Perilaku ini sangat tidak etis dan menunjukkan betapa pejabat-pejabat ini telah kehilangan rasa malu dan tanggung jawab moral mereka terhadap publik. Urat malu mereka seolah-olah sudah putus, mengingat betapa tanpa malunya mereka memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.
Dengan adanya bukti-bukti tersebut, masyarakat semakin sadar bahwa korupsi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal kepercayaan dan moralitas.Â
Perilaku tidak etis seperti ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Oleh karena itu, penegakan hukum yang lebih tegas dan transparan sangat diperlukan untuk memberantas korupsi dan mendukung tercapainya cita-cita Indonesia Emas 2045.
Analisis Hukuman bagi Koruptor
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, hukuman bagi koruptor di Indonesia sering kali dianggap terlalu ringan dan tidak menimbulkan efek jera. Di negara-negara seperti China dan Korea Selatan, hukuman bagi koruptor bisa sangat berat, termasuk hukuman mati atau penjara seumur hidup.Â
Sementara itu, di Indonesia, meskipun ada hukuman penjara dan denda, sering kali hukuman tersebut tidak sebanding dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Misalnya, dalam banyak kasus, hukuman penjara yang dijatuhkan hanya beberapa tahun, dan denda yang dikenakan jauh lebih kecil daripada jumlah uang yang dikorupsi. Hal ini membuat banyak pihak mempertanyakan efektivitas sistem hukum dalam menangani korupsi.
Efektivitas Hukuman
Hukuman yang ringan bagi koruptor di Indonesia tidak memberikan efek jera yang signifikan. Banyak koruptor yang setelah menjalani hukuman tetap dapat menikmati hasil korupsi mereka yang tersembunyi. Sistem peradilan yang lemah dan korupsi yang merajalela di lembaga penegak hukum juga memperparah situasi ini.Â
Hukuman yang seharusnya menjadi alat untuk menegakkan keadilan dan mencegah korupsi justru sering kali tidak efektif karena tidak ada keseriusan dalam penerapannya. Penangguhan hukuman, remisi, dan bahkan grasi sering kali diberikan kepada koruptor, menambah ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum.
Contoh konkret dari lemahnya hukuman bagi koruptor adalah kasus mantan Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Mahkamah Agung, Nurhadi, yang terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi. Nurhadi terbukti menerima suap sebesar Rp 46 miliar dan gratifikasi senilai Rp 37,6 miliar, dengan total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 83 miliar.Â
Namun, pada tahun 2021, ia hanya dijatuhi hukuman 6 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Hukuman ini sangat tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan dan nilai korupsi yang mencapai miliaran rupiah. Selain itu, Nurhadi mendapatkan remisi yang mengurangi masa hukumannya, sehingga ia bisa bebas lebih cepat dari yang seharusnya.