Di pagi hari, aku dan Pak Leo duduk di depan teve sambil menikmati sarapan bersama pasien-pasien yang lain. Terdengar berita bahwa mahasiswa berdemo di depan istana menuntut mundurnya presiden. Tak terdengar jelas alasan demo karena terganggu suara piring kaca yang pecah dilempar salah satu pasien.Â
Samar-samar terdengar, "Revisi undang-undang __." Tak jelas undang-undang apa. Ada lagi, "Tuntaskan pelanggaran HAM dan hentikan kriminalisasi" Â Namun, tak kumengerti apa maksudnya.
Semua terdiam sejenak. Tiba-tiba sebagian tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk jarinya ke arah televisi, "Haha...." Tak lama mereka pun menangis.
Aku dan Pak Leo hanya bertatapan mata sambil serentak berkata, "Gila..."
"Benar-benar gila," ketus Pak Leo lagi.
Kami lanjutkan makan ikan pindang rebus dengan campuran rebung. Sambil mengunyah, aku berikrar dalam hati, "Aku akan tetap berjuang menjadi presiden bagi orang-orang gila di negeri ini. Ya, dimulai dari rumah sakit jiwa ini."
Tepat jam 10.00 WIB, suara alarm berbunyi tanda pasien harus kembali ke bangsal. Semua pasien berdiri dari bangku masing-masing. Tiba-tiba terdengar irama lagu Indonesia Raya keluar dari telepon genggam salah satu perawat. Â Semua ikut bernyanyi termasuk Pak Leo.
Aku teringat lagu ini pernah dilantunkan saat presiden dan wakil rakyat mau dilantik.
"Kalo begitu, sah sudah aku dilantik menjadi presiden hari ini. Tak apa-apalah, walaupun Pak Leo belum mewisudaku" ujarku dalam hati.
Pak Leo tersenyum. Suara tepuk tangan dan sorak sorai bergemuruh di ruangan itu. Aku tersanjung lagi. Aku bersumpah akan mengemban jabatan ini dihadapan rakyat dan Tuhanku."
"Hidup rakyatku yang gila!" teriakanku mengagetkan para perawat. Kugenggam tangan pak Leo sambil berjalan menuju antrian jalan keluar.