Kasus yang melibatkan mantan Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, menjadi salah satu sorotan utama dalam dunia hukum dan ekonomi Indonesia. Lembong, yang pernah menjadi tokoh sentral dalam pemerintahan, kini dihadapkan pada tuduhan dugaan korupsi terkait kebijakan impor gula. Kebijakan ini, yang diduga melanggar prosedur dan aturan nasional, dianggap menyebabkan kerugian negara yang cukup signifikan, diperkirakan mencapai Rp 400 miliar.
Skandal ini juga memunculkan berbagai pertanyaan mendalam terkait proses pengambilan keputusan di level pemerintahan, khususnya dalam pengelolaan komoditas strategis seperti gula. Komoditas ini tidak hanya penting secara ekonomi, tetapi juga secara politik, karena berhubungan dengan ketahanan pangan dan kesejahteraan petani lokal. Apakah kebijakan yang diambil oleh Lembong benar-benar melanggar hukum? Ataukah ada elemen kepatuhan terhadap hukum internasional yang terlibat dalam keputusan ini?
Kronologi dan Fakta Kasus
Kasus ini berawal pada tahun 2015-2016 ketika Thomas Lembong, sebagai Menteri Perdagangan, mengeluarkan izin impor gula mentah sebanyak 105.000 ton kepada PT AP, sebuah perusahaan swasta. Izin ini dikeluarkan tanpa melalui rapat koordinasi menteri yang seharusnya dilakukan, dan juga tanpa rekomendasi dari institusi terkait, seperti Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN.
Saat izin impor ini diberikan, data menunjukkan bahwa stok gula nasional sudah mencukupi, sehingga impor tambahan dianggap tidak diperlukan. Meskipun demikian, Lembong tetap melanjutkan pemberian izin ini dengan alasan bahwa pasokan gula dalam negeri perlu distabilkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Namun, keputusan ini justru menimbulkan kontroversi ketika Kejaksaan Agung mulai menyelidiki potensi penyalahgunaan kewenangan dan kerugian negara yang dihasilkan dari kebijakan tersebut.
Penangkapan dan Penyelidikan
Pada Oktober 2024, setelah penyelidikan yang panjang sejak 2023, Kejaksaan Agung menetapkan Lembong sebagai tersangka dan menangkapnya atas dugaan tindak pidana korupsi. Penyelidikan ini melibatkan lebih dari 90 saksi, dan penyidik menemukan adanya pelanggaran prosedural dalam pemberian izin impor gula tersebut. Kejaksaan juga memperkirakan bahwa negara mengalami kerugian sekitar Rp 400 miliar karena keuntungan dari impor gula yang seharusnya masuk ke PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), sebuah BUMN, malah jatuh ke tangan beberapa perusahaan swasta yang terlibat.
Apakah Melanggar Hukum Nasional?
Peraturan Nasional yang Dilanggar
Salah satu poin utama dalam dakwaan Kejaksaan Agung adalah pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/KEP/9/2004, yang dengan jelas menyatakan bahwa hanya BUMN yang diizinkan untuk melakukan impor gula mentah. Dalam hal ini, PPI sebagai BUMN yang bertanggung jawab atas distribusi gula mentah, seharusnya mendapatkan keuntungan dari aktivitas ini. Namun, izin impor diberikan kepada perusahaan swasta, yakni PT AP, yang melanggar peraturan tersebut.
Keputusan untuk memberikan izin kepada perusahaan swasta ini dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan oleh Lembong, karena ia tidak mengikuti prosedur yang diatur oleh regulasi nasional. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyalahgunaan kewenangan yang menyebabkan kerugian negara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Ini mencakup tindakan di mana seorang pejabat menggunakan posisinya untuk menguntungkan pihak tertentu dengan mengorbankan keuangan negara.
Pengambilan Keputusan Tanpa Rapat Koordinasi
Lebih lanjut, kebijakan Lembong untuk memberikan izin impor tanpa melalui rapat koordinasi antar kementerian menjadi salah satu dasar tuduhan Kejaksaan. Dalam kasus kebijakan yang bersifat strategis, terutama yang menyangkut impor barang vital seperti gula, keputusan tersebut harus melalui koordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kementerian Pertanian dan Kementerian BUMN. Pelanggaran terhadap mekanisme ini bisa dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor, yang melarang setiap tindakan melawan hukum yang merugikan negara.
Tinjauan Hukum Internasional: Apakah Kebijakan Ini Bagian dari Kepatuhan?
Konteks Perdagangan Internasional dan WTO
Indonesia, sebagai anggota World Trade Organization (WTO), terikat oleh berbagai aturan yang mengatur perdagangan internasional. Perjanjian General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan Agreement on Agriculture (AoA) merupakan instrumen penting yang mengatur perdagangan komoditas seperti gula. Prinsip dasar dari perjanjian-perjanjian ini adalah non-diskriminasi dan keterbukaan perdagangan. Dalam hal ini, impor gula mentah dari luar negeri bisa dilihat sebagai bagian dari upaya untuk memastikan pasokan yang stabil bagi pasar domestik.
Namun, meskipun hukum internasional mengatur kebijakan perdagangan global, hal ini tidak mengesampingkan regulasi domestik. Perjanjian WTO memberikan ruang bagi negara-negara anggota untuk membuat kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan domestik mereka, terutama terkait dengan komoditas strategis seperti gula. Dalam konteks ini, kebijakan yang diambil oleh Lembong mungkin saja bisa dibenarkan jika tujuannya adalah untuk memenuhi standar internasional terkait perdagangan bebas. Namun, tetap ada aturan nasional yang harus diikuti, terutama yang menyangkut siapa yang berwenang melakukan impor.
Diskrepansi dengan Hukum Nasional
Meskipun perdagangan internasional mendukung keterbukaan pasar, dalam kasus ini, tindakan Lembong dianggap bertentangan dengan kebijakan nasional yang sudah ada. Peraturan nasional yang membatasi impor gula hanya kepada BUMN sejalan dengan upaya pemerintah untuk menjaga kedaulatan ekonomi dan pengelolaan sumber daya strategis. Dengan demikian, keputusan Lembong untuk memberikan izin kepada swasta bisa dianggap melanggar aturan ini, meskipun ia bisa saja berargumen bahwa kebijakan ini selaras dengan hukum internasional.
Analisis Kerugian Negara: Apa Bentuk Kerugian yang Dituduhkan?
Hilangnya Potensi Pendapatan BUMN
Salah satu tuduhan utama dalam kasus ini adalah bahwa keputusan Lembong menyebabkan hilangnya potensi pendapatan negara. Seharusnya, impor gula ini dikelola oleh PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), yang merupakan BUMN. Jika PPI yang menjalankan impor, maka keuntungan yang diperoleh dari penjualan gula tersebut akan masuk ke kas negara. Namun, keuntungan dari impor ini justru dinikmati oleh beberapa perusahaan swasta, yang menurut dugaan Kejaksaan Agung, telah memperoleh izin secara tidak sah.
Kerugian ini diperkirakan mencapai Rp 400 miliar, jumlah yang sangat besar bagi perekonomian nasional. Ini bukan hanya merupakan bentuk kerugian langsung karena hilangnya potensi pendapatan bagi BUMN, tetapi juga dapat berdampak pada kebijakan fiskal negara, terutama dalam hal pengelolaan sumber daya strategis seperti gula.
Efek Overstocking Gula dan Dampaknya pada Pasar
Keputusan untuk mengimpor gula pada saat stok nasional sudah mencukupi juga menimbulkan masalah lain: overstocking. Ketika pasokan gula di pasar berlebihan, hal ini bisa menyebabkan penurunan harga secara signifikan. Penurunan harga ini, pada gilirannya, merugikan petani lokal dan produsen dalam negeri, yang sulit bersaing dengan gula impor yang lebih murah. Ini bukan hanya berdampak pada ekonomi lokal, tetapi juga pada stabilitas pasar gula secara keseluruhan.
Lebih jauh lagi, keputusan yang menyebabkan overstocking bisa dianggap sebagai kebijakan yang tidak efisien, yang berdampak negatif pada sektor pertanian dan industri pengolahan gula dalam negeri. Ini menciptakan kerugian ekonomi tidak langsung yang pada akhirnya harus ditanggung oleh negara melalui subsidi atau upaya stabilisasi harga yang lebih tinggi.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelas bahwa kebijakan impor gula yang diambil oleh Thomas Lembong ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan memiliki konsekuensi hukum yang serius. Kebijakan tersebut, yang memberikan izin impor kepada perusahaan swasta tanpa melalui prosedur yang diatur dalam regulasi nasional, dapat dianggap melanggar Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Tahun 2004 yang menyatakan bahwa hanya BUMN yang berwenang melakukan impor gula mentah. Dalam konteks ini, tindakan Lembong tidak hanya merupakan penyalahgunaan wewenang, tetapi juga melanggar Pasal 3 Undang-Undang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H