Secara bersamaan, kuteringat akan Pak Leo. "Dimana rektorku itu berada?" gumamku dalam  hati. Biasanya Pak Leo selalu membantu menyelesaikan masalahku.
Sudah sekitar 12 jam lamanya aku berada dalam sel yang pengap dan sempit. Sudah 2 kali aku diinterogasi dan 2 kali pula aku dapat jatah makan nasi Padang dari petugas. "Enak juga ya jadi tahanan, disediakan makan," kataku dalam hati.
Pertanyaan dalam interogasi selalu berulang-ulang dan itu-itu saja membuatku bosan dan muak. Semakin banyak bertanya semakin mengingatkanku kembali saat melamar beasiswa tapi ditolak. Badanku kaku dan wajahku memerah karena menahan amarah yang terpendam.
Namun, amarahku terpaksa reda saat salah satu penyidik menyebut nama Pak Leo, "Apa hubunganmu dengan Leo?" Aku hanya terdiam dan membayangkan kemana perginya pak tua itu.
"Leo merupakan salah satu pimpinan jaringan teroris wilayah Jawa, " tegasnya.
Aku hanya terdiam dan bertanya-tanya bagaimana bisa pak tua yang setiap harinya berjualan buku bekas dari pagi sampai sore hari bisa dikatakan pimpinan teroris. Aku tak pernah mendengar dia mengadakan rapat dengan kelompoknya. Begitu besar rasa cintanya pada negeri ini. Tak mungkin dia seperti itu.
Lama kupendam, akhirnya baru kali ini aku harus mengeluarkan kata-kata secara langsung dihadapan orang lain sejak dikatakan gila 10 tahun yang lalu.
"Setahuku beliau adalah rektor di kampus," timpalku dengan keras.
"Apa? Rektor dimana? Kau jangan mengarang cerita. Intel kami mengatakan tidak ada data bahwa dia adalah rektor!" bentakan penyidik lain membuatku kaget.
"Apa nama kampusnya? " ketus salah satu wanita disamping.
Aku menjawab, "Banyak kampus punya nama namun belum mewakili tujuan utama pendidikan itu sendiri. Bukankah kampus adalah salah satu tempat yang bertujuan untuk membentuk adab dan ilmu? Banyak  tempat-tempat belajar adab dan ilmu yang disediakan orang-orang tak terkenal.Â