguasa negeri ini," lanjut pak Leo dengan wajah sedih.

"Saat aku kembali ke toko buku itu, semua sudah terobrak-abrik dan rusak, Man. Aku stress. Bagaimana aku bisa mencari modal lagi untuk berjualan buku," imbuhnya.

"Jika aku ditangkap maka aku bisa benar-benar gila. Aku tak punya bukti untuk menunjukkan bahwa aku tidak bersalah. Hukuman mati bisa dijatuhkan untuk orang yang terdakwa sebagai teroris. Matiku akan sia-sia, Man.  Lebih baik aku berpura-pura gila di tempat ini,"tambahnya lagi.

Saat pak Leo masih terus berbicara, pikiranku mengarah pada Mak Mijah. Alangkah kasihan hidupnya karena telah menjadi korban. Padahal beliau sudah merindukan kehadiran suaminya dari sejak dulu. Apakah dia tidak tahu apa yang telah dilakukan suaminya selama ini? Entahlah.

Setidaknya, aku sudah pindah dari kandangku yang dulu. Aku bahagia karena masih ada pendukung setiaku di kandang baru ini. Apalagi, aku akan terus berjuang bersama mantan rektorku yang selalu kubanggakan.

Di pagi hari, aku dan Pak Leo duduk di depan teve sambil menikmati sarapan bersama pasien-pasien yang lain. Terdengar berita bahwa mahasiswa berdemo di depan istana menuntut mundurnya presiden. Tak terdengar jelas alasan demo karena terganggu suara piring kaca yang pecah dilempar salah satu pasien. 

Samar-samar terdengar, "Revisi undang-undang __." Tak jelas undang-undang apa. Ada lagi, "Tuntaskan pelanggaran HAM dan hentikan kriminalisasi"  Namun, tak kumengerti apa maksudnya.

Semua terdiam sejenak. Tiba-tiba sebagian tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk jarinya ke arah televisi, "Haha...." Tak lama mereka pun menangis.

Aku dan Pak Leo hanya bertatapan mata sambil serentak berkata, "Gila..."

"Benar-benar gila," ketus Pak Leo lagi.

Kami lanjutkan makan ikan pindang rebus dengan campuran rebung. Sambil mengunyah, aku berikrar dalam hati, "Aku akan tetap berjuang menjadi presiden bagi orang-orang gila di negeri ini. Ya, dimulai dari rumah sakit jiwa ini."

Tepat jam 10.00 WIB, suara alarm berbunyi tanda pasien harus kembali ke bangsal. Semua pasien berdiri dari bangku masing-masing. Tiba-tiba terdengar irama lagu Indonesia Raya keluar dari telepon genggam salah satu perawat.  Semua ikut bernyanyi termasuk Pak Leo.

Aku teringat lagu ini pernah dilantunkan saat presiden dan wakil rakyat mau dilantik.

"Kalo begitu, sah sudah aku dilantik menjadi presiden hari ini. Tak apa-apalah, walaupun Pak Leo belum mewisudaku" ujarku dalam hati.

Pak Leo tersenyum. Suara tepuk tangan dan sorak sorai bergemuruh di ruangan itu. Aku tersanjung lagi. Aku bersumpah akan mengemban jabatan ini dihadapan rakyat dan Tuhanku."

"Hidup rakyatku yang gila!" teriakanku mengagetkan para perawat. Kugenggam tangan pak Leo sambil berjalan menuju antrian jalan keluar.

-------Selesai--------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun